Beberapa minggu yang lalu, saya kehilangan arloji. Bukan arloji mahal, tapi juga tidak murah. Mereknya ALBA.
Yang paling menyedihkan bagi saya, arloji itu adalah benda pertama yang dibelikan oleh suami dengan gaji pertamanya. Saya ingat, saya diajak ke mal, dan masuk ke toko khusus arloji dan dibelikan. Happy banget deh waktu itu. Itu arloji 'mahal' saya yang pertama. (Eh tapi berikutnya ya nggak pernah punya arloji mahal ding!)
Saat saya mengaduk isi tas, merogoh celana jeans (dengan wajah pucat), suami bertanya, "Ada apa?"
Ketika saya bilang bahwa arloji saya hilang, spontan dia bertanya, "Arloji yang dariku?"
Ada raut kecewa di wajahnya.
Ya, saya amat jarang mengenakan arloji lain. Selalu arloji itu yang saya pakai. Selain karena pemberian suami, saya juga cocok modelnya.
Suami menemani saya 'napak tilas' untuk mencari. Barangkali tercecer. Tapi nihil. Arloji itu menguap begitu saja.
"Kok bisa hilang? Kapan kamu melepasnya?"
Saya hanya bisa mengangkat bahu. Tidak ada ingatan secuil pun tentang adegan melepas arloji. Arloji itu ada di tangan saya. Kemungkinan besar, saya ngelamun lalu melepas arloji dan menaruh di somewhere over the rainbow ... *malah nyanyi*
Nyeseeeek banget rasanya. Rasanya 'gelo" banget.
Tapi suami akhirnya bilang, "Ya sudah. Semoga ditemukan oleh orang yang membutuhkan. Jangan sampai masuk got dan keinjek-injek,"
Haha ... iya bisa jadi sih kalo jatuh kan keinjek-injek dan kesepak masuk got.
Semoga ditemukan oleh orang yang membutuhkan. Rejekimu Bu/Pak ...
Seperti biasa, setiap ada kejadian, saya meyakini ini adalah buah dari perilaku saya sebelumnya.
Mengapa saya kehilangan arloji ini? Pasti Tuhan hendak mengingatkan sesuatu pada saya.
Saya pun introspeksi diri.
Saya teringat, beberapa hari sebelumnya saya marah sekali pada Gerald.
Menurut saya, Gerald itu ceroboh. Barangnya banyak yang hilang, dan selalu menjawab 'tidak tahu' ketika ditanya kronologi kehilangannya.
Saking pegelnya, saya waktu itu bilang, "Kok kamu nggak bisa kayak Mamah ya. Mamah seusiamu sudah bisa ini dan itu,"
Ya Allah, saya menyakiti hati bayi saya ini huhuhu.
Dan Allah segera mencelikkan mata saya, langsung lewat kejadian kehilangan arloji ini.
Semua orang, bisa kehilangan, tanpa tahu kronologi peristiwanya.
Saya juga kayak orang bego saat ditanya suami. Bener-bener gak ngeh, kapan dan di mana arloji itu raib.
Padahal, selama ini saya selalu murka jika Gerald pasang wajah oon kalo ditanya tentang barang-barangnya.
Oalah ...
Saat Gerald tahu arloji saya hilang, spontan yang terucap dari mulutnya adalah, "Mama sama ya kayak Gerald,"
Plakkkk ... itu tamparan yang keras.
Saya nyinyirin dia agar primpen sama barangnya, jaga barangnya ... eh taunya saya menghilangkan barang saya sendiri yang bukan sekadar pensil, rautan, tempat pensil, botol minum dll.
Jadi, morale of the story adalah, jangan marah pada anak berlebihan.
Membandingkan diri sendiri dengan anak, itu ga perlu banget. Yaelah, kita yang tua gini aja bisa lalai kok, apalagi anak kecil yang otaknya masih berisi 'main, main dan main'.
Dan, apapun yang dilakukan anak-anakmu, sebenarnya itu adalah cermin dari dirimu. Entah dirimu di masa lalu, atau dirimu di masa yang akan datang hehe.
Namanya anak, pasti secara genetis ada dong ya ngikut ortunya.
Kembali tentang arloji ...
Saya masih sediiiih.
Tapi ya sudahlah. Kenangan terindah ada dalam ingatan, bukan dalam sebuah benda.
Setuju?
Setuju aja lah, daripada sedih.
Sidoarjo, 30 Mei 2017