Royalti
Versus Jual Putus
Foto milik Octa NH
Banyak
(calon) penulis yang galau dalam menentukan sistem pembayaran naskahnya. “Mbak,
enakan royalti atau jual putus sih?” Hmm, tidak ada ketentuan baku mengenai hal
ini. Aku juga tidak bisa menjawabnya secara 100% benar. Jadi, aku akan
menceritakan pengalamanku saja ya.
Begini,
royalti itu biasanya lima sampai sepuluh persen dari harga jual buku. Royalti dibayarkan
setiap enam bulan sekali, di bulan-bulan yang telah disepakati antara penerbit
dan penulis. Jika jual putus, kita langsung dibayar sekian rupiah untuk naskah
kita. Besarannya tergantung kesepakatan kita dengan pihak penerbit.
Apa
kelebihan dari royalti?
Menurutku,
ini seperti passive income. Kita
duduk manis, uang mengalir sendiri ke rekening kita setiap enam bulan. Kita
tidak perlu bergabung dengan aneka MLM untuk bisa dapat passive income.
Asyik ya? Asyik dong,
tapi …
“Mbak, penerbitku
tutup. Royalti buku-bukuku jadi nggak jelas.”
“Masak sih, royaltiku
cuma sekian puluh ribu rupiah? Padahal, aku ikutan beli bukuku sendiri seratus
eksemplar loh.”
“Mbak, di laporan
penjualan tertulis penjualan bukuku hanya 0.”
“Nagih royalti kayak
ngemis, padahal itu hak kita bukan? Penerbit kalau nggak ditagih nggak bakal
bayar!”
Pernah dengar keluhan-keluhan semacam
itu? Sering! Kalau mendengar keluhan seperti itu, rasanya lebih enak kalau jual
putus. Terima uang, beres. Mau bukunya tidak laku, penerbitnya tutup, bodo amat!
Tapi
…
“Mbak, ternyata bukuku
itu dicetak ulang sampai belasan kali. Duh, coba dulu aku nggak jual putus ya.
Mana cuma lima ratus ribu pula!”
“Mbak, bukuku dibeli rights-nya oleh penerbit luar. Tapi aku
nggak dapat apa-apa, kan jual putus,”
“Mbak, tokoh di bukuku
mau dibuat merchandise. Boneka,
gantungan kunci, dan lain-lain. Tapi aku nggak dapat apa-apa lagi. Huhu… . Dulu
aku jual putus sih,”
Galau kan?
Mana yang lebih baik?
Royalti atau jual putus? Kalau menurutku sih (elus-elus jenggot), sebaiknya
begini.
1. Kalau
keadaan keuangan lagi mepet, butuh duit segera, jual putus saja. Dapat duit,
asyik kan?
2. Kalau
keadaan keuangan lagi baik, pilih royalti. Anggap saja itu tabungan masa depan.
Begitu
doang? Kalau terjadi masalah seperti yang sudah disebutkan di atas, bagaimana?
Deritamu deh J
Nggak
ding, sekarang aku ngomong serius. Kalau
mau sistem royalti, pastikan bahwa penerbitmu itu adalah penerbit yang sudah establish bertahun-tahun. Tanya ke
teman-teman sesama penulis, pernahkah mereka bekerja sama dengan penerbit
tersebut? Jika ya, bagaimana pembayaran royaltinya? Lancar? Jumlahnya masuk akal?
Jika jawaban teman-temanmu positif, silakan lanjut.
Andai
kamu tidak punya teman untuk ditanya-tanya, kurasa pakai logika sederhana saja.
Penerbit yang sudah establish
bertahun-tahun, tentunya punya sistem yang mempermudah mereka dalam segala hal,
termasuk pembayaran royalti. Jadi, penulis tidak perlu menagih karena mereka
sudah mempunyai sistem kapan harus mengirimkan royalti, kapan harus mentransfer
uangnya, kapan harus membayar pajak, dan mengirimkan buktinya ke penulis.
Penerbit
yang sudah establish bertahun-tahun,
tidak harus penerbit besar. Banyak loh, penerbit kecil yang sudah “tua” dan
eksis masih lancar dalam pembayaran royaltinya. Sepanjang pengalamanku, jumlah
royalti pasti lebih banyak daripada harga jual putus yang ditawarkan dan kita bisa
menikmatinya terus selama buku itu masih dijual. Sip kan?
Sekarang,
kapan kita harus jual putus?
Seperti
yang sudah kubilang, saat keuangan kita lagi menipis. Hihi… . Kalau butuh uang cepat,
jual putus lebih enak karena tidak harus menunggu sampai enam bulan. Tapi ya
itu, resikonya adalah jika ternyata bukumu dicetak ulang, bahkan best seller, kamu hanya bisa melongo
sambil gigit jari.
Pengalamanku, aku
menjual putus naskah-naskahku karena alasan sebagai berikut:
1. Lagi
butuh uang
2. Penerbitnya
masih baru setahun-dua tahun berdiri. Aku kan
tidak tahu, apakah mereka bisa bertahan di tengah persaingan antar penerbit?
3. Penerbitnya
sering mangkir bayar, sering ngemplang.
Dari mana aku tahu? Ya, dari hasil bertanya ke teman-teman. Kalau sudah ada
cerita seperti ini, lebih baik jual putus atau kirim ke penerbit lain. Daripada
makan hati, mending makan dada, tidak berlemak dan tidak bikin asam urat.
4. Bantu
teman yang berprofesi sebagai editor dadakan. Maksudku, terkadang ada
perusahaan yang sebenarnya BUKAN penerbitan, tapi mereka ingin menerbitkan buku.
Contoh, pabrik kerupuk ingin buat buku sebagai hadiah pembelian kerupuk. Nah,
biasanya bagian marketing akan mencari ke sana kemari penulis yang mau dibayar
putus. Di sinilah, aku, sebagai teman yang baik hati dan berbudi luhur, mau
menjual putus naskahku.
Segini
saja ya. Maaf jika penjelasanku tidak seperti penjelasan pakar penulisan yang
mampu menjelaskan detail pasal-pasal yang seharusnya tercantum di surat
perjanjian. Kalau butuh tambahan informasi yang sifatnya legal, googling aja ya!
** Temukan jawaban atas semua kegalauanmu tentang menulis, dalam buku "Momwriter's Diary! Tersedia di seluruh toko buku Gramedia, hanya Rp33,000 saja dengan bonus 21 komik lucu ^^