Senin, 30 September 2013

Kalau bukan saya, siapa lagi?

Pertanyaan untuk mami-mami: Pernah nggak, kalian merasa capek? Rasanya, semua urusan di dunia ini dibebankan pada kalian?

Saya pernah. Sering!
Bayangkan, saya bahkan sudah nggak pernah lagi merasakan nikmatnya duduk di sofa, memandang TV dengan aneka gosip murahan (yes, I love infotainment, xixixixi), atau film-film yang asoy geboy.

Saya bahkan nggak pernah lagi duduk manis di meja makan, dan bisa makan dengan tenang. Selalu saja saya makan sambil duduk di depan komputer menyelesaikan pekerjaan.

Saya juga nggak pernah lagi pergi-pergi yang "menikmati hidup" karena tiap kali saya pergi, saya selalu membawa rombongan sirkus a.k.a anak-anak.

Capek? So pasti!

Akhir-akhir ini, kelelahan yang saya alami sungguh luar biasa. Saya sampai menangis bombay dan rasanya keseeeeel banget. Tapi, kembali lagi ke pertanyaan tadi : Kalau bukan saya, siapa lagi?

Gerald baru saja masuk SD. Dan tidak seperti Edgard, yang amat mudah memahami hal-hal baru, Gerald ini lemooooot minta ampun (persis saya, ciyus!).
Nah, padahal tau sendiri kan tuntutan SD jaman sekarang? Saya nggak mungkin idealis dengan berkata "yang penting anak happy", "anak-anak seharusnya belum diajari membaca dan menulis" dll dll seperti di teori-teori psikologi.

Teori-teori itu, sudah pasti tidak bisa saya praktikkan di kehidupan nyata. Kehidupan nyata, menuntut anak SD untuk SUDAH BISA membaca, menulis, dan berhitung.

OK, saya nggak masalah. Gerald bisa kok baca tulis dan itung-itung sederhana. Tapiii, ya ampun yang namanya pelajaran SD tuh kan susah setengah mati. Bayangkan saja, Gerald yang masih berwajah bayi itu bengong memandangi saya yang berusaha menjelaskan apa itu catur warga, apa itu sepupu, paman, bibi, kakek, nenek, identitas diri, suku-suku dll dll.

Saya nangis saat mengajari dia. Capek!
Tapi kemudian saya teringat, kalau bukan saya, siapa lagi?
Masa saya tega membiarkan Gerald begitu saja?
Masa saya berdiam diri melihat kebelum-mampuannya?
Kalau bukan saya, siapa?

Lalu, akhir-akhir ini Edgard juga banyak kemauan. Syukurlah, untuk masalah pelajaran, PR, dll saya nggak pusing. Edgard cukup capable untuk mengatasi semuanya sendiri.
Nah, tapi Edgard punya banyak kegiatan. Les Inggris, dan futsal. Selain itu, Gerald juga minta les Inggris, dan taekwondo.
Bayangkan saja, lepas maghrib yang mana seharusnya saya leyeh-leyeh dan makan malam, saya masih harus pontang-panting ngantar mereka ke sana ke mari.

Minggu pagi, jadwal taekwondo dan futsal. Saya, yang seharusnya bisa bobok cantik dan bangun pukul 10.00, terpaksa bangun pagi demi mengantarkan mereka.
Capek? Pastiiiiii ....
Tapi sekali lagi, kalau bukan saya, siapa lagi?

Rutinitas saya mulai dari pagi sampai malam. Syukurlah, saya punya suami baik hati yang mau berbagi pekerjaan rumah tangga. Urusan sarapan anak-anak, dia yang menangani. Urusan setrika baju, dia juga yang menangani.

Mengapa urusan les, belajar, dan antar jemput anak-anak saya yang menangani? Mengapa tidak meminta suami untuk ngajari Gerald?

Jujur saja Mas dan Mbak Bro, saya kalau ndenger suami ngajari anak, malah emosi jiwa sendiri. Lha wong saya aja gak mudheng, apalagi anaknya xixixixi. Jadi, lebih baik saya handle sendiri deh ^^

Yang bisa saya lakukan adalah, menekankan pada diri saya sendiri.

Anak-anak itu adalah titipan YME.
Kalau bukan pada ibunya, pada siapa lagi mereka harus bersandar?
Pada bapaknya? Tentu saja, tapi bapaknya kan punya kewajiban mencari nafkah juga. Jadi, memang porsi kebersamaan dengan ibu pasti lebih besar (meski ibu juga nyari duit, tapi ibu ada di rumah, Bro).
Sampai kapan sih, mereka mau bersandar pada saya?
Paling-paling, lepas SMA nanti mereka udah kuliah di luar kota. Masa mau saya kelonin?

Mumpung mereka masih mau saya anter-anter, maka saya akan jadi tukang ojek setia. Kalau dah SMA, mana mau sih diantar mamahnya?
Mumpung mereka masih membutuhkan saya, saya akan selalu siap berada di samping mereka.
Meski kelelahan luar biasa mendera saya (lelah batin, bukan lelah fisik), tapi saya berpikir bahwa masa depan anak-anak ada di tangan saya.

Jika saya, IBUNYA, tidak peduli, bagaimana nasib mereka kelak?
Akan jadi apa mereka, sedikit banyak IBUNYA lah yang membentuk mereka.

Jadi, setimpalkah perjuangan saya sekarang, dibandingkan dengan hasil yang akan anak-anak saya terima nanti? Semoga ya ....

Saya selalu membawa anak-anak saya dalam doa. Saya bermohon, agar Allah memudahkan kehidupan mereka. Saya tidak bisa menjaga mereka 100%, dan pasti ada pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan sekitar yang mereka terima.
Saya tidak bisa mencegah pengaruh buruk internet, pengaruh buruk pergaulan dengan teman-teman.
Namun, saya bisa berdoa, agar anak-anak saya DIKUATKAN sehingga tidak mudah tergoda dan terpengaruh hal-hal yang buruk tadi.

Udah ah, curhat melulu. Capeeeeekkkk.

What I'm trying to say is : I love my life. Even it seems hard and tough, I still love it. And I love my kids, also my husband.

Huhuhuhu, markitdur yuk.
MEN OF MY LIFE ^^

1 komentar:

  1. Mba Dian, aku tuh selalu ternganga ngebaca istilah2 ajaib mba Dian, hihi...Nggak nyangka aja, udah baca serius, trus tiba-tiba muncul, mba dan mas bro...Ouh! :)))
    Tapi, syukkaaa banget mba ;)

    BalasHapus

Happy blogwalking, my dear friends ^^