Masa
kamu mau merampas hak orang miskin?
Deg …
dada saya serasa berhenti berdetak saat Ayah saya mengucap kalimat itu.
Saya berasal dari keluarga
biasa-biasa saja. Bisa dibilang, cukup miskin. Orangtua saya adalah kontraktor
sejati, alias selalu ngontrak rumah. Pekerjaan Ayah juga tak jelas. Kadang ada
kerjaan, kadang tidak ada. Dan terakhir, Ayah bekerja pada saudaranya. Dengan
gaji seadanya, pas untuk menghidupi seorang istri dan enam orang anak.
Saat saya kuliah, saya
merasa harus meringankan beban orangtua saya. Lalu, saya pun mencari informasi
beasiswa. Yang paling terkenal saat itu adalah beasiswa Supersemar.
Saya membaca semua
persyaratannya, dan saya merasa layak mendapatkannya. Nilai-nilai saya
memuaskan, saya yakin saya bisa meraih
beasiswa itu.
Lalu, saya bilang ke Ayah.
Saya berharap beliau bangga karena memikirkan keadaan orangtua. Hehe, tapi
ternyata saya salah.
“Masa kamu mau merampas hak
orang miskin?” mata Ayah melotot saat saya bilang mau mengajukan beasiswa
Supersemar.
Tentu saya bingung, apa
maksud Ayah?
Lalu, Ayah berpanjang lebar
bilang bahwa beasiswa Supersemar itu diperuntukkan untuk orang-orang kurang
mampu.
“Bukannya kita masuk
kategori itu?” tanya saya.
Dengan jujur, Ayah
mengiyakan. Tapi, Ayah menandaskan bahwa di luar sana, masih banyak yang
hidupnya lebih miskin dibanding kami.
Saya lalu teringat pada beberapa
teman di kampus. Ayah benar, ada teman-teman lain yang jauh lebih miskin
daripada saya. Saya bisa melihatnya dari
tempat kost mereka yang kumuh, isi kamar mereka yang nyaris tak ada apa-apanya,
kebiasaan makan sekali sehari dengan lauk tempe, dan baju mereka yang lusuh dan
itu-itu saja.
Saya, masih bisa kost di
tempat yang layak (meski sering nunggak). Saya juga masih bisa naik bus ke
kampus, nggak perlu jalan kaki.
“Ayah yang akan membayari
kuliahmu. Meski kamu harus hidup hemat, tapi yakinlah. Kamu nggak bakal putus
kuliah,”
Ayah saya menepati
janji. Saya lulus kuliah, cum laude, tanpa beasiswa. Dan saya
bangga akan hal itu.
Ucapan Ayah saya terngiang
sampai sekarang, saat saya sudah menjadi istri dan ibu dua orang anak.
Suami saya bukan orang kaya.
Tapi kami hidup berkecukupan. Kami punya rumah (meski tipe 4L alias lu lagi lu
lagi), punya mobil (meski tipe low cost
green car), dan kami punya penghasilan (meski belum bisa untuk beli tas
Hermes bahkan yang KW sekalipun).
Nasihat dari Ayah, saya
pegang teguh sampai saat ini. Jangan merampas hak orang miskin.
Jujur saja, saya sering
bengong melihat antrean mobil-mobil pribadi untuk beli premium. Apalagi kalau
ada pengumuman besok harga naik. Wah, antrenya mengular. Mobilnya pun bukan low cost green car kayak saya. Mobil di
atas 400 jutaan juga tabah mengantre.
Waduh, bukankah premium itu
BBM bersubsidi? Dan yang namanya subsidi, tentunya untuk orang yang patut
disubsidi kan ya? Siapa yang patut disubsidi? Masa orang yang bisa punya mobil
segitu bagus minta disubsidi?
Belum lagi masalah elpiji.
Seorang teman mengeluh di status facebook-nya.
Katanya, sekarang elpiji mahal sekali. Ketika saya tanya, berapa? Dia menjawab
harga elpiji 3 kg.
Terus terang, saya
terhenyak. Saya tahu dia bukan orang miskin. Seingat saya, elpiji 3 kg adalah
elpiji bersubsidi yang diperuntukkan untuk rumah tangga berpenghasilan di bawah
Rp.1,5 juta. Sedangkan teman saya ini, adalah istri seorang pegawai yang cukup
lumayan. Saya juga tahu dia punya mobil, dan rumahnya pun tidak sesempit rumah
saya. Selain itu, dia juga bekerja.
Jadi, mengapa dia memakai
elpiji 3kg?
Pantas saja, saya sering
membaca di koran, masalah kelangkaan elpiji 3 kg. Rupanya, si tabung melon ini
sekarang nangkring di rumah orang-orang mampu.
Jadi, yang masyarakat miskin, silakan kembali mencari kayu bakar. Elpiji
3 kg bukan untukmu. Sedih.
Saya tahu, sekarang ini
harga-harga melonjak gila-gilaan. Tapi saya tetap teguh pada pendirian. Selama
saya masih bisa membayar, berarti saya tak boleh merampas hak orang miskin.
Dan, saat suami saya
menggoda saya untuk mengantre beras operasi pasar BULOG, saya pun tersenyum
manis.
“Berapa selisihnya? Lebih
baik aku berusaha cari tambahan uang untuk beli beras. Lebih banyak orang yang layak
membeli beras dengan harga itu,”
Saya serius dengan ucapan
saya. Saya memilih untuk mencari tambahan uang untuk mensiasati kenaikan harga-harga.
Menulis adalah salah satu
cara saya mencari uang. Saya rasa itu
lebih baik daripada saya harus merampas hak orang miskin.
***