A
SERIES OF UNFORTUNATE – AND FORTUNATE – EVENTS.
As much as I would like to tell you how miserable
my life had been, I can’t.
There are sad moments. But there were
happy moments too.
One of them were the memories I have of
my grandma, my mother’s mother.
She loved me like no one else. She’d put
me on her knee, tell me stories of her childhood in China.
How she got married at 14, pregnant at
15.
How she had seven children and stopped
going to school when she was only ten.
How she walked for miles to school with
only a sheet of plastic on her feet to protect her soles from sharp stones and
animals. Climbing hills and walking through forest.
How she sowed rice in the fields under
the hot sun with no sandals on because she couldn’t afford to buy them.
How she wanted me to have different
life.
Told me, “Maddie, you have to go to
school, study hard, make your parents proud.”
I asked her, “But Bobo, how can you make
someone proud when they don’t even like you?”
She told me that I was loved and wanted
and cherished even when I didn’t know it.
That my mother loved me very much.
I used to think I was adopted.
For a start, I didn’t look like my
parents at all.
My father always called me “fattie,” and
told me how none in his family is fat.
Then, judging by how my father ignored
me, I really believed I wasn’t his real child.
One night I snuck into his room and searched
for my birth certificate. Wanting to know if I was indeed adopted.
I found out that no, I wasn’t adopted.
I was his child. Flesh and blood.
I was both disappointed and relieved.
In a way, I wanted someone else to be my
father. Someone nice. Someone who loved me.
Besides, being adopted would give me
justification for how he appeared to dislike and ignore me.
When I was about seven, my grandmother
passed away from a heart attack.
I didn’t cry, I was too young to
understand.
I just saw my mother, my aunts and
uncles cried in the hospital.
My mother was hysterical. She banged her
head onto the sidebar of the bed where my grandma lay lifeless.
She cried and cried, begging, “wake up,
please wake up, Mama.”
I didn’t understand.
She’d wake up, wouldn’t she? She’s just
taking a nap.
Please
stop crying, Mama, you’re scaring me.
Today, one of the memories I cherished
the most was me going home from school and seeing my grandma waiting for me at
the front gate.
She picked me up and ruffled my curly
hair.
“Have you been a good girl today at
school?” she asked.
“Yes, Bobo.”
“Very good. I have made you your
favorite meal, Ayam Bali.”
I jumped gleefully out of her arms and
ran inside, the delicious smell of spices filled the house.
For the first time in a very long time,
I was glad to be home.
I felt happy in my own home.
My father was away, my grandma was here,
my mother looked happy and everything was alright.
We sat in the dining room and ate our
lunch and talked and joked.
We all made bakpao together.
She stayed at our house for two nights until
my father returned from wherever he went to.
Before she left, she held me and
whispered to my ear.
“You’re going to be fine, my favorite
girl. Bobo loves you very much and you will be taken care of. But you have to take
care of your mother and your sisters and brothers too, okay? I will see you
very soon.”
I made her promise that.
Then I stood by the porch, watching her
walk out of the gate and getting into the becak
that took her back to her own home.
Later that night, my parents fought
again.
My mother cried.
Again.
And everything wasn’t alright.
Again.
Life wasn’t always a series of
unfortunate events.
There were good times.
But sometimes it is hard to remember
them when there were too many bad times.
-- TO BE CONTINUED --
SERANGKAIAN
PERISTIWA TIDAK MENYENANGKAN—DAN MENYENANGKAN.
Meskipun aku ingin mengatakan bahwa
hidupku selalu penuh penderitaan, aku tidak bisa.
Ada saat-saat sedih. Namun ada saat-saat
bahagia juga.
Salah satunya adalah kenangan yang
kumiliki akan nenekku, ibu dari ibuku.
Dia menyayangiku lebih dari siapapun.
Dia suka menaruhku di atas pangkuannya
dan bercerita tentang masa kecilnya di Cina,
Bagaimana dia menikah di usia empat
belas tahun dan hamil di usia lima belas.
Bagaimana dia memiliki tujuh anak dan
harus berhenti bersekolah ketika masih sepuluh tahun.
Bagaimana dia dulu harus berjalan kaki
bermil-mil jauhnya untuk pergi ke sekolah dengan hanya selembar plastik di kaki
untuk melindungi telapak kakinya dari benda tajam dan binatang. Berjalan
melewati hutan dan mendaki bukit.
Bagaimana dia harus bertani di bawah
terik matahari tanpa alas kaki karena dia tidak mampu membeli sandal.
Bagaimana dia ingin aku memiliki hidup
yang berbeda.
Dia berkata, “Maddie, kau harus pergi ke
sekolah, belajar yang tekun, buat orang tuamu bangga.”
Aku bertanya padanya, “Tapi Bobo,
bagaimana kau bisa membuat seseorang bangga jika mereka bahkan tidak
menyukaimu?”
Dia mengatakan padaku bahwa aku sangat
dicintai, disayangi, dan diinginkan meskipun aku mungkin tidak menyadarinya.
Dia mengatakan padaku bahwa ibuku
sangat, amat, menyayangiku.
Dulu aku berpikir aku adalah anak hasil
adopsi.
Satu, karena wajahku sama sekali tidak
mirip orang tuaku.
Ayahku selalu memanggilku gendut dan
mengatakan bahwa tidak ada keturunannya yang gendut seperti aku.
Kedua, melihat bagaimana ayahku tidak
pernah peduli padaku, aku benar-benar yakin aku bukanlah anak kandungnya.
Suatu malam aku menyelinap ke kamar
kerjanya dan mencari akte kelahiranku. Ingin tahu apakah aku memang benar-benar
anak angkat.
Tapi ternyata tidak, aku bukanlah anak angkat.
Aku adalah anaknya. Darah dagingnya.
Aku merasa kecewa, sekaligus lega.
Entah bagaimana, aku berharap aku adalah
anak angkat.
Aku berharap ayah kandungku bukan dia.
Tapi orang lain. Orang yang menyayangiku.
Dan menjadi anak angkat memberiku
pembenaran kenapa dia selalu tidak mengacuhkanku dan tidak menyukaiku.
Ketika usiaku tujuh tahun, nenekku
meninggal karena serangan jantung.
Aku tidak menangis, aku masih terlalu
kecil untuk mengerti.
Aku hanya melihat ibu, tante dan pamanku
menangis di rumah sakit.
Ibuku dengan histeris menghantamkan
kepalanya ke pegangan besi ranjang dimana nenekku terbaring tak bernyawa.
Dia menangis dan menangis, memohon,
“Mama, bangun, Mama, bangun!”
Aku tidak mengerti.
Bobo pasti akan bangun, kan? Dia hanya
tidur siang.
Berhentilah
menangis Mama, kau membuatku takut.
Saat ini, salah satu kenangan yang
paling kuingat dengan bahagia adalah ketika aku pulang sekolah dan melihat
nenekku sudah menunggu di depan pagar rumah.
Dia mengangkatku dan mengacak rambut
ikalku.
“Hari ini kamu nakal atau pintar di
sekolah?” tanyanya.
“Pintar, Bobo.”
“Bagus. Bobo sudah masakkan kesukaanmu, Ayam Bali.”
Aku melompat kegirangan dan lari masuk,
aroma bumbu bali yang sedah memenuhi seluruh penjuru rumah.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang
lama sekali, aku merasa senang berada di rumah.
Aku bahagia di rumahku sendiri.
Ayahku tidak ada, nenekku ada di sini,
ibuku terlihat bahagia, dan semuanya baik-baik saja.
Kami duduk di ruang makan dan makan
siang, berbincang-bincang, bercanda.
Kami semua membuat bakpao.
Nenek menginap di rumah kami selama dua
malam sebelum ayahku kembali, entah dari mana.
Sebelum Nenek pergi, dia memelukku dan
berbisik di telingaku.
“Kau akan baik-baik saja, cucu
kesayanganku. Bobo sayang sekali sama kamu dan akan selalu menjagamu baik-baik.
Tapi kamu juga harus menjaga ibu, adik, dan kakakmu baik-baik, ya? Sebentar
lagi kamu akan ketemu Bobo.”
Aku menyuruhnya berjanji.
Aku berdiri di halaman depan rumah,
melihatnya berjalan keluar pagar dan naik ke becak yang membawanya pulang ke rumahnya sendiri.
Malam itu, kedua orang tuaku bertengkar
lagi.
Ibuku menangis.
Lagi.
Dan semuanya tidak baik-baik.
Lagi.
Hidup memang tidak selalu penuh oleh
serangkaian peristiwa tidak menyenangkan.
Ada saat-saat yang indah.
Namun sulit untuk mengingatnya ketika
terlalu banyak saat-saat yang menyedihkan.
-- BERSAMBUNG --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Happy blogwalking, my dear friends ^^