Jika kamu bertanya padaku, cintakah aku pada ibuku?
Tolong jelaskan padaku. Cinta itu seperti apa?
Jika yang kamu maksud adalah, rajin memeluk dan mencium, maka aku tidak mencintai ibuku.
Jika yang kamu maksud adalah, berbincang dengan lembut, dan tidak pernah membantah, maka aku tidak mencintai ibuku.
Namun, jika yang kamu maksud adalah, menjadi anak yang tidak menyusahkan, bahkan membanggakan, maka ya. Aku mencintai ibuku.
Atau, menjadi anak yang memastikan ibunya tidak kekurangan uang, makanan, dan kesenangannya, maka ya aku mencintai ibuku.
Juga menjadi anak yang mendengarkan segala curahan hatinya, dan ikut mendukungnya meski kadang ya menghakimi sambil tertawa-tawa. Ya, aku mencintai ibuku.
Cinta itu kadang tak kasat mata.
Kamu bisa melihat seseorang, dan menuduhnya tidak mencintai ibunya. Padahal, dia cinta.
Sama halnya jika kamu melihat ibuku.
Menikah di usia muda, sehingga pada usia 27 beliau sudah memiliki 6 anak.
Dengan kondisi ekonomi yang kembang kempis, maka teriakan penuh amarah mewarnai hari-hari kami.
Tapi, apakah berarti dia tidak mencintai kami?
Cinta kok dinyatakan dengan bentakan dan (kadang) pukulan.
Yakinlah. Dia mencintai kami.
Meski ada saja kelakuan anaknya yang menyusahkan, dia selalu membela di hadapan orang lain.
Ada yang berani memukul atau mengolok kami? Bersiaplah berhadapan dengannya :)
Beliau bekerja apa saja, untuk bisa membelikan kami pakaian, dan membayar SPP.
Membuat enting-enting, menggoreng widaran, membuat bolu karamel, panekuk, dan menggoreng kerupuk rambak (sampai di akhir hidupnya dia masih menggoreng kerupuk rambak), semua beliau lakukan.
Meski hidup begitu keras, dengan berbagai drama rumah tangga ala jaman old, beliau bisa menghadapinya.
Ibuku bukanlah ibu yang lemah lembut.
Ibuku bukanlah ibu yang suka memeluk dan mencium anak-anaknya.
Namun, ibuku adalah ibu yang siap mati 100% membela keluarganya.
Dia tak pernah takut pada siapapun, meski itu setan atau jendral.
Jangan berani mengusik kami, jika kamu tak mau berhadapan dengan ibuku.
Untukmu, yang masih memiliki ibu ...
Aku yakin kamu mencintai ibumu.
Mungkin kamu seperti aku. Tidak bisa memeluk, tidak bisa mencium, tapi yakinlah ... kamu sayang pada ibumu.
Tidak semua orang bisa mengekspresikan cinta dengan bahasa tubuh, kan? Termasuk ibuku. Kupikir, aku menuruni sifatnya untuk hal itu.
Untukmu, yang sering jengkel dan marah pada ibumu.
Ingatlah, berapa sih sisa usia beliau?
Secara matematika, tidak lama lagi, kan?
Jangan sampai kamu menjadi sepertiku. Meremehkan dan menganggap ibuku seperti highlander yang tak akan pernah meninggalkan dunia ini.
Begitu terjadi ... BLAR!
Tak bisa diulang.
Jangan sampai menyesal.
** Sidoarjo, 22 Desember 2017**
Ditulis dengan penuh air mata berlinang.
Renungan di hari ibu, meski aku tak pernah merayakan hari ibu. Aku tak pernah mengucapkan selamat hari ibu pada ibuku, dan anak-anakku pun tak pernah mengucapkannya padaku.
Kamis, 21 Desember 2017
Rabu, 22 November 2017
Hello, I am Madeline -- A True Story (Interlude)
INTERLUDE
I keep thinking I was getting better
That I was going to be okay again
I guess I was wrong
Because I feel like I’m taking two steps
ahead and three steps back
I just have to remember to keep
breathing
To keep holding on
For life
For love
For hope
SELINGAN
Aku masih berpikir kondisiku membaik
Berpikir aku akan baik-baik saja
Aku rasa aku salah
Karena aku merasa seperti maju dua
langkah dan mundur tiga langkah
Aku harus terus-menerus mengingatkan
diriku untuk tetap bernapas
Untuk tetap bertahan
Demi hidup
Demi cinta
Demi harapan
Rabu, 15 November 2017
Hello, I am Madeline -- A True Story (Part 4)
A
SERIES OF UNFORTUNATE – AND FORTUNATE – EVENTS.
As much as I would like to tell you how miserable
my life had been, I can’t.
There are sad moments. But there were
happy moments too.
One of them were the memories I have of
my grandma, my mother’s mother.
She loved me like no one else. She’d put
me on her knee, tell me stories of her childhood in China.
How she got married at 14, pregnant at
15.
How she had seven children and stopped
going to school when she was only ten.
How she walked for miles to school with
only a sheet of plastic on her feet to protect her soles from sharp stones and
animals. Climbing hills and walking through forest.
How she sowed rice in the fields under
the hot sun with no sandals on because she couldn’t afford to buy them.
How she wanted me to have different
life.
Told me, “Maddie, you have to go to
school, study hard, make your parents proud.”
I asked her, “But Bobo, how can you make
someone proud when they don’t even like you?”
She told me that I was loved and wanted
and cherished even when I didn’t know it.
That my mother loved me very much.
I used to think I was adopted.
For a start, I didn’t look like my
parents at all.
My father always called me “fattie,” and
told me how none in his family is fat.
Then, judging by how my father ignored
me, I really believed I wasn’t his real child.
One night I snuck into his room and searched
for my birth certificate. Wanting to know if I was indeed adopted.
I found out that no, I wasn’t adopted.
I was his child. Flesh and blood.
I was both disappointed and relieved.
In a way, I wanted someone else to be my
father. Someone nice. Someone who loved me.
Besides, being adopted would give me
justification for how he appeared to dislike and ignore me.
When I was about seven, my grandmother
passed away from a heart attack.
I didn’t cry, I was too young to
understand.
I just saw my mother, my aunts and
uncles cried in the hospital.
My mother was hysterical. She banged her
head onto the sidebar of the bed where my grandma lay lifeless.
She cried and cried, begging, “wake up,
please wake up, Mama.”
I didn’t understand.
She’d wake up, wouldn’t she? She’s just
taking a nap.
Please
stop crying, Mama, you’re scaring me.
Today, one of the memories I cherished
the most was me going home from school and seeing my grandma waiting for me at
the front gate.
She picked me up and ruffled my curly
hair.
“Have you been a good girl today at
school?” she asked.
“Yes, Bobo.”
“Very good. I have made you your
favorite meal, Ayam Bali.”
I jumped gleefully out of her arms and
ran inside, the delicious smell of spices filled the house.
For the first time in a very long time,
I was glad to be home.
I felt happy in my own home.
My father was away, my grandma was here,
my mother looked happy and everything was alright.
We sat in the dining room and ate our
lunch and talked and joked.
We all made bakpao together.
She stayed at our house for two nights until
my father returned from wherever he went to.
Before she left, she held me and
whispered to my ear.
“You’re going to be fine, my favorite
girl. Bobo loves you very much and you will be taken care of. But you have to take
care of your mother and your sisters and brothers too, okay? I will see you
very soon.”
I made her promise that.
Then I stood by the porch, watching her
walk out of the gate and getting into the becak
that took her back to her own home.
Later that night, my parents fought
again.
My mother cried.
Again.
And everything wasn’t alright.
Again.
Life wasn’t always a series of
unfortunate events.
There were good times.
But sometimes it is hard to remember
them when there were too many bad times.
-- TO BE CONTINUED --
SERANGKAIAN
PERISTIWA TIDAK MENYENANGKAN—DAN MENYENANGKAN.
Meskipun aku ingin mengatakan bahwa
hidupku selalu penuh penderitaan, aku tidak bisa.
Ada saat-saat sedih. Namun ada saat-saat
bahagia juga.
Salah satunya adalah kenangan yang
kumiliki akan nenekku, ibu dari ibuku.
Dia menyayangiku lebih dari siapapun.
Dia suka menaruhku di atas pangkuannya
dan bercerita tentang masa kecilnya di Cina,
Bagaimana dia menikah di usia empat
belas tahun dan hamil di usia lima belas.
Bagaimana dia memiliki tujuh anak dan
harus berhenti bersekolah ketika masih sepuluh tahun.
Bagaimana dia dulu harus berjalan kaki
bermil-mil jauhnya untuk pergi ke sekolah dengan hanya selembar plastik di kaki
untuk melindungi telapak kakinya dari benda tajam dan binatang. Berjalan
melewati hutan dan mendaki bukit.
Bagaimana dia harus bertani di bawah
terik matahari tanpa alas kaki karena dia tidak mampu membeli sandal.
Bagaimana dia ingin aku memiliki hidup
yang berbeda.
Dia berkata, “Maddie, kau harus pergi ke
sekolah, belajar yang tekun, buat orang tuamu bangga.”
Aku bertanya padanya, “Tapi Bobo,
bagaimana kau bisa membuat seseorang bangga jika mereka bahkan tidak
menyukaimu?”
Dia mengatakan padaku bahwa aku sangat
dicintai, disayangi, dan diinginkan meskipun aku mungkin tidak menyadarinya.
Dia mengatakan padaku bahwa ibuku
sangat, amat, menyayangiku.
Dulu aku berpikir aku adalah anak hasil
adopsi.
Satu, karena wajahku sama sekali tidak
mirip orang tuaku.
Ayahku selalu memanggilku gendut dan
mengatakan bahwa tidak ada keturunannya yang gendut seperti aku.
Kedua, melihat bagaimana ayahku tidak
pernah peduli padaku, aku benar-benar yakin aku bukanlah anak kandungnya.
Suatu malam aku menyelinap ke kamar
kerjanya dan mencari akte kelahiranku. Ingin tahu apakah aku memang benar-benar
anak angkat.
Tapi ternyata tidak, aku bukanlah anak angkat.
Aku adalah anaknya. Darah dagingnya.
Aku merasa kecewa, sekaligus lega.
Entah bagaimana, aku berharap aku adalah
anak angkat.
Aku berharap ayah kandungku bukan dia.
Tapi orang lain. Orang yang menyayangiku.
Dan menjadi anak angkat memberiku
pembenaran kenapa dia selalu tidak mengacuhkanku dan tidak menyukaiku.
Ketika usiaku tujuh tahun, nenekku
meninggal karena serangan jantung.
Aku tidak menangis, aku masih terlalu
kecil untuk mengerti.
Aku hanya melihat ibu, tante dan pamanku
menangis di rumah sakit.
Ibuku dengan histeris menghantamkan
kepalanya ke pegangan besi ranjang dimana nenekku terbaring tak bernyawa.
Dia menangis dan menangis, memohon,
“Mama, bangun, Mama, bangun!”
Aku tidak mengerti.
Bobo pasti akan bangun, kan? Dia hanya
tidur siang.
Berhentilah
menangis Mama, kau membuatku takut.
Saat ini, salah satu kenangan yang
paling kuingat dengan bahagia adalah ketika aku pulang sekolah dan melihat
nenekku sudah menunggu di depan pagar rumah.
Dia mengangkatku dan mengacak rambut
ikalku.
“Hari ini kamu nakal atau pintar di
sekolah?” tanyanya.
“Pintar, Bobo.”
“Bagus. Bobo sudah masakkan kesukaanmu, Ayam Bali.”
Aku melompat kegirangan dan lari masuk,
aroma bumbu bali yang sedah memenuhi seluruh penjuru rumah.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang
lama sekali, aku merasa senang berada di rumah.
Aku bahagia di rumahku sendiri.
Ayahku tidak ada, nenekku ada di sini,
ibuku terlihat bahagia, dan semuanya baik-baik saja.
Kami duduk di ruang makan dan makan
siang, berbincang-bincang, bercanda.
Kami semua membuat bakpao.
Nenek menginap di rumah kami selama dua
malam sebelum ayahku kembali, entah dari mana.
Sebelum Nenek pergi, dia memelukku dan
berbisik di telingaku.
“Kau akan baik-baik saja, cucu
kesayanganku. Bobo sayang sekali sama kamu dan akan selalu menjagamu baik-baik.
Tapi kamu juga harus menjaga ibu, adik, dan kakakmu baik-baik, ya? Sebentar
lagi kamu akan ketemu Bobo.”
Aku menyuruhnya berjanji.
Aku berdiri di halaman depan rumah,
melihatnya berjalan keluar pagar dan naik ke becak yang membawanya pulang ke rumahnya sendiri.
Malam itu, kedua orang tuaku bertengkar
lagi.
Ibuku menangis.
Lagi.
Dan semuanya tidak baik-baik.
Lagi.
Hidup memang tidak selalu penuh oleh
serangkaian peristiwa tidak menyenangkan.
Ada saat-saat yang indah.
Namun sulit untuk mengingatnya ketika
terlalu banyak saat-saat yang menyedihkan.
-- BERSAMBUNG --
Minggu, 05 November 2017
Hello, I am Madeline -- A True Story (part 3)
HOW NAÏVE YOU WERE, MADELINE
Some of you might wonder, was I one of
those rich Chinese girls?
Or was I a poor?
I sounded like poor.
You might prefer me being poor. It
certainly fit the theme.
The truth is, I was both.
I had been a rich little girl who always
wore matching dresses and socks and shoes.
But I had also been very poor that I had
to tape my backpack because my mother couldn’t afford buying me a new bag.
My father was a very hardworking man,
but at the same time, he’s a very big spender, and was lousy in bookkeeping. We
were going from filthy rich family to piss poor in a blink of an eye.
My father was the one who built one of
Surabaya’s iconic buildings. He also built several other malls such as that are
now being reserved by the government.
Life was peachy and a fine form of perfection.
Only in the eyes of the outsiders.
You know what they say about how money
can’t buy happiness?
Well, darlings, it’s true.
My father went bankrupt when my little
brother was born. He lost his construction job and we went downhill so fast before
we had time to recover from the shock.
I was in the middle of Junior High
School at that time. My brother was under scholarship so we had no problem with
his, but we’re struggling with my school tuition.
My monthly school payment was always
late, sometimes to the point where they asked me to leave the classroom because
I wasn’t “eligible” to study.
Then my mother would come to the head of
the school, begging for some time allowance. For help. For anything to get me
back into the class.
My dad, as tough as he was to us, he was
a coward to public.
He never came to the school. Too
embarrassed. Too arrogant.
When it was the graduation time, we
couldn’t afford the end of school year party fee.
They called my parents and my mother
came, bringing a pair of shoes with her.
My father worked at a shoes factory at
that time, and he stole a pair of woman pumps and gave them to my mother.
She went to the school, met with the
head of the institution, and begged for “discount”.
She offered the shoes. She unwrapped the
plastic bag she carried, took out the box, opened the lid and put the shoes on
the desk.
The shoes were dark grey, chunky heels,
formal style.
The head of the institution, Syenna,
didn’t even blink an eye to them. Not even a glance to the pair of grey poor
shoes lying hopelessly on her desk, begging to be accepted.
She shook her head and said, “How many
times have you come here asking for discount, for time extension, for help? How
long do I have to endure you and your rebellious daughter?”
My mother cried. Syenna didn’t even twitch
an eye.
Didn’t even offer tissue. She just sat
on her swivel chair, round and round. Like a teacup in a fair.
I hated her.
And she knew I hated her.
She looked at me and said, “Why can’t
you be like your brother?”
I answered her. “Because I am not him.”
“Yes, that’s exactly the problem. Your
mother would not have to come here if you were like your brother.”
I really hated her.
She shooed my mother away like a fly,
gave us a two week time extension to pay off. Sent back the shoes with her.
Told her to, “sell the shoes to pay off some of the party ticket fee.”
We went out and in the becak that took us home, I said to my
mother.
“Never again will you go to her. Never.
I’d rather stop going to school then to see you begging to her like that.
Promise me you will never do it again.”
My mother cried but didn’t answer.
This should have made me the perfect
target for bullying.
When I was young, I was a total nerd.
Glasses, curly big hair, acnes, kinda of
fat, bookworm. Poor.
Every time a teacher came over to our
class and called me out, the other students gossiped.
They knew what it was for.
I ticked every box for “how to identify
a bully target”.
They made fun of me, of my poorness, of
my appearance.
But always behind my back.
Because I didn’t give them the chance to
speak in front of me.
I had witnessed enough bullying in my
own house and I would not tolerate anymore outside the house.
I’ve got a big man bullying my mother,
my sister, and my brother. Some junior high school adolescent boys with acnes
and fake muscles didn’t scare me.
The positive note from having an abusive
father is that you have somehow lost your tolerance for bullshit.
You are not scared of anything.
Plus the fact that the richest boy in
school was in love with me and we dated on and off for two years.
So either they all befriended me because
of this fact, or because of being intimidated by me.
I didn’t care.
I didn’t have many friends. I only had
one best friend, whom I spent almost my every afternoon sitting on the floor of
her room, reading books, listening to music, talking, or sometimes just
napping.
She was the only one who looked at me
for who I was.
She only cared for Madeline.
She was my best friend for a very long
time.
Her mother was aware of my struggling.
She offered money. She gave me food.
But I was a pride girl.
I swore to myself, no one, NO ONE, would
ever make me beg like my mother did.
Not for money, not for help, not for
anything.
I swore that I would stand by myself,
and I would not need anyone else.
That I would survive on my own if I had
to.
That I’d rather end up alone than having
to live under someone else’ mercy.
Oh, how naïve you were, Madeline.
(TO BE CONTINUED)
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Mungkin, beberapa dari kalian
bertanya-tanya. Apakah aku salah satu gadis keturunan Tionghoa yang kaya raya?
Atau, aku ini orang miskin?
Aku terdengar seperti orang miskin.
Kalian mungkin lebih memilih aku sebagai
orang miskin. Cocok dengan temanya.
Kenyataannya, aku ini keduanya. Ya kaya,
ya miskin.
Aku pernah menjadi gadis cilik yang
kaya, yang selalu memakai gaun yang serasi dengan kaos kaki dan sepatuku.
Tapi, aku juga pernah amat miskin. Aku
pernah harus melakban tasku, karena Mama tidak sanggup membelikan tas baru
untukku.
Ayahku adalah seorang pekerja keras,
tapi di saat yang sama, dia juga pemboros dan malas mencatat pengeluarannya.
Kami sekonyong-konyong berubah, dari
keluarga kaya, menjadi keluarga miskin hanya dalam satu kedipan saja.
Ayahku adalah orang yang membangun salah
satu bangunan terkenal di Surabaya. Dia juga membangun beberapa mal yang
sekarang sudah dipugar oleh pemerintah.
Kehidupan kami terlihat benar dan
sempurna saat itu, terutama bagi orang luar.
Pernahkah kamu mendengar bahwa uang
tidak bisa membeli kebahagiaan?
Itu benar, Sayang.
Ayahku bangkrut ketika adik laki-lakiku
lahir. Dia kehilangan pekerjaan konstruksinya, dan kami pun terpuruk dengan
cepat, bahkan sebelum kami sadar dari keterkejutan kami.
Saat itu, aku masih SMP.
Kakak laki-lakiku yang sekolahnya
dibiayai beasiswa, tentu tak masalah. Berbeda denganku yang harus berjuang,
agar bisa membayar SPP.
Aku selalu terlambat membayar SPP.
Kadang, aku sampai diusir dari kelas karena aku dianggap tak mampu sekolah di
sana.
Kalau sudah begitu, Mama akan datang ke
sekolah dan memohon pada kepala sekolah agar memberi kami waktu lagi. Pokoknya,
aku harus terus sekolah.
Bagaimana dengan Papa?
Dia pengecut. Dia tak pernah datang ke
sekolahku. Terlalu malu, terlalu sombong.
Ketika saatnya kelulusan, kami tidak
dapat membayar uang pesta perpisahan.
Sekolah memanggil orangtuaku, dan
seperti biasa Mama yang datang.
Saat itu, Papa bekerja di sebuah pabrik
sepatu. Papa mencuri sepasang sepatu wanita, dan memberikannya pada Mama.
Sepatu itu dibawa Mama ke sekolah.
Mama menawarkan sepatu itu pada ketua
yayasan, agar aku diberikan diskon pembayaran uang pesta perpisahan.
Mama membuka tas kresek yang dia bawa,
mengeluarkan kotak sepatu, membukanya, dan menaruh sepatu itu di meja.
Sepatu itu bewarna abu, berhak tebal, sepatu
resmi lah.
Ketua yayasan, Bu Syenna, sama sekali
tidak melirik sepatu itu. Sepatu itu terpaku begitu saja di atas meja, seolah
memohon agar Bu Syenna menerimanya.
Bu Syenna menggelengkan kepala, “Berapa
kali sudah kamu datang ke sini dan meminta diskon, perpanjangan waktu dan
lain-lain? Berapa lama saya harus melakukan ini terus, untukmu dan untuk anakmu
yang sulit diatur itu?”
Mama menangis. Bu Syenna, bergeming.
Dia bahkan tidak menawarkan tisu. Dia
hanya duduk dan memutar-mutar kursinya. Seperti wahana di pasar malam yang
berbentuk cangkir teh. Berputar-putar.
Aku benci Bu Syenna.
Dan dia tahu itu.
Dia memandangku dan berkata, “Kenapa
sih, kamu nggak bisa kayak kakakmu?”
Aku menjawab, “Karena aku bukan dia,”
“Ya! Itulah masalahnya. Mamamu tidak
perlu datang dan seperti ini, jika kamu bisa seperti kakakmu!”
Aku benar-benar benci dia.
Dia lalu mengibaskan tangan, mengusir
Mama seperti orang mengusir lalat. Dia memberi kami waktu dua minggu lagi untuk
membayar.
“Jual saja sepatu itu untuk membayar
sebagian uang perpisahan.”
Dalam perjalanan pulang naik becak, aku
berkata pada Mama.
“Jangan pernah lagi Mama menghadap dia.
Lebih baik aku berhenti sekolah saja, daripada melihat Mama memohon padanya seperti itu. Ma, janji ya. Jangan
lakukan itu lagi,”
Mama menangis, namun tidak menjawab.
Hal ini membuatku target yang sempurna
untuk dirisak.
Di masa itu, aku amat culun.
Berkacamata, rambut ikal, jerawat di
mana-mana, gemuk, dan selalu membaca buku. Kasihan.
Setiap kali seoran guru datang ke
kelasku dan memanggilku untuk keluar, murid yang lain pun bergosip.
Mereka tahu, mengapa aku dipanggil.
Aku adalah target perisakan yang
sempurna.
Teman-temanku menertawakan kemiskinanku,
juga penampilanku yang culun.
Tentu, mereka hanya berani di
belakangku.
Aku tidak akan pernah memberi mereka
kesempatan untuk bicara seperti itu di hadapanku.
Aku sudah cukup menyaksikan perisakan di
rumahku, dan aku tidak akan menerima adanya perisakan di luar rumah.
Aku sudah punya pria dewasa yang merisak
Mama, aku, dan kakak-kakakku. Segerombolan remaja cowok dengan jerawat dan otot
palsu, tak membuatku takut.
Salah satu hal postitif yang kudapat
dari memiliki Papa seperti itu adalah, kamu tidak akan mentolerir hal-hal omong
kosong.
Kamu tidak akan takut apapun.
Oya, saat itu aku punya pacar. Dan
pacarku adalah murid terkaya di sekolah. Akhirnya, teman-teman yang lain pun
mau berteman denganku. Entah karena pengaruh pacarku, entah karena takut
padaku.
Aku tak peduli.
Aku tak punya banyak teman. Aku hanya
punya satu teman baik. Aku sering menghabiskan waktu bersamanya, duduk di
lantai kamarnya, membaca buku, mendengarkan lagu, ngobrol, dan kadang ya hanya
tidur siang.
Dia satu-satunya teman yang memandangku
apa adanya/
Dia peduli padaku.
Kami bersahabat cukup lama.
Ibunya pun baik. Dia paham kondisiku.
Dia menawariku uang, dan memberi makanan.
Tapi, aku gadis jumawa.
Aku bersumpah pada diriku sendiri, TIDAK
ADA SIAPAPUN, yang bisa membuatku memohon seperti yang Mama lakukan.
Tidak untuk uang, tidak untuk bantuan,
tidak untuk apapun.
Aku bersumpah, aku akan berdiri di kakiku
sendiri.
Aku tidak butuh siapapun.
Aku akan berjuang untuk hidupku sendiri.
Aku lebih memilih berakhir sendirian,
daripada harus hidup di bawah belaskasihan orang lain.
Oh, betapa naifnya kamu, Madeline.
Langganan:
Postingan (Atom)