LOVE
AND HEARTBREAK
I grew up being the mediocre.
I am not ugly, but I’m not pretty
either.
I’m not stupid, but I’m not smart
either.
I’m witty, but I’m not interesting
either.
I am the average girl, the one people
look pass because I am a mediocre.
Or at least that’s what I grew up
listening to.
“Look at her big sister, she is so
pretty. I wonder why Madeline isn’t that pretty.”
“Her brother is so smart he’s got
scholarship every year. I wonder why Madeline can’t be that clever.”
“Her little sister is so cute, unlike
her big sister. I wonder where Madeline got her gene from.”
I can tell you that I give no care to
these, but I’d lie. Because I do care. And it affected how I look at myself.
Whenever someone compliments me, I’d
snicker secretly.
I don’t believe those. In my head, when
someone says good thing about me, either they lie. Or they want something from
me.
And I crave those compliments so much
that I’m willing to do anything they want.
My first boyfriend was an American man.
His name is Terry, and he seemed to love
me so much he wanted to swipe me off my feet and fly me to America and be his
wife.
I refused to marry him, because I was
only 19 and because I couldn’t stand leaving my mother. And because he refused
to have children.
But the truth was, it was because I
didn’t love him.
We met when he was in business trip and
he fell in love with me, called me gorgeous, beautiful, sexy, and all good
stuff.
All my life, I wanted to be beautiful,
gorgeous, sexy, smart, and everything I was never, everything he called me, so
I fell for him.
I craved his attention. Craved his
adoration.
But failed in loving him.
We dated for almost two year, a
difficult long distance relationship. I met him only less than ten times during
2 years, so you can imagine how little I knew him, and vice versa.
But the good thing about long distance
relationship is you could be someone else and nobody would see.
All I had to do was representing myself
into someone he would like to see.
I was his always beautiful girlfriend,
smart because I spoke English fluently and knew a lot of stuff, sexy in my
little and skinny body, funny, and confident.
Little did he know that I wasn’t all
those at all.
I wasn’t confident, I put on a lot of
make up, I planned my actions and my words carefully.
I was never myself.
Whenever he said I love you, I said I
love you back. But the words never rang true in my own ears.
In a way, he knew. I guess he always
knew. But he wanted to hear them so he ignored the truth right under his nose.
Until the day he sent me the Green Card
forms to fill in and asked me to apply for a Visa to the US Embassy.
I asked him what for, and he said he
would like to fly me up there and marry him.
I panicked. I didn’t want to marry him.
I didn’t even project myself to spend my old days with him. He was just the
“boyfriend”. The one who loved me and adored me. And the one I never loved and
adored back.
So I began to scramble for excuses. I
used his decision to sterile himself as the perfect reason of declining his
proposition.
He knew I lied. Of course he did.
Then I realized, sooner or later I
needed to tell him the truth. So I did.
Gone was the look of love in his eyes.
The attention and the compliments.
He no longer found me beautiful. He
called me selfish, evil, mean, thoughtless.
He even said I’d learn my lesson and I’d
never be happy. That I’d know how it felt to love but never being loved in
return.
I believed him. Because I did him wrong.
I believed him so much, I vowed to
myself, I would never love anyone and be with anyone I loved more than they
loved me. Because I was so afraid of being hurt, and never be happy.
My mother told me the same thing.
“Choose
the man who loves you more than you love him, and he will never be able to hurt
you. Never marry someone whom you love because you will only give him power to
cause you pain.”
She was speaking from her own
experience. She loved my father, but he didn’t love her back, at least not
enough. And she was suffering from it.
She learnt her own lesson, and I learnt
from her.
This bad ended love story has played a
significant influence in how I looked at myself
A cynic to love. Pessimist. Unconfident.
Terry left me with scars.
His words rang in my ears for years.
You
will never be happy.
You
don’t know how to love, and you will never do.
One
day you will regret this.
His words I feared so much that I
refused to fall in love.
I feared of not being able of being
happy.
I chose not to love for I feared of
being hurt.
And I concealed myself from love.
Flirted with everyone but closed my
heart.
Smiley but cold.
Cheerful but rigid.
Did I try to break the curse?
Yes, I mean, who wouldn’t want to be
happy?
I fell in love, but I chose not to act
on it.
I kept it inside me, hidden from
everyone, especially the man himself.
Love, for me, was the epitome of pain.
I fell in love with a man who belonged
to someone else.
Love, for me, was the source for all the
heartbreak.
I believed what my mother told me.
“Never
choose the man you love more than he loves you, for he will hurt you.”
Go
for the man who loves you more.
And I went for it.
Loveless. Like ocean without fish. Like
honey without bee.
But I was safe. At least I thought I was
safe without love.
But that thought never stopped chasing
me.
Will I ever be happy?
Am I happy?
Even without love?
Will Terry’s words become true?
Little did I know, Terry wouldn’t be the
only one cursing me of not being able to be happy.
CINTA
DAN PATAH HATI
Aku tumbuh besar sebagai gadis yang
biasa-biasa aja.
Tidak jelek, tapi juga tidak cantik.
Tidak bodoh, tapi juga tidak
pintar-pintar amat.
Sedikit lucu, tapi tidak terlalu
menarik.
Aku biasa-biasa saja, seseorang yang
tidak menarik perhatian orang-orang.
Paling tidak itulah yang terus-menerus
dikumandangkan di telingaku.
“Lihat kakak perempuannya, cantik
sekali, ya? Tidak seperti adiknya, Madeline.”
“Kakak laki-lakinya sangat pintar sampai
mendapat beasiswa setiap tahun. Heran kok Madelina tidak bisa sepintar itu.”
“Adiknya imut sekali, tidak seperti
kakaknya. Madeline itu nurun siapa sih?”
Aku bisa saja mengatakan padamu, aku
tidak peduli. Tapi itu tidak benar.
Karena aku sangat peduli. Dan itu
mempengaruhi bagaimana aku memandang diriku sendiri.
Jika ada yang memujiku, aku menertawakan
mereka dalam hati.
Aku tidak mempercayai semua pujian itu.
Dalam kepalaku, ketika seseorang memujiku, maka entah mereka bohong, atau
mereka menginginkan sesuatu dariku.
Namun aku sangat menginginkan pujian itu
hingga aku bersedia melakukan apapun yang mereka mau.
Aku pernah menjalin hubungan dengan
seorang laki-laki Amerika.
Namanya Terry, dan dia sepertinya
sungguh mencintaiku hingga dia berniat membawaku terbang ke Amerika dan
menjadikanku istrinya.
Aku menolak untuk menikahinya, karena
usiaku waktu itu masih 19 tahun dan aku tidak bisa meninggalkan ibuku. Dan
karena dia tidak bersedia memiliki anak.
Paling tidak itulah yang aku katakan
pada semua orang.
Namun sesungguhnya karena aku tidak
mencintainya.
Kami bertemu saat dia sedang berkunjung
untuk urusan kerja, dan dia jatuh cinta padaku. Dia memanggilku cantik, pintar,
seksi, dan segala macam yang indah-indah.
Sepanjang hidupku, aku ingin menjadi
gadis yang cantik, pintar, seksi, dan semua yang bukan diriku, gadis yang dia
panggil cantik, pintar, seksi, sehingga akupun terlena.
Aku mendambakan perhatiannya.
Mendambakan semua pujiannya. Tapi tidak berhasil mencintainya.
Kami berpacaran hampir dua tahun,
hubungan jarak jauh yang sulit dilampaui. Aku hanya bertemu dengannya kurang
dari sepuluh kali selama 2 tahun itu, jadi kalian bisa membayangkan betapa sedikit
aku mengenal dirinya, dan dia mengenal diriku.
Tapi keuntungan dari sebuah hubungan
jarak jauh adalah kau bisa menjadi orang lain dan tidak akan ada yang tahu.
Yang harus kulakukan hanyalah
menampilkan diriku sebagai sosok wanita yang ingin dilihatnya.
Aku adalah kekasihnya yang selalu tampil
cantik, pintar karena aku pandai berbahasa Inggris dan tahu banyak hal, seksi
dengan tubuhku yang kecil dan kurus, lucu, dan percaya diri.
Dia tidak tahu bahwa aku bukanlah semua
itu.
Aku tidak percaya diri, aku selalu
memakai riasan wajah yang banyak, merencanakan semua tindakan dan kata-kata
dengan hati-hari.
Tidak pernah menjadi diriku sendiri.
Setiap kali dia mengatakan bahwa dia
mencintaiku, aku membalasnya. Tapi kata-kata itu tidak pernah terdengar jujur
di telingaku sendiri.
Entah bagaimana, dia tahu. Aku rasa dia
selalu tahu. Tapi dia juga ingin mendengarnya maka dia mengacuhkan kebenaran
yang tepampang di depan mata.
Hingga hari ketika dia mengirim formulir
Green Card untuk kuisi, dan memintaku untuk melamar Visa di Kedubes Amerika.
Aku bertanya untuk apa, dan dia menjawab
bahwa dia ingin membawaku ke sana dan menikahinya.
Akupun panik. Aku tidak ingin
menikahinya. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan menghabiskan masa tuaku
dengannya. Dia hanyalah “pacar” bagiku. Pacar yang mencintai dan memujaku. Dan
pacar yang tidak kucintai atau kupuja.
Maka akupun mulai mencari-cari alasan.
Aku menggunakan keputusannya untuk tidak memiliki anak sebagai alasan yang
tepat untuk menolak lamarannya.
Dia tahu aku berbohong. Tentu saja dia
tahu.
Dan aku sadar, cepat atau lambat aku
harus berkata jujur. Maka akupun mengatakan yang sebenarnya.
Hilang sudah tatapan memuja dari
matanya. .
Tidak ada lagi perhatian dan pujian.
Dia tidak lagi merasa aku cantik. Dia memanggilku
egois, jahat, kejam, tidak berperasaan.
Dia bahkan mengatakan bahwa suatu hari
aku akan mendapat pelajaran dan aku tidak akan pernah bisa bahagia. Bahwa suatu
hari aku akan tahu bagaimana rasanya mencintai tanpa terbalas.
Aku mempercayainya. Karena aku memang
salah.
Aku percaya pada semua kata-katanya
hingga aku bersumpah pada diriku, aku tidak akan pernah mencintai siapapun. Aku
tidak akan pernah bersama seseorang yang kucintai lebih dari dia mencintaiku.
Karena aku sangat takut untuk disakiti, dan takut tidak akan pernah bisa
bahagia.
Ibuku mengatakan hal yang sama.
“Pilihlah
laki-laki yang mencintaimu lebih dari kau mencintainya, dan dia tidak akan
pernah bisa melukaimu. Jangan pernah menikahi orang yang kau cintai karena kau
hanya akan memberinya kekuasaan untuk membuatmu sakit.”
Ibuku berbicara dari pengalamannya
sendiri. Dia mencintai ayahku, tapi ayahku tidak membalas cinta itu, paling
tidak, tidak cukup besar untuk mau berada di sampingnya.
Dan ibuku menderita karena itu.
Dia belajar dari pengelamannya, dan aku
belajar dari pengalamannya juga.
Kisah cinta yang berakhir buruk ini
berpengaruh besar karena aku memandang diriku berbeda.
Aku sinis terhadap cinta. Pesimis. Tidak
percaya diri.
Terry meninggalkanku dalam keadaan
terluka.
Kata-katanya terus terngiang di
telingaku selama bertahun-tahun.
Kau
tidak akan pernah bisa bahagia.
Kau
tidak tahu bagaimana mencintai seseorang, dan kau tidak akan pernah bisa.
Suatu
hari kau akan menyesal.
Kata-katanya sungguh membuatku takut
hingga aku menolak untuk jatuh cinta.
Aku takut tidak bisa bahagia.
Aku memilih untuk tidak mencintai karen
aku takut disakiti.
Aku menjauh dari cinta.
Menggoda semua orang tapi menutup
hatiku.
Penuh senyum tapi dingin.
Ceria tapi kaku.
Pernahkah aku mencoba untuk
menghancurkan kutukan Terry?
Ya, siapa sih yang tidak ingin bahagia?
Akupun jatuh cinta, tapi aku memilih
untuk tidak melakukan apapun.
Aku menyimpannya dalam-dalam,
tersembunyi dari siapapun, terutama dari dia sendiri.
Cinta, bagiku, adalah lambang dari sakit
hati.
Aku jatuh cinta pada laki-laki milik
orang lain.
Cinta, bagiku, adalah sumber dari patah
hatiku.
Aku percaya pada apa yang dikatakan
ibuku.
“Jangan
pernah memilih laki-laki yang kau cintai lebih dari yang mencintaimu, karena
dia hanya akan menyakitimu.”
Pilihlah
laki-laki yang mencintaimu lebih.
Dan itulah yang kulakukan.
Kosong tanpa cinta.
Seperti lautan tanpa ikan.
Seperti lebah tanpa madu.
Tapi aku merasa aman. Paling tidak aku
aman tanpa cinta.
Tapi pikiran itu tidak pernah berhenti mengejarku.
Apakah aku akan pernah merasa bahagia?
Apakah aku bahagia?
Bahkan tanpa cinta?
Apakah kata-kata Terry menjadi
kenyataan?
Tanpa kuketahui, Terry bukanlah
satu-satunya yang mengatakan bahwa aku tidak akan pernah merasa bahagia
IKLAN YAAAAA
Dapatkan di seluruh toko buku Gramedia dan juga di toko buku online ^^
Haiyah. Lupa aku ada Bahasa Indonesianya.. tiwas wis maca beneran sing Enggris kui
BalasHapusgapapa tho tambah canggih basa inggris e haha
BalasHapusPart 6 blm ada ya?
BalasHapus