Haiiii, pagi ini aku mendapatkan wangsit untuk memasak ayam giling yang ada di freezer.
Langsung kepikiran, siomay ayam! Apalagi, aku punya kulit pangsit nganggur.
Siomay yang kubuat ini, bukan siomay abang-abang yang pake bumbu kacang itu yaa.
Ini siomay ala orang Cina, yang dimakan gitu aja. Boleh juga dibuatkan acar timun, atau saus sambal yang asam segar.
Siomayku ini, rasanya kalo digigit kres ... kres ... krenyes, nggak lembek, nggak seret, nggak juga kenyal-kenyol kayak cilok. Enak lah :)
Kalau baca-baca di google, ada yang ngasih tau rahasianya supaya krenyes-krenyes gitu dikasih agar-agar bubuk.
Wedew, eike ga berani spekulasi. Aku cuma pake putih telor.
Barangkali ada yang khilaf pengen nyoba masak siomay, boleh nyontek resepku. Tapi, ini seleratif ya. Kamu boleh kok menghapus atau menambahkan bumbu lain sesuai seleramu.
Bahan:
1/4 kg daging ayam giling yang baru keluar dari freezer (bagian paha). Akan lebih enak lagi jika dicampur sedikit udang.
2 sendok makan tepung maizena
1 butir telur, diambil PUTIHnya saja.
2 siung bawang putih, dicacah halus, goreng sebentar sampai wangi, masukkan ke ayam gilingnya.
1 sdm saus tiram
1 sdm kecap asin
Lada, garam (cicip ya, agar nggak keasinan karena udah ada saus tiram dan kecap asin)
Penyedap jika suka (JANGAN PAKAI ROYCO or MASAKO. Mereka adalah perusak rasa masakan haha).
1 helai daun bawang, iris tipis.
1/2 batang wortel, iris kecil2. Sebagian untuk dicampur ke adonan, sebagian untuk hiasan atas.
Kulit pangsit beli di supermarket
Cara memasak:
1. Campur semua adonan jadi satu, cicipi (jilat aja dikit, jangan ditelan euy nanti sakit karena makan makanan mentah)
2. Bungkus adonan dengan kulit pangsit, taburi wortel sebagai hiasan
3. Kukus selama 30 menit
4. Angkat dari dandang, siap disajikan.
Silakan mencoba ^^
Untuk satu resep ini, bisa jadi 16 siomay ukuran medium.
Oya, mengapa daging gilingnya lebih baik kondisi dingin? Karena oh karena, aku nggak tau hahaha. Tapi itu membantu menjadikan siomaynya krenyes-krenyes. Coba aja liat resep bakso, biasanya dicampur es batu kan?
Kamis, 20 September 2018
Minggu, 11 Februari 2018
Mudahkanlah, maka kamu akan dimudahkan ...
Mudahkanlah, maka kamu akan dimudahkan ...
Seberapa sering kamu mendengar nasihat ini?
Kupikir, apapun agamamu, pasti kamu pernah mendapatkan nasihat bijak ini.
Percayakah kamu akan hal itu?
Aku percaya ...
Dan aku pun percaya sebaliknya. Jika aku mempersulit urusan orang lain, maka hidupku pun akan sulit.
Pernah ngalamin? Pernah ...
Sering? Ngg ... malu ah haha.
Tapi dengan berbaliknya hal-hal itu padaku, membuatku semakin sadar dan paham, bahwa nasihat itu benar adanya.
Aku nggak mau cerita tentang pengalamanku yang sulit-sulit ah. Aku mau cerita tentang pengalamanku yang dimudahkan aja.
Dari pengalaman itu, aku jadi tahu, semua yang kamu lakukan, akan berbalik padamu dan tunai! Nggak pakai ngutang, hehe. Jadi, berhati-hatilah dalam bersikap.
Pada suatu hari nan sepi nan panas terik melanda, aku dan suamiku sedang leyeh-leyeh di rumah. Itu hari terakhir puasa. Suasana perumahan sudah sepi buanget. Semua mudik, kecuali tetangga depan rumah yang memang asli orang Sidoarjo dan non muslim.
Nah, pas aku leyeh-leyeh, aku mendengar si tetangga itu nyetater mobil. Rupanya, doi sekeluarga mau keluar. Mungkin halan-halan.
Tapi pas di depan rumah, kok mobilnya mogok. Aku lalu ngliat dari jendela kamar, si ibu mendorong mobil sementara bapaknya nyetir. Nampaknya akinya soak deh.
Aku buru-buru bangunin suamiku yang tidur-tidur ayam. Kukasih tau kalo tetanggaku mobilnya mogok, kasian mosok cewek ndorong sendirian. Anaknya masih kecil2 pula.
Suamiku pun bergegas keluar, bantu ndorong, dan alhamdulillah mobilnya nyala. Ternyata benar, memang akinya soak. Dan mereka memang mau keluar sekalian beli aki.
Besoknya, kami ke Semarang. Pas hari H lebaran, lalu lintas lancar jaya.
Saat di Semarang, kami ngobrol sampai malam di rumah orangtuaku. Pas udah kelar ngobrol, kami pamit mau bobok di hotel.
Nah, pas pulang itulah, karena kondisi perumahan yang diportal sana sini, aku dan suamiku keasyikan ngobrol. Suamiku mundurin mobil, dan jreng ... jreng ... mobil kami masuk ke parit besar yang lebarnya seukuran mobil kami.
Huhu, separoh mobil kami (bagian belakang) terperosok ke parit. Anak-anak ketakutan, pada keluar lewat pintu depan.
Ya Allah, panik banget. Itu udah malam. Aku balik ke rumah, minta tolong sama Papah. Aku tanya apa ada tetangga kanan kiri yang bisa dimintain tolong. Oalah, tetanggaku udah pada tidur, Papahku nggak enak kalo ngebangunin orang. Mana tetanggaku ya udah kewut-kewut semua seusia papahku huhu.
Aku dan suami + papahku hanya bisa diam melihat mobilku terkatung-katung di parit.
Trus ada satu mobil lewat, dan mereka cuma melirik tanpa peduli. Huhu.
Tapiiiii, tiba-tiba ada satu mobil kecil, lewat dan berhenti. Isinya satu cowok imut + istrinya + 2 balita.
Si cowok imut ini nanya, ada apa? Trus dia melihat kondisi mobil kita sambil melihat ke suamiku dan Edgard.
Trus dia bilang, "Bisa. Ayo kita angkat sama-sama,"
Akhirnya, tiga cowok itu mengangkat buntut mobil bersama-sama, satu ... dua ... tiga!! Mobil kami pun keluar dari parit. Horee ... alhamdulillah.
Setelah menolong kami, si cowok itu dadah dan pamit. Tak terkira rasa syukur dan terimakasihku padanya. Mulutku sampai berulangkali bilang, "Makasih ya Pak, makasih ya Pak, Tuhan yang bales kebaikan Bapak,"
Ya iyalah. Dia bisa aja nggak peduli dan nggak berhenti, seperti mobil pertama yang cuek bebek. Tapi, dia memilih berhenti dan menolong kami.
Setelah kami melanjutkan perjalanan, suami noleh ke saya dan bilang, "Inget ndak kemarin aku ndorong mobil tetangga depan? Sekarang, kita ditolong orang. Tanpa kesulitan,"
Huhu, iya ya. Kalau kebaikan langsung dibayar tunai, maka demikian juga dengan keburukan.
Aku jadi lebih berhati-hati dalam bersikap. Karena apa yang aku lakukan, kebaikan maupun keburukan, sebenarnya aku sedang melakukannya untuk diriku sendiri.
Sekian dan semoga ada hikmah yang bisa diambil.
Seberapa sering kamu mendengar nasihat ini?
Kupikir, apapun agamamu, pasti kamu pernah mendapatkan nasihat bijak ini.
Percayakah kamu akan hal itu?
Aku percaya ...
Dan aku pun percaya sebaliknya. Jika aku mempersulit urusan orang lain, maka hidupku pun akan sulit.
Pernah ngalamin? Pernah ...
Sering? Ngg ... malu ah haha.
Tapi dengan berbaliknya hal-hal itu padaku, membuatku semakin sadar dan paham, bahwa nasihat itu benar adanya.
Aku nggak mau cerita tentang pengalamanku yang sulit-sulit ah. Aku mau cerita tentang pengalamanku yang dimudahkan aja.
Dari pengalaman itu, aku jadi tahu, semua yang kamu lakukan, akan berbalik padamu dan tunai! Nggak pakai ngutang, hehe. Jadi, berhati-hatilah dalam bersikap.
Pada suatu hari nan sepi nan panas terik melanda, aku dan suamiku sedang leyeh-leyeh di rumah. Itu hari terakhir puasa. Suasana perumahan sudah sepi buanget. Semua mudik, kecuali tetangga depan rumah yang memang asli orang Sidoarjo dan non muslim.
Nah, pas aku leyeh-leyeh, aku mendengar si tetangga itu nyetater mobil. Rupanya, doi sekeluarga mau keluar. Mungkin halan-halan.
Tapi pas di depan rumah, kok mobilnya mogok. Aku lalu ngliat dari jendela kamar, si ibu mendorong mobil sementara bapaknya nyetir. Nampaknya akinya soak deh.
Aku buru-buru bangunin suamiku yang tidur-tidur ayam. Kukasih tau kalo tetanggaku mobilnya mogok, kasian mosok cewek ndorong sendirian. Anaknya masih kecil2 pula.
Suamiku pun bergegas keluar, bantu ndorong, dan alhamdulillah mobilnya nyala. Ternyata benar, memang akinya soak. Dan mereka memang mau keluar sekalian beli aki.
Besoknya, kami ke Semarang. Pas hari H lebaran, lalu lintas lancar jaya.
Saat di Semarang, kami ngobrol sampai malam di rumah orangtuaku. Pas udah kelar ngobrol, kami pamit mau bobok di hotel.
Nah, pas pulang itulah, karena kondisi perumahan yang diportal sana sini, aku dan suamiku keasyikan ngobrol. Suamiku mundurin mobil, dan jreng ... jreng ... mobil kami masuk ke parit besar yang lebarnya seukuran mobil kami.
Huhu, separoh mobil kami (bagian belakang) terperosok ke parit. Anak-anak ketakutan, pada keluar lewat pintu depan.
Ya Allah, panik banget. Itu udah malam. Aku balik ke rumah, minta tolong sama Papah. Aku tanya apa ada tetangga kanan kiri yang bisa dimintain tolong. Oalah, tetanggaku udah pada tidur, Papahku nggak enak kalo ngebangunin orang. Mana tetanggaku ya udah kewut-kewut semua seusia papahku huhu.
Aku dan suami + papahku hanya bisa diam melihat mobilku terkatung-katung di parit.
Trus ada satu mobil lewat, dan mereka cuma melirik tanpa peduli. Huhu.
Tapiiiii, tiba-tiba ada satu mobil kecil, lewat dan berhenti. Isinya satu cowok imut + istrinya + 2 balita.
Si cowok imut ini nanya, ada apa? Trus dia melihat kondisi mobil kita sambil melihat ke suamiku dan Edgard.
Trus dia bilang, "Bisa. Ayo kita angkat sama-sama,"
Akhirnya, tiga cowok itu mengangkat buntut mobil bersama-sama, satu ... dua ... tiga!! Mobil kami pun keluar dari parit. Horee ... alhamdulillah.
Setelah menolong kami, si cowok itu dadah dan pamit. Tak terkira rasa syukur dan terimakasihku padanya. Mulutku sampai berulangkali bilang, "Makasih ya Pak, makasih ya Pak, Tuhan yang bales kebaikan Bapak,"
Ya iyalah. Dia bisa aja nggak peduli dan nggak berhenti, seperti mobil pertama yang cuek bebek. Tapi, dia memilih berhenti dan menolong kami.
Setelah kami melanjutkan perjalanan, suami noleh ke saya dan bilang, "Inget ndak kemarin aku ndorong mobil tetangga depan? Sekarang, kita ditolong orang. Tanpa kesulitan,"
Huhu, iya ya. Kalau kebaikan langsung dibayar tunai, maka demikian juga dengan keburukan.
Aku jadi lebih berhati-hati dalam bersikap. Karena apa yang aku lakukan, kebaikan maupun keburukan, sebenarnya aku sedang melakukannya untuk diriku sendiri.
Sekian dan semoga ada hikmah yang bisa diambil.
Rabu, 17 Januari 2018
Hello, I am Madeline (part 5)
LOVE
AND HEARTBREAK
I grew up being the mediocre.
I am not ugly, but I’m not pretty
either.
I’m not stupid, but I’m not smart
either.
I’m witty, but I’m not interesting
either.
I am the average girl, the one people
look pass because I am a mediocre.
Or at least that’s what I grew up
listening to.
“Look at her big sister, she is so
pretty. I wonder why Madeline isn’t that pretty.”
“Her brother is so smart he’s got
scholarship every year. I wonder why Madeline can’t be that clever.”
“Her little sister is so cute, unlike
her big sister. I wonder where Madeline got her gene from.”
I can tell you that I give no care to
these, but I’d lie. Because I do care. And it affected how I look at myself.
Whenever someone compliments me, I’d
snicker secretly.
I don’t believe those. In my head, when
someone says good thing about me, either they lie. Or they want something from
me.
And I crave those compliments so much
that I’m willing to do anything they want.
My first boyfriend was an American man.
His name is Terry, and he seemed to love
me so much he wanted to swipe me off my feet and fly me to America and be his
wife.
I refused to marry him, because I was
only 19 and because I couldn’t stand leaving my mother. And because he refused
to have children.
But the truth was, it was because I
didn’t love him.
We met when he was in business trip and
he fell in love with me, called me gorgeous, beautiful, sexy, and all good
stuff.
All my life, I wanted to be beautiful,
gorgeous, sexy, smart, and everything I was never, everything he called me, so
I fell for him.
I craved his attention. Craved his
adoration.
But failed in loving him.
We dated for almost two year, a
difficult long distance relationship. I met him only less than ten times during
2 years, so you can imagine how little I knew him, and vice versa.
But the good thing about long distance
relationship is you could be someone else and nobody would see.
All I had to do was representing myself
into someone he would like to see.
I was his always beautiful girlfriend,
smart because I spoke English fluently and knew a lot of stuff, sexy in my
little and skinny body, funny, and confident.
Little did he know that I wasn’t all
those at all.
I wasn’t confident, I put on a lot of
make up, I planned my actions and my words carefully.
I was never myself.
Whenever he said I love you, I said I
love you back. But the words never rang true in my own ears.
In a way, he knew. I guess he always
knew. But he wanted to hear them so he ignored the truth right under his nose.
Until the day he sent me the Green Card
forms to fill in and asked me to apply for a Visa to the US Embassy.
I asked him what for, and he said he
would like to fly me up there and marry him.
I panicked. I didn’t want to marry him.
I didn’t even project myself to spend my old days with him. He was just the
“boyfriend”. The one who loved me and adored me. And the one I never loved and
adored back.
So I began to scramble for excuses. I
used his decision to sterile himself as the perfect reason of declining his
proposition.
He knew I lied. Of course he did.
Then I realized, sooner or later I
needed to tell him the truth. So I did.
Gone was the look of love in his eyes.
The attention and the compliments.
He no longer found me beautiful. He
called me selfish, evil, mean, thoughtless.
He even said I’d learn my lesson and I’d
never be happy. That I’d know how it felt to love but never being loved in
return.
I believed him. Because I did him wrong.
I believed him so much, I vowed to
myself, I would never love anyone and be with anyone I loved more than they
loved me. Because I was so afraid of being hurt, and never be happy.
My mother told me the same thing.
“Choose
the man who loves you more than you love him, and he will never be able to hurt
you. Never marry someone whom you love because you will only give him power to
cause you pain.”
She was speaking from her own
experience. She loved my father, but he didn’t love her back, at least not
enough. And she was suffering from it.
She learnt her own lesson, and I learnt
from her.
This bad ended love story has played a
significant influence in how I looked at myself
A cynic to love. Pessimist. Unconfident.
Terry left me with scars.
His words rang in my ears for years.
You
will never be happy.
You
don’t know how to love, and you will never do.
One
day you will regret this.
His words I feared so much that I
refused to fall in love.
I feared of not being able of being
happy.
I chose not to love for I feared of
being hurt.
And I concealed myself from love.
Flirted with everyone but closed my
heart.
Smiley but cold.
Cheerful but rigid.
Did I try to break the curse?
Yes, I mean, who wouldn’t want to be
happy?
I fell in love, but I chose not to act
on it.
I kept it inside me, hidden from
everyone, especially the man himself.
Love, for me, was the epitome of pain.
I fell in love with a man who belonged
to someone else.
Love, for me, was the source for all the
heartbreak.
I believed what my mother told me.
“Never
choose the man you love more than he loves you, for he will hurt you.”
Go
for the man who loves you more.
And I went for it.
Loveless. Like ocean without fish. Like
honey without bee.
But I was safe. At least I thought I was
safe without love.
But that thought never stopped chasing
me.
Will I ever be happy?
Am I happy?
Even without love?
Will Terry’s words become true?
Little did I know, Terry wouldn’t be the
only one cursing me of not being able to be happy.
CINTA
DAN PATAH HATI
Aku tumbuh besar sebagai gadis yang
biasa-biasa aja.
Tidak jelek, tapi juga tidak cantik.
Tidak bodoh, tapi juga tidak
pintar-pintar amat.
Sedikit lucu, tapi tidak terlalu
menarik.
Aku biasa-biasa saja, seseorang yang
tidak menarik perhatian orang-orang.
Paling tidak itulah yang terus-menerus
dikumandangkan di telingaku.
“Lihat kakak perempuannya, cantik
sekali, ya? Tidak seperti adiknya, Madeline.”
“Kakak laki-lakinya sangat pintar sampai
mendapat beasiswa setiap tahun. Heran kok Madelina tidak bisa sepintar itu.”
“Adiknya imut sekali, tidak seperti
kakaknya. Madeline itu nurun siapa sih?”
Aku bisa saja mengatakan padamu, aku
tidak peduli. Tapi itu tidak benar.
Karena aku sangat peduli. Dan itu
mempengaruhi bagaimana aku memandang diriku sendiri.
Jika ada yang memujiku, aku menertawakan
mereka dalam hati.
Aku tidak mempercayai semua pujian itu.
Dalam kepalaku, ketika seseorang memujiku, maka entah mereka bohong, atau
mereka menginginkan sesuatu dariku.
Namun aku sangat menginginkan pujian itu
hingga aku bersedia melakukan apapun yang mereka mau.
Aku pernah menjalin hubungan dengan
seorang laki-laki Amerika.
Namanya Terry, dan dia sepertinya
sungguh mencintaiku hingga dia berniat membawaku terbang ke Amerika dan
menjadikanku istrinya.
Aku menolak untuk menikahinya, karena
usiaku waktu itu masih 19 tahun dan aku tidak bisa meninggalkan ibuku. Dan
karena dia tidak bersedia memiliki anak.
Paling tidak itulah yang aku katakan
pada semua orang.
Namun sesungguhnya karena aku tidak
mencintainya.
Kami bertemu saat dia sedang berkunjung
untuk urusan kerja, dan dia jatuh cinta padaku. Dia memanggilku cantik, pintar,
seksi, dan segala macam yang indah-indah.
Sepanjang hidupku, aku ingin menjadi
gadis yang cantik, pintar, seksi, dan semua yang bukan diriku, gadis yang dia
panggil cantik, pintar, seksi, sehingga akupun terlena.
Aku mendambakan perhatiannya.
Mendambakan semua pujiannya. Tapi tidak berhasil mencintainya.
Kami berpacaran hampir dua tahun,
hubungan jarak jauh yang sulit dilampaui. Aku hanya bertemu dengannya kurang
dari sepuluh kali selama 2 tahun itu, jadi kalian bisa membayangkan betapa sedikit
aku mengenal dirinya, dan dia mengenal diriku.
Tapi keuntungan dari sebuah hubungan
jarak jauh adalah kau bisa menjadi orang lain dan tidak akan ada yang tahu.
Yang harus kulakukan hanyalah
menampilkan diriku sebagai sosok wanita yang ingin dilihatnya.
Aku adalah kekasihnya yang selalu tampil
cantik, pintar karena aku pandai berbahasa Inggris dan tahu banyak hal, seksi
dengan tubuhku yang kecil dan kurus, lucu, dan percaya diri.
Dia tidak tahu bahwa aku bukanlah semua
itu.
Aku tidak percaya diri, aku selalu
memakai riasan wajah yang banyak, merencanakan semua tindakan dan kata-kata
dengan hati-hari.
Tidak pernah menjadi diriku sendiri.
Setiap kali dia mengatakan bahwa dia
mencintaiku, aku membalasnya. Tapi kata-kata itu tidak pernah terdengar jujur
di telingaku sendiri.
Entah bagaimana, dia tahu. Aku rasa dia
selalu tahu. Tapi dia juga ingin mendengarnya maka dia mengacuhkan kebenaran
yang tepampang di depan mata.
Hingga hari ketika dia mengirim formulir
Green Card untuk kuisi, dan memintaku untuk melamar Visa di Kedubes Amerika.
Aku bertanya untuk apa, dan dia menjawab
bahwa dia ingin membawaku ke sana dan menikahinya.
Akupun panik. Aku tidak ingin
menikahinya. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan menghabiskan masa tuaku
dengannya. Dia hanyalah “pacar” bagiku. Pacar yang mencintai dan memujaku. Dan
pacar yang tidak kucintai atau kupuja.
Maka akupun mulai mencari-cari alasan.
Aku menggunakan keputusannya untuk tidak memiliki anak sebagai alasan yang
tepat untuk menolak lamarannya.
Dia tahu aku berbohong. Tentu saja dia
tahu.
Dan aku sadar, cepat atau lambat aku
harus berkata jujur. Maka akupun mengatakan yang sebenarnya.
Hilang sudah tatapan memuja dari
matanya. .
Tidak ada lagi perhatian dan pujian.
Dia tidak lagi merasa aku cantik. Dia memanggilku
egois, jahat, kejam, tidak berperasaan.
Dia bahkan mengatakan bahwa suatu hari
aku akan mendapat pelajaran dan aku tidak akan pernah bisa bahagia. Bahwa suatu
hari aku akan tahu bagaimana rasanya mencintai tanpa terbalas.
Aku mempercayainya. Karena aku memang
salah.
Aku percaya pada semua kata-katanya
hingga aku bersumpah pada diriku, aku tidak akan pernah mencintai siapapun. Aku
tidak akan pernah bersama seseorang yang kucintai lebih dari dia mencintaiku.
Karena aku sangat takut untuk disakiti, dan takut tidak akan pernah bisa
bahagia.
Ibuku mengatakan hal yang sama.
“Pilihlah
laki-laki yang mencintaimu lebih dari kau mencintainya, dan dia tidak akan
pernah bisa melukaimu. Jangan pernah menikahi orang yang kau cintai karena kau
hanya akan memberinya kekuasaan untuk membuatmu sakit.”
Ibuku berbicara dari pengalamannya
sendiri. Dia mencintai ayahku, tapi ayahku tidak membalas cinta itu, paling
tidak, tidak cukup besar untuk mau berada di sampingnya.
Dan ibuku menderita karena itu.
Dia belajar dari pengelamannya, dan aku
belajar dari pengalamannya juga.
Kisah cinta yang berakhir buruk ini
berpengaruh besar karena aku memandang diriku berbeda.
Aku sinis terhadap cinta. Pesimis. Tidak
percaya diri.
Terry meninggalkanku dalam keadaan
terluka.
Kata-katanya terus terngiang di
telingaku selama bertahun-tahun.
Kau
tidak akan pernah bisa bahagia.
Kau
tidak tahu bagaimana mencintai seseorang, dan kau tidak akan pernah bisa.
Suatu
hari kau akan menyesal.
Kata-katanya sungguh membuatku takut
hingga aku menolak untuk jatuh cinta.
Aku takut tidak bisa bahagia.
Aku memilih untuk tidak mencintai karen
aku takut disakiti.
Aku menjauh dari cinta.
Menggoda semua orang tapi menutup
hatiku.
Penuh senyum tapi dingin.
Ceria tapi kaku.
Pernahkah aku mencoba untuk
menghancurkan kutukan Terry?
Ya, siapa sih yang tidak ingin bahagia?
Akupun jatuh cinta, tapi aku memilih
untuk tidak melakukan apapun.
Aku menyimpannya dalam-dalam,
tersembunyi dari siapapun, terutama dari dia sendiri.
Cinta, bagiku, adalah lambang dari sakit
hati.
Aku jatuh cinta pada laki-laki milik
orang lain.
Cinta, bagiku, adalah sumber dari patah
hatiku.
Aku percaya pada apa yang dikatakan
ibuku.
“Jangan
pernah memilih laki-laki yang kau cintai lebih dari yang mencintaimu, karena
dia hanya akan menyakitimu.”
Pilihlah
laki-laki yang mencintaimu lebih.
Dan itulah yang kulakukan.
Kosong tanpa cinta.
Seperti lautan tanpa ikan.
Seperti lebah tanpa madu.
Tapi aku merasa aman. Paling tidak aku
aman tanpa cinta.
Tapi pikiran itu tidak pernah berhenti mengejarku.
Apakah aku akan pernah merasa bahagia?
Apakah aku bahagia?
Bahkan tanpa cinta?
Apakah kata-kata Terry menjadi
kenyataan?
Tanpa kuketahui, Terry bukanlah
satu-satunya yang mengatakan bahwa aku tidak akan pernah merasa bahagia
IKLAN YAAAAA
Dapatkan di seluruh toko buku Gramedia dan juga di toko buku online ^^
Langganan:
Postingan (Atom)