Minggu, 16 Februari 2014

Mengapa Saya tidak/belum mengajar menulis secara profesional?

Akhir-akhir ini, semakin banyak saja yang bertanya.
Kapan Mbak Dian akan membuka kelas menulis?
Dan yang lebih parah lagi, ada yang mensinyalir keaktifan saya berbagi pengetahuan tentang menulis adalah merupakan "modus" saya untuk pre-promotion sebelum membuka kelas menulis.

Astaga ...
Ya sudahlah. I can not control what people think.

Nggak. Untuk saat ini, saya belum berminat membuka kelas menulis secara profesional (berbayar).
Kenapa? Bukannya buku Mbak Dian udah banyak? Udah berjejer-jejer di toko? Pasti bisa dong memberi kursus menulis. 

Jadi begini.
Saya setuju bahwa seorang ibu yang memiliki sepuluh anak, tentu jauh lebih berpengalaman dibandingkan dengan ibu yang baru punya satu anak. Secara logika, betul ya? Kecuali kalo ada hal menyimpang ^^

Ibu itu tentu lebih mampu berbincang tentang kehamilan, do and don't selama menjalani kehamilan, bagaimana rasanya melahirkan, bagaimana rasanya menimang si jabang bayi, gimana rasanya menyusui, bagaimana mengasuh si jabang bayi, dst dst, dibandingkan dengan ibu yang baru punya satu anak.  Masih di perut pula si jabang bayinya.
Betul? Harus betul dong hihihi ...

Apalagi dibandingkan dengan lajang yang belum punya anak. Wah, tambah jauh lagi ya pengalamannya dalam urusah hamil, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak. Bagaimana bisa tahu rasanya mengejan bukaan sepuluh, jika belum pernah hamil. Bagaimana bisa tahu rasa perihnya puting saat dihisap bayi, jika punya anak saja enggak?

Namun demikian, apakah itu artinya si ibu yang punya sepuluh anak ini, bisa menjadi seorang bidan? Atau lebih dahsyatnya lagi menjadi seorang SpOg?
Mentang-mentang udah punya sepuluh anak, dan punya pengalaman melahirkan dengan aneka posisi (halah), trus berani jadi bidan dan membantu kelahiran bayi tetangga? Bahkan melakukan operasi cesar?
Hmm, harus belajar dulu dong yaaa. Paling tidak ikut kursus kebidanan, atau kuliah kebidanan (S1) atau sekalian kuliah kedokteran dengan spesialisasi kandungan.

Ibu itu jelas tidak boleh memberi saran apa yang harus dilakukan jika seorang ibu hamil mengalami plasenta previa. Apa pantangan-pantangan ibu hamil yang mengalami tekanan darah tinggi, dan lebih jauh lagi, ibu itu jelas tidak boleh memberi resep!

Jadi, apa yang bisa si ibu beranak sepuluh ini lakukan?
Ya yang bisa dia lakukan hanyalah sharing pengalaman. Berdasarkan pengalaman hamil dan melahirkan sepuluh anak, tentu ada banyak cerita yang bisa dia bagikan. Syukur kalau cerita itu inspiratif, dan bisa menenangkan calon ibu lainnya.
Nah, untuk berbagi cerita seperti itu, apakah pantas si ibu menarik bayaran? Ya pantas-pantas aja sih, kan namanya pengalaman juga kudu dihargai. Tapiiii ya jangan mahal-mahal wkwkwkwk. 

Berbeda dengan bidan atau SpOg. Mereka berhak meminta bayaran.
Mengapa?
Karena di tangan merekalah kita "berserah". Kita bisa menanyakan apa saja, dan mereka tahu jawabannya. Segala macam masalah kehamilan, melahirkan, menyusui, dll dll, bisa mereka jawab dengan baik.
Darimana mereka tahu jawabannya?
Dari SEKOLAH. Mereka belajar, dan ada biaya yang harus mereka bayar untuk sekolah. Juga untuk buku-buku mahal yang harus mereka beli.
Kecuali bidan atau dokternya itu adalah seseorang yang amat berjiwa sosial tinggi dan menggratiskan semuanya, alhamdulillah. Tapi rasanya itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Bolehkah kita mengecam bidan/dokter kandungan dengan kalimat seperti ini?
"Halah, sok tau banget ngomongi soal kehamilan. Hamil aja nggak pernah!"
Hihihi, gimana mau hamil wong dokternya cowok, Bu?
Kalau dia nggak pernah hamil, so dia nggak boleh ngasih tau ABC tentang kehamilan gitu?
Ya nggak lah, kan dia memang orang yang berkompeten di bidangnya.

Jadiiiiiiiiiiiiii, apa sih maksud dari tulisanku yang nggak jelas ini?

Intinya, aku mau bilang bahwa aku adalah si ibu beranak sepuluh itu.
Aku merasa tidak/belum pantas menjadi pengajar kelas menulis.
Mungkin suatu saat nanti, jika aku sudah "sekolah" dan membekali diri dengan berbagai pengetahuan yang layak, aku baru berani.
 Untuk saat ini, aku hanya berani sharing pengalaman saja.

Bagaimana dengan kursus menulis online yang marak di FB?
Saya mengenal beberapa dari mereka. Dan mereka adalah dokter-dokter kandungan yang hebat!
Biasanya, mereka "bersekolah" di penerbitan besar di Indonesia. Mereka cukup lama bergelut menjadi editor dan editor senior di sebuah penerbitan. Mereka tahu benar seluk beluk dunia perbukuan, karena pekerjaan sebagai editor di sebuah penerbitan, mau tak mau membuat mereka membaca ratusan buku tiap tahunnya.

Saya mengenal editor freelance yang sangat enerjik. Dia membaca banyak buku, bahkan saya pikir dia membaca SEMUA buku yang ada di dunia ini. Lha gimana, tiap kali kami tanya buku A, dia bisa jawab. Kami tanya tentang buku B, dia bisa jawab.  Dia tahu banget maunya penerbit A itu gimana, penerbit B itu gimana. Dia tau semua tentang teknis penulisan, karena dia "tidur" dengan buku tiap harinya. Jika dia tak paham teknik kepenulisan, sudah tentu dia tak bisa menjadi editor yang baik, kan?
Dan percaya nggak, si editor freelance ini bahkan belum pernah menulis satu buah buku pun.

Ada yang bertanya, "Belum pernah nerbitin buku kok berani-beraninya ngajar? Apalagi jadi editor akuisisi. Kerjaannya ngomelin naskah orang melulu. Pilih naskah baik, buang naskah buruk. Lha wong kamu aja nggak pernah nulis buku kok berani-beraninya ngatain naskah orang buruk?"

Jawabannya ya itu tadi : Untuk menjadi seorang bidan yang baik, tak harus melahirkan bayi dulu.

Dan saya setuju. Kalau teman-teman tak setuju, ya monggo. Kalau di dunia ini semuanya setuju dan sepaham, nanti teori Yin dan Yang gulung tikar.

Kesimpulannya:
Saya nggak mau main-main dengan membuka kelas menulis berbayar. Saya tahu benar, banyak orang yang bekerja keras menyisihkan uang untuk mengikuti kelas menulis. Ada yang menjual cincin, ada yang mencungkil tabungan tanpa sepengetahuan suami, dll.
Dengan bekal saya yang "hanya" sebagai ibu dari sepuluh anak, tegakah saya menerima uang dari teman-teman yang seperti itu?

Sebaliknya, jika teman-teman ingin mengikuti kelas menulis, pastikan dulu mentornya adalah seorang "dokter kandungan/bidan" yang mumpuni.
Bukan orang yang baru setahun dua tahun tolah-toleh di dunia menulis lalu mendadak jadi "dokter" karena sudah punya beberapa buku. Sayang uangmu, ratusan ribu bahkan jutaan melayang untuk membayar orang yang, saat kamu tanyain tentang ini dan itu, nggak bisa menjawab. Kalau kursusnya gratis sih, nggak masalah. Paling tidak, kalian tak perlu membayar dan rugi.

 
Namun yang lebih penting lagi, pesanku pada teman-teman yang ingin serius belajar menulis: membacalah.
Percuma kamu mengikuti seabrek kelas, namun tak mau meluangkan waktu untuk membaca.
Setelah itu, menulislah!Banyak membaca, akan membantumu untuk bisa menulis. Trust me.

Jika cara otodidak tak membantumu untuk menghasilkan tulisan yang baik, barulah kalian bisa mempertimbangkan untuk mengikuti kelas.
Beberapa orang dikaruniai kemampuan otodidak (termasuk saya, meski demikian saya tetap mengikuti kelas menulis novel hehe), namun beberapa orang yang lain tak punya kemampuan otodidak. Mereka butuh dibimbing. Untuk itulah para "dokter kandungan" itu ada.

Jadi, demikianlah tulisanku malam ini yang serba mbuletisasi ini.

Setuju, monggo.

Tidak setuju, monggo.

Terus berkarya, terus belajar, terus semangat. Merdeka!




 








3 komentar:

  1. merdeka!

    tapi kegalauan cici "agak mirip" ke saya, ketika beberapa orang menginbox meminta saya buka kelas online menulis novel anak.

    sudah dipikirkan masak2, meski sempat hitung2an waktu, uang dan nanya ke "senior dan mentor" :)

    ujung-ujungnya, saya pake skala prioritas.

    yang pertama tentu keluarga. memberi kelas online itu tanggung jawabnya besar (mungkin saya yang membesar2kan ya? hehehe). belum lagi komitmen sama waktu dan kegiatan tersebut.

    pada akhirnya, pertanyaan dari mentor saya "apakah dirimu sudah siap mendedikasikan sebagian waktumu untuk sebuah kelas online?" menjadi tantangan yang saya jawab "belum siap"

    ini tak terkait soal menjadi ibu 10 anak, bidan atau pura2 jadi bidan ya Ci? :) ini terkait masalah komitmen...:) dan ini berat.

    saya suka mengajar.

    i love it so much... *makanya ujian banget melepaskan profesi dosen.

    tapi diluar itu, mengajar tanpa komitmen dan bekal yang mumpuni, memang kesannya jadi main-main. dan sebuah ilmu (pengalaman) yang dishare berbayar tapi dilakuan secara "main-main", fatal akibatnya kelak..

    makasih share ini ci... membuat saya berpikir, ternyata bukan saya sendirian yang "belum siap" untuk membuka kelas online..:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Uni, maaf baru buka blog lagi.

      Betul sekali, Uni. Salah satu alasan saya yang lain adalah komitmen. Apakah saya siap mendedikasikan waktu dan diri saya untuk sebuah kelas berbayar? Orang sudah membayar, pasti lah berharap banyak pada kita. Saya belum bisa untuk berkomitmen seperti itu.

      Salah satu ibu beranak sepuluh yang sekaligus seorang bidan yang saya kagumi adalah Mbak Nurhayati Pujiastuti.
      Saya pernah menginbox beliau, hanya untuk menyatakan rasa hormat dan salut saya pada beliau yang mau membuka kelas gratis, dan penuh totalitas. Keliatan kan, para "murid" nya pada sukses menembus media.

      Dan jawaban Mbak Nurhayati saat itu membuat saya tambah kagum pada beliau. Sama seperti Uni, Mbak Nur suka sekali mengajar. Jiwanya adalah jiwa guru. Dan dia merasa "kosong" jika tidak mengajar. Itu yang saya tangkap dari beliau.

      Saya pribadi, belum mampu untuk berkomitmen seperti beliau (meski banyak yang bilang saya pasti bisa). Namun, saya nggak mau mengecewakan orang.
      Untuk saat ini, saya memilih untuk menjadi saya yang sekarang.

      Thanks juga untuk sharingnya, Uni ^^

      Hapus
  2. Asyik, saya jadi punya ide kalau ditanya soal ini!

    Tapi kalau saya kok lebih memilih berguru ibu beranak 10 ya daripada ke bidan. Rasanya lebih afdol. Sekedar mau tau 10 pengalaman melahirkan saja. Ibu tidak harus sempurna kok. Ibu juga kan manusia.

    BalasHapus

Happy blogwalking, my dear friends ^^