Kamis, 18 Februari 2016
Seri Anak Cerdas -- ada 4 buku
Hi parents,
Sudah tahu kan, ada banyak bahaya yang mengintai anak-anak kita?
Bahkan, di dalam rumah pun, ada hal-hal yang bisa membahayakan keselamatan anak-anak.
Lalu, apakah hal itu harus membuat kita sebagai ortu jadi paranoid?
Tentu tidak.
Pemahaman yang baik akan cara mengatasi suatu masalah, bisa dimulai dari usia dini kok. Tentu, dengan bahasa yang sederhana dan penjelasan yang tidak berbelit.
Contohnya buku-buku dalam seri Anak Cerdas ini.
Serial ini mengusung 4 buku, dengan 4 situasi yang berbeda.
1. Di dalam rumah (hati-hati di dapur, di kamar tidur, waspada terhadap tamu, dll)
2. Di luar rumah (jalan di mal, di kebun binatang, di kolam renang, di jalan raya, dll)
3. Menghadapi keadaan darurat (gempa, kebakaran, banjir, dll)
4. Berinternet/berselancar di dunia maya (menghindari pornografi, chatting dengan orang tak dikenal, budaya copy paste, hoax, dll)
Tiap buku berisi 6 cerita, yang akan mengajarkan pada anak-anak, mengenai prinsip dasar kehati-hatian.
Mau ngintip isi bukunya? Yuk ^^
Masing-masing buku, hanya berharga Rp. 55 ribu saja :)
Bisa didapatkan di seluruh toko buku Gramedia, atau pesan ke saya juga boleh.
Silakan ^^
Rabu, 10 Februari 2016
Benci sama penganut agama lain? Kamu kalah dong dengan santri generasi 90'an ini ^^
Saat ikut mata kuliah etika, kami diwajibkan ikut semacam study tour begitu deh. Kali ini, tujuan kami adalah ke Tasikmalaya. Horee, kami akan mampir ke Kampung Naga juga dan mempelajari kehidupan di sana.
Nginepnya di mana?
Waks ... nginepnya di pondok pesantren!! Konon, pondoknya berisi ratusan santri. Pondok ini (pada jamannya) kayaknya yang terbesar deh. Saya lupa namanya. Lokasinya di Rajapolah, Tasikmalaya.
Sontak, saya gemetar.
Bayangkan, saya (waktu itu) beragama Katolik. Plus, saya bermata sipit dan berkulit putih mengilat bak porselen (oke, abaikan saja yang kulit mengilat hahaha).
Dan, saya punya pengalaman buruk yang berkaitan dengan SARA, dan (sialnya) tokoh antagonisnya ada yang berasal dari Tasikmalaya. Lengkap sudah kegemetaran saya.
Beberapa teman yang ikut study tour ini juga mengingatkan saya akan beberapa hal, dan terus terang saya semakin gemetar.
"Kalungmu dilepas!" -- saya waktu itu pakai kalung berbandul salib
"Harus pakai jilbab!" -- hoaaa, dari mana saya punya jilbab????
"Nggak usah ngomong kalau kamu Cina!" -- meski nggak ngomong, orang juga tau keles dari tampang saya
Wes lah, pokoke gemetar stadium akhir. Saya seperti mau dicemplungin ke kandang buaya.
Sampai di sana, ternyata pondokannya ada banyak sekali. Tiap santri mondok di pondok pilihan mereka, sesuai dengan budget yang mereka punya. Namun, mereka belajar di pesantren yang sama.
Saya ditempatkan di satu rumah yang cukup besar, santrinya banyak. Kira-kira lebih lah kalau 50 orang. Untunglah, saya tak sendiri. Saya nginep di sana berdua, dan teman tandem saya adalah Naomi, si Batak Kristen ( dan sekarang Naomi pun memeluk Islam, dan berjilbab. Alhamdulillah ya).
Saya dan Omi gandengan sambil mengkeret ketika harus memperkenalkan diri ke adik-adik di pondokan itu.
Akhirnya, saya memutuskan untuk langsung to the point.
"Nama saya Dian, dan maaf saya bukan muslim. Agama saya Katolik. Nggak apa-apa kan kalau saya tidur di sini bareng kalian semua?"
Tau nggak apa jawaban mereka?
"Nggak apa-apa atuh, Mbak. Memangnya kenapa kalau non muslim? Semua manusia mah bersaudara!"
Eaaa, hati saya langsung nyeeeees bak disiram air dingin. Saya langsung sumringah, Naomi pun sumringah. Kami semua langsung akrab, bercerita akrab seperti layaknya sahabat lama.
Malam tiba. Kami tidur beralaskan tikar saja. Berjejer-jejer seperti ikan pindang :p
Tapi yang namanya kebo, ya tetap kebo (saya).
Saat saya bangun, waduh antrean di kamar mandi sudah mengular. Duh, gimana dong? Mana panggilan biologis sudah meraung-raung.
Lagi-lagi, saya mendapat kemudahan.
"Minggir .... minggir, kakak UGM mau mandi!" perintah seseorang pada santri-santri yang antre.
Saya pun tersipu-sipu menerobos antrean. Maaf ya adik-adik, Kakak UGM mau kuliah. Takut dimarahi pak dosen :D
Sarapan pagi pun disiapkan dengan baik. Menunya nasi kuning yang amat lezat meski hanya berlauk dadar telor iris tipis-tipis dan taburan bawang merah goreng.
Saya pun berangkat kuliah lapangan dengan hati gembira.
Apesnya, saat jalan-jalan di Kampung Naga, saya keseleo. Pas pulang ke pondokan, kaki saya sudah bengkak segede kaki gajah.
Adik-adik pondokan langsung berinisiatif memanggil mamang becak (sepertinya itu mamang hanya beroperasi di area situ deh) untuk membawa saya ke tukang urut.
Waktu itu, yang mengantar saya ada dua orang + Naomi.
Tau nggak, siapa yang bayar ongkos becak dan ongkos tukang urut? Mereka!
Saya waktu itu nggak bawa duit, dan mereka dengan ikhlas bayarin saya. Terharu nggak sih?
Jangan tanya gimana tingkah laku saya waktu diurut oleh mamang yang tuna netra itu. Saya melolong lolong, berteriak, menjerit, wes pokoke nggilani deh. Dan, tahukah kalian apa yang para santri itu lakukan? Mereka sibuk ngobrol sama si Mamang tanpa mempedulikan jeritan saya.
(Setelah kejadian itu, baru mereka bilang kalau mereka sengaja gak peduli. Menurut mereka, kalau mereka peduli, nanti saya tambah lebay. Jadi lebih baik dicuekin saja. Tega ya, hiks ...)
Pulang dari tukang urut, para santri dengan tabah dan ikhlas menumbuk beras dan kencur untuk kemudian ditempelkan ke kaki bengkak saya.
"Besok insya Allah kempes, Mbak," kata mereka.
Voila ... dan ternyata benar. Memang kempes :))
Tak terasa, kami harus kembali ke Jogja. Para santri itu memelukku penuh haru. Mereka bilang amat senang bisa kenal dengan saya. Hiks, sayang ya saya lupa siapa saja nama mereka. Coba kalau inget kan bisa search di Facebook.
Dari pengalaman saya ke pondok pesantren ini, saya mendapat satu hikmah. Ternyata, orang yang belajar agama, dan mau mengamalkan agamanya dengan sebenar-benarnya, hidupnya nikmat.
Mereka hidup sederhana, selalu dalam senyuman, tak curiga pada orang lain, mau bersahabat dengan siapa saja.
Bandingkan dengan kondisi sekarang. Lihat saja timeline yang bersliweran. Banyak sekali orang-orang yang mengaku beragama, tapi kalimat-kalimatnya setajam silet. Apalagi terhadap pemeluk agama lain.
Ngeriiii ....
Jika kamu termasuk golongan yang suka mencaci orang beragama lain, dan intoleran, mungkin kamu harus mengendarai mesin waktu dan pergi ke Rajapolah di tahun 95'an. Belajarlah dari adik-adik ini, bagaimana berhubungan sosial dan memuliakan tamu.
Nginepnya di mana?
Waks ... nginepnya di pondok pesantren!! Konon, pondoknya berisi ratusan santri. Pondok ini (pada jamannya) kayaknya yang terbesar deh. Saya lupa namanya. Lokasinya di Rajapolah, Tasikmalaya.
Sontak, saya gemetar.
Bayangkan, saya (waktu itu) beragama Katolik. Plus, saya bermata sipit dan berkulit putih mengilat bak porselen (oke, abaikan saja yang kulit mengilat hahaha).
Dan, saya punya pengalaman buruk yang berkaitan dengan SARA, dan (sialnya) tokoh antagonisnya ada yang berasal dari Tasikmalaya. Lengkap sudah kegemetaran saya.
Beberapa teman yang ikut study tour ini juga mengingatkan saya akan beberapa hal, dan terus terang saya semakin gemetar.
"Kalungmu dilepas!" -- saya waktu itu pakai kalung berbandul salib
"Harus pakai jilbab!" -- hoaaa, dari mana saya punya jilbab????
"Nggak usah ngomong kalau kamu Cina!" -- meski nggak ngomong, orang juga tau keles dari tampang saya
Wes lah, pokoke gemetar stadium akhir. Saya seperti mau dicemplungin ke kandang buaya.
Sampai di sana, ternyata pondokannya ada banyak sekali. Tiap santri mondok di pondok pilihan mereka, sesuai dengan budget yang mereka punya. Namun, mereka belajar di pesantren yang sama.
Saya ditempatkan di satu rumah yang cukup besar, santrinya banyak. Kira-kira lebih lah kalau 50 orang. Untunglah, saya tak sendiri. Saya nginep di sana berdua, dan teman tandem saya adalah Naomi, si Batak Kristen ( dan sekarang Naomi pun memeluk Islam, dan berjilbab. Alhamdulillah ya).
Saya dan Omi gandengan sambil mengkeret ketika harus memperkenalkan diri ke adik-adik di pondokan itu.
Akhirnya, saya memutuskan untuk langsung to the point.
"Nama saya Dian, dan maaf saya bukan muslim. Agama saya Katolik. Nggak apa-apa kan kalau saya tidur di sini bareng kalian semua?"
Tau nggak apa jawaban mereka?
"Nggak apa-apa atuh, Mbak. Memangnya kenapa kalau non muslim? Semua manusia mah bersaudara!"
Eaaa, hati saya langsung nyeeeees bak disiram air dingin. Saya langsung sumringah, Naomi pun sumringah. Kami semua langsung akrab, bercerita akrab seperti layaknya sahabat lama.
Malam tiba. Kami tidur beralaskan tikar saja. Berjejer-jejer seperti ikan pindang :p
Tapi yang namanya kebo, ya tetap kebo (saya).
Saat saya bangun, waduh antrean di kamar mandi sudah mengular. Duh, gimana dong? Mana panggilan biologis sudah meraung-raung.
Lagi-lagi, saya mendapat kemudahan.
"Minggir .... minggir, kakak UGM mau mandi!" perintah seseorang pada santri-santri yang antre.
Saya pun tersipu-sipu menerobos antrean. Maaf ya adik-adik, Kakak UGM mau kuliah. Takut dimarahi pak dosen :D
Sarapan pagi pun disiapkan dengan baik. Menunya nasi kuning yang amat lezat meski hanya berlauk dadar telor iris tipis-tipis dan taburan bawang merah goreng.
Saya pun berangkat kuliah lapangan dengan hati gembira.
Apesnya, saat jalan-jalan di Kampung Naga, saya keseleo. Pas pulang ke pondokan, kaki saya sudah bengkak segede kaki gajah.
Adik-adik pondokan langsung berinisiatif memanggil mamang becak (sepertinya itu mamang hanya beroperasi di area situ deh) untuk membawa saya ke tukang urut.
Waktu itu, yang mengantar saya ada dua orang + Naomi.
Tau nggak, siapa yang bayar ongkos becak dan ongkos tukang urut? Mereka!
Saya waktu itu nggak bawa duit, dan mereka dengan ikhlas bayarin saya. Terharu nggak sih?
Jangan tanya gimana tingkah laku saya waktu diurut oleh mamang yang tuna netra itu. Saya melolong lolong, berteriak, menjerit, wes pokoke nggilani deh. Dan, tahukah kalian apa yang para santri itu lakukan? Mereka sibuk ngobrol sama si Mamang tanpa mempedulikan jeritan saya.
(Setelah kejadian itu, baru mereka bilang kalau mereka sengaja gak peduli. Menurut mereka, kalau mereka peduli, nanti saya tambah lebay. Jadi lebih baik dicuekin saja. Tega ya, hiks ...)
Pulang dari tukang urut, para santri dengan tabah dan ikhlas menumbuk beras dan kencur untuk kemudian ditempelkan ke kaki bengkak saya.
"Besok insya Allah kempes, Mbak," kata mereka.
Voila ... dan ternyata benar. Memang kempes :))
Tak terasa, kami harus kembali ke Jogja. Para santri itu memelukku penuh haru. Mereka bilang amat senang bisa kenal dengan saya. Hiks, sayang ya saya lupa siapa saja nama mereka. Coba kalau inget kan bisa search di Facebook.
Dari pengalaman saya ke pondok pesantren ini, saya mendapat satu hikmah. Ternyata, orang yang belajar agama, dan mau mengamalkan agamanya dengan sebenar-benarnya, hidupnya nikmat.
Mereka hidup sederhana, selalu dalam senyuman, tak curiga pada orang lain, mau bersahabat dengan siapa saja.
Bandingkan dengan kondisi sekarang. Lihat saja timeline yang bersliweran. Banyak sekali orang-orang yang mengaku beragama, tapi kalimat-kalimatnya setajam silet. Apalagi terhadap pemeluk agama lain.
Ngeriiii ....
Jika kamu termasuk golongan yang suka mencaci orang beragama lain, dan intoleran, mungkin kamu harus mengendarai mesin waktu dan pergi ke Rajapolah di tahun 95'an. Belajarlah dari adik-adik ini, bagaimana berhubungan sosial dan memuliakan tamu.
Keterangan gambar : Yang kerudung kuning Naomi, yang pake poni Dora the explorer, saya dong ^^
Lucu ya, kami dua orang non muslim saat itu. Dan sekarang, kami berdua muslim!!
Lucu ya, kami dua orang non muslim saat itu. Dan sekarang, kami berdua muslim!!
Senin, 01 Februari 2016
A life journey ...
Sudah tak terhitung, berapa inbox yang masuk dan bertanya, apa agama Mbak Dian Kristiani?
Kenapa orang bernama kristiani, berani-beraninya nulis buku anak-anak bertema agama Islam?
Ada juga yang dengan baik hati bilang, bahwa dia bangga bahwa seorang non muslim mau belajar dan menulis buku-buku Islam.
Namun tak sedikit yang bernada, "How dare you?"
Terus terang, saya paling tidak suka ditanya soal pribadi. Apalagi, oleh orang yang tidak saya kenal dekat/baik.
Namun, sebagai wanita yang baik hati dan penuh kasih sayang ditambah rasa pengertian yang seluas samudra, maka saya pun menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Saya jelaskan, bahwa saya memang mualaf. Titik.
Saya tak mau melanjutkan lagi, mengapa, bagaimana, kapan dll dll pada para penanya. Tak perlu.
Namun, ada saja yang bertanya. Mengapa? Kapan? Di mana?
Dan masih ada satu pertanyaan lagi yang menurut saya, sungguh tidak sopan.
"Kenapa tidak ganti nama? Bukankah nama itu doa?"
Busyet deh. Bukan suami, bukan anak, bukan sodara, berani-beraninya menyarankan ganti nama.
Sekali lagi, karena hati saya seluas samudra, saya hanya beri senyum yang termanis.
Setelah berpikir dengan jernih, saya pikir mungkin sebenarnya maksud mereka bukan sengaja mau tidak sopan ya. Mungkin, mereka memang care. Peduli padaku.
Baiklah.
Being a mualaf, is one of my roles in this life journey.
Waktu itu, yang mengislamkan saya adalah Haji Muhammad Gautama Setyadi. Beliau adalah seorang warga keturunan Tionghoa, yang beragama Islam.
Saya mengenal beliau dari anaknya, Lia, yang satu SD dengan saya. Keluarga mereka terkenal sebagai keluarga cina muslim di Semarang, dan cukup terkenal.
Saat SMP dan SMA, saya dan Lia tidak satu sekolah lagi, Hubungan terputus.
Namun, ada keajaiban.
Saat itu, saya baru lulus kuliah, dan diterima kerja di Bank Bali. Saat dikenalkan dengan seluruh tim-nya, saya terperangah melihat salah satu kepala cabang.
Dia pun terperangah. Dia Lia, teman SD saya itu.
Lia ini pula yang lalu mengajak saya keluar dari bank, dan bekerja di pabrik furniture. Lia mendapat posisi sebagai head marketing, dan saya sebagai tim cheerleader ^^
Dari Lia ini, saya dikuatkan, diyakinkan, bahwa Islam itu nggak apa-apa. Jangan takut sama orang Islam. Jangan takut sama agama Islam. Kalau sama Lia sih saya percaya, wong Lia itu tipe sebaik-baik manusia yang pernah ada di muka bumi. Orangnya haluuuus, baik hati, ga pernah marah, ketawa terus.
Waktu itu kan saya lagi galau. Mau nikah dengan pacar yang beragama Islam. Dan kami masih belum menemukan titik temu tentang agama.
Maklum saja, pengalaman masa kecil di Semarang, banyak sekali kaum rasis. Tetangga saya yang orang Islam bahkan bilang, jangan bergaul dengan orang Cina, karena nanti kena babi :D
Akhirnya, Lia meyakinkan saya untuk memeluk Islam.
Pacar juga mendukung.
Akhirnya, saya dipertemukan dengan Om Gautama ini. Dan si Om ini yang mengislamkan saya. Waktu itu dapat hadiah sajadah. Horee.
Saya masih ingat betul nasihat Om pada saya.
"Dian jangan mikir yang berat-berat. Kita ini sama-sama agama samawi. Banyak kok persamaannya. Bisa, Dian pasti bisa. Yesus itu ya Nabi Isa. Bunda Maria itu ya Maryam. Kalo kangen sama Bunda Maria, ya baca aja surat Maryam. Jangan dibuat sulit. Lakukan saja apa yang kamu bisa, don't push yourself too hard,"
Itu yang jadi pegangan saya.
Nah, setelah saya jadi penulis, mengapa saya memutuskan untuk menulis buku-buku Islam?
Jawabannya : saya sekalian BELAJAR.
Kalau saya nulis, saya harus baca sekian banyak referensi, bertanya ke kanan dan ke kiri, barulah jadi tulisan.
Dan buku-buku saya kebanyakan duet, dengan teman-teman yang insya Allah ilmu agama dan ketelitiannya, di atas saya. Mereka adalah Tethy Ezokanzo dan Aan Diha.
Kalau saya nggak nulis, mungkin saya akan malas belajar. Malas baca buku agama.
Mungkin, ini jalan yang Tuhan berikan, agar saya mau belajar.
Life is about learning.
Saya nggak berhenti belajar, meski tetap ingat pesan Om Gautama. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan dulu.
Kedengarannya santai dan woles ya? Namun bagi saya, itu berarti saya harus step by step belajar dengan baik, dan memaknai semuanya dengan baik.
Pertengahan tahun lalu, saya mulai belajar membaca Al Quran.
Sekarang, saya sudah sampai di at tartil jilid 6, dan di surat Al Baqarah ayat 175.
Alhamdulillah ya ... sesuatu *Syahrini mode on*
Udah gitu aja cerita saya. Niat saya hanya untuk mengabarkan, bahwa saya ini muslim.
Niat saya hanya untuk menguatkan teman-teman yang mualaf juga, jangan terlalu hiraukan keberisikan di luar saya. Yang tahu niatmu, kemampuanmu, hanyalah dirimu. Step by step, keep learning.
Postingan ini bukan postingan pamer bahwa saya udah bisa baca Al Quran. Bukaaaaan, ngapain juga pamer wong masih belepotan dan kadang bikin guru terpingkal-pingkal karena baca koka kola :D
Jangan ragu untuk beli buku-buku saya. Baik yang buku solo, ataupun duet dengan dua sahabat baik saya.
Insya Allah, bukunya bagus, isinya bermanfaat, tulisannya ga membosankan, kekinian, ceria, lincah, asik dll dll --> kalo ini memang promo bin pamer.
Hihi, udah ya. Makasih udah mau baca ^^
Kenapa orang bernama kristiani, berani-beraninya nulis buku anak-anak bertema agama Islam?
Ada juga yang dengan baik hati bilang, bahwa dia bangga bahwa seorang non muslim mau belajar dan menulis buku-buku Islam.
Namun tak sedikit yang bernada, "How dare you?"
Terus terang, saya paling tidak suka ditanya soal pribadi. Apalagi, oleh orang yang tidak saya kenal dekat/baik.
Namun, sebagai wanita yang baik hati dan penuh kasih sayang ditambah rasa pengertian yang seluas samudra, maka saya pun menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Saya jelaskan, bahwa saya memang mualaf. Titik.
Saya tak mau melanjutkan lagi, mengapa, bagaimana, kapan dll dll pada para penanya. Tak perlu.
Namun, ada saja yang bertanya. Mengapa? Kapan? Di mana?
Dan masih ada satu pertanyaan lagi yang menurut saya, sungguh tidak sopan.
"Kenapa tidak ganti nama? Bukankah nama itu doa?"
Busyet deh. Bukan suami, bukan anak, bukan sodara, berani-beraninya menyarankan ganti nama.
Sekali lagi, karena hati saya seluas samudra, saya hanya beri senyum yang termanis.
Setelah berpikir dengan jernih, saya pikir mungkin sebenarnya maksud mereka bukan sengaja mau tidak sopan ya. Mungkin, mereka memang care. Peduli padaku.
Baiklah.
Being a mualaf, is one of my roles in this life journey.
Waktu itu, yang mengislamkan saya adalah Haji Muhammad Gautama Setyadi. Beliau adalah seorang warga keturunan Tionghoa, yang beragama Islam.
Saya mengenal beliau dari anaknya, Lia, yang satu SD dengan saya. Keluarga mereka terkenal sebagai keluarga cina muslim di Semarang, dan cukup terkenal.
Saat SMP dan SMA, saya dan Lia tidak satu sekolah lagi, Hubungan terputus.
Namun, ada keajaiban.
Saat itu, saya baru lulus kuliah, dan diterima kerja di Bank Bali. Saat dikenalkan dengan seluruh tim-nya, saya terperangah melihat salah satu kepala cabang.
Dia pun terperangah. Dia Lia, teman SD saya itu.
Lia ini pula yang lalu mengajak saya keluar dari bank, dan bekerja di pabrik furniture. Lia mendapat posisi sebagai head marketing, dan saya sebagai tim cheerleader ^^
Dari Lia ini, saya dikuatkan, diyakinkan, bahwa Islam itu nggak apa-apa. Jangan takut sama orang Islam. Jangan takut sama agama Islam. Kalau sama Lia sih saya percaya, wong Lia itu tipe sebaik-baik manusia yang pernah ada di muka bumi. Orangnya haluuuus, baik hati, ga pernah marah, ketawa terus.
Waktu itu kan saya lagi galau. Mau nikah dengan pacar yang beragama Islam. Dan kami masih belum menemukan titik temu tentang agama.
Maklum saja, pengalaman masa kecil di Semarang, banyak sekali kaum rasis. Tetangga saya yang orang Islam bahkan bilang, jangan bergaul dengan orang Cina, karena nanti kena babi :D
Akhirnya, Lia meyakinkan saya untuk memeluk Islam.
Pacar juga mendukung.
Akhirnya, saya dipertemukan dengan Om Gautama ini. Dan si Om ini yang mengislamkan saya. Waktu itu dapat hadiah sajadah. Horee.
Saya masih ingat betul nasihat Om pada saya.
"Dian jangan mikir yang berat-berat. Kita ini sama-sama agama samawi. Banyak kok persamaannya. Bisa, Dian pasti bisa. Yesus itu ya Nabi Isa. Bunda Maria itu ya Maryam. Kalo kangen sama Bunda Maria, ya baca aja surat Maryam. Jangan dibuat sulit. Lakukan saja apa yang kamu bisa, don't push yourself too hard,"
Itu yang jadi pegangan saya.
Nah, setelah saya jadi penulis, mengapa saya memutuskan untuk menulis buku-buku Islam?
Jawabannya : saya sekalian BELAJAR.
Kalau saya nulis, saya harus baca sekian banyak referensi, bertanya ke kanan dan ke kiri, barulah jadi tulisan.
Dan buku-buku saya kebanyakan duet, dengan teman-teman yang insya Allah ilmu agama dan ketelitiannya, di atas saya. Mereka adalah Tethy Ezokanzo dan Aan Diha.
Kalau saya nggak nulis, mungkin saya akan malas belajar. Malas baca buku agama.
Mungkin, ini jalan yang Tuhan berikan, agar saya mau belajar.
Life is about learning.
Saya nggak berhenti belajar, meski tetap ingat pesan Om Gautama. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan dulu.
Kedengarannya santai dan woles ya? Namun bagi saya, itu berarti saya harus step by step belajar dengan baik, dan memaknai semuanya dengan baik.
Pertengahan tahun lalu, saya mulai belajar membaca Al Quran.
Sekarang, saya sudah sampai di at tartil jilid 6, dan di surat Al Baqarah ayat 175.
Alhamdulillah ya ... sesuatu *Syahrini mode on*
Udah gitu aja cerita saya. Niat saya hanya untuk mengabarkan, bahwa saya ini muslim.
Niat saya hanya untuk menguatkan teman-teman yang mualaf juga, jangan terlalu hiraukan keberisikan di luar saya. Yang tahu niatmu, kemampuanmu, hanyalah dirimu. Step by step, keep learning.
Postingan ini bukan postingan pamer bahwa saya udah bisa baca Al Quran. Bukaaaaan, ngapain juga pamer wong masih belepotan dan kadang bikin guru terpingkal-pingkal karena baca koka kola :D
Jangan ragu untuk beli buku-buku saya. Baik yang buku solo, ataupun duet dengan dua sahabat baik saya.
Insya Allah, bukunya bagus, isinya bermanfaat, tulisannya ga membosankan, kekinian, ceria, lincah, asik dll dll --> kalo ini memang promo bin pamer.
Hihi, udah ya. Makasih udah mau baca ^^
Langganan:
Postingan (Atom)