Pagi ini, pukul 06.30, handphone saya menjerit-jerit.
Buset dah, padahal sedang siap-siap naik peraduan lagi. Siapa nih yang telpon?
Ternyata, Edgard,
"MAMA! LKS PKN Edgard ketinggalan! Kalau nggak bawa, kena denda 20 ribu! Mama tolong anterin ya? Warnanya putih, ada gambar bendera merah putihnya!"
Wedew ...
Setahun atau dua tahun yang lalu, mungkin saya akan marah besar mendapat telpon seperti ini. Dan, pasti saya akan bilang:
"NO WAY. Salahmu sendiri. Bayar aja dong 20 ribu pakai uangmu, kan masih ada angpo ulangtahun kemaren?Makanya, jadi anak itu yang bertanggungjawab. Jangan grusa-grusu. Siapkan semuanya sejak malam. Kalau gini kan nyusahin ortu bla bla bla bla,"
Tapi, saya sudah menjadi Mama yang lebih sabar *cieeh, kecuali pas PMS sih*
Saya menjawab dengan biasa-biasa saja.
"Iya Nak, Mama cari dulu. Sebentar lagi Mama anterin,"
Saya pun mencari LKS PKN di tengah rak bukunya yang naudzubillah acak adul. Ketemu.
Dengan tenang, saya panasi motor, dan meluncur ke SMP.
Sampai di sana, Edgard sudah menyambut saya. Wajahnya nampak pucat, kayak cemas dan takut. Mungkin takut kalo saya marah.
Dia buru-buru cium tangan, mengambil LKS, dan pamit balik ke kelas.
Saya pun, hanya mengelus kepalanya, dan bilang "Yang baik di sekolah ya, Nak,"
Selesai.
Tanpa pertikaian.
Tanpa emosi jiwa.
Saya mampir beli susu kedelai dua botol, buat Gerald dan saya.
Happy, mimik susu kedele pagi-pagi :D
Pulangnya mampir pasar, dapat cumi-cumi dan udang.
Coba bayangkan, jika tadi saya menolak permintaan Edgard, dan bahkan marah-marah di telepon?
Tentu, Edgard akan membantah, dan memaksa.
Tentu, saya tambah marah.
Tentu, nanti sore pas njemput, pertengkaran akan berlanjut.
Tentu, nanti saya lapor Papa, dan si Papa akan ceramah muter-muter.
Si anak jadi sebel.
Ortu pun sebel.
Satu rumah cemberut semua.
Nggak enak, kan?
Nah, dengan bersikap sabar dan menuruti permintaannya, apakah artinya saya memanjakan anak?
Apakah artinya saya tidak mengajarinya bertanggungjawab?
Saya pikir nggak tuh. Kan udah keliatan dari raut mukanya tadi. Dia udah jelas-jelas ngerasa bersalah. Mengapa harus mengungkit-ungkit lagi kesalahan yang dia sudah tau?
Nanti sore, baru akan saya beritahu ke dia, bahwa cukup sekali ini saja Mama menolong. Lain kali, jangan ya. Selesai.
Trust me, menjadi seorang ibu itu nggak ada sekolahnya. Tiap hari kudu belajar.
Saya belajar dari ibu-ibu lain, yang punya anak seusia anak saya. Bukan dari teori parenting ini dan itu.
Dari pengalaman banyak orang, saya mengambil mana yang cocok dan bisa saya pahami.
Suatu sore, di tempat les Inggris, ada dialog antara ibu A dan ibu B.
Ibu A : Anakku marah, tadi harusnya latihan basket jam 3 sore. Dia ketiduran, dan nggak aku bangunin. Biarin, udah gede kok masih nggak bisa ngatur diri sendiri. Harusnya kan dia pasang alarm, masa ngandalin Mamahnya untuk ngurusi semuanya?
Ibu B : Lho ya gapapa tho. Kan tugasnya orangtua memang ngingetin anaknya.
Ibu A : Enak aja! Udah gede ya harus bisa ngurus diri sendiri.
Ibu B : Trus, nggak jadi latihan basket?
Ibu A : Ya enggak. Padahal ada seleksi untuk kejuaraan. Dia kecewa sih, manyun aja seharian.
Ibu B : Hmm ... kalau saya sih, pasti saya bangunin. Nak, ayo bangun. Katanya mau latihan basket? Katanya ada seleksi? Yaaah, itu menurut saya sih.
Dari hasil nguping pembicaraan itu, saya pikir, ibu B ada benarnya.
Why bring so much pains to our kids?
If we can make it easy, why we make itu difficult?
Urip ki cuma sepisan. Ojo digawe buthek.
Nek ono dalan sing bening, yo pilih sing bening wae.
Begitulah ... itu kalau saya.
Saya, seorang ibu yang ingin terus memperbaiki diri, agar menjadi ibu keren nan cool yang dicintai anak-anaknya. Bukan ditakuti ^^
Terakhir, tak ada kesan tanpa kehadiran iklan.
Udah pada punya buku ini untuk para remaja hebatnya belum?
Harganya cuma Rp. 39,000
Beli ya, murah dan insya Allah bermanfaat bagi remaja-remaja kita yang sedang mencari jati diri ^^
Senin, 31 Oktober 2016
Kamis, 06 Oktober 2016
Anak Pertama, Anak yang Digadang-gadang ^^
Anak pertama, adalah anak penuh harapan.
Segala harapan, doa, juga kecemasan, tertumpah padanya.
Bagaimana tidak? Dia yang akan jadi pemimpin adik-adiknya.
Dia yang akan menggantikan orangtuanya kelak.
Dia harus bisa jadi tempat adik-adiknya bersandar.
Dia harus bla bla bla ... ah banyak banget pokoknya.
Tak heran, banyak orangtua yang keras pada anak pertamanya.
Termasuk saya.
Pada sulung saya, saya selalu menekankan fungsi dia jika kelak kami ortunya tiada.
"Kamu harus bisa melindungi adikmu,"
"Sampai kapan pun, kamu adalah kakak,"
Dan sederet nasihat lainnya.
Saya beruntung. Saya punya role model yang tepat untuk tipe anak pertama yang saya maui. Jadi, saya tinggal nunjuk aja.
Gak usah jauh-jauh.
Kakak pertama saya sendiri ^^
"Edgard, tiru tuh Om Jubing. Dia kan anak pertama, dia bisa bla bla bla,"
Hoho, I am lucky. That's so easy!
Kakak saya itu, laki-laki. Sama dengan sulung saya yang juga laki-laki.
Kami, lima adiknya, merasa dia adalah orang yang tepat untuk dimintai nasihat (juga duit saat kami masih kuliah dulu haha).
Dia, begitu pandai.
Bukan ... bukan pandai kayak Einstein. Tapi, dia punya jawaban atas sebagian besar pertanyaan kami.
Kala kami ada masalah, dia orang yang tepat untuk kami minta pendapatnya.
Dan biasanya, ces pleng.
Dia juga melindungi adik-adiknya. Dia sering bertanya, apa kami baik-baik saja, apa kami sehat-sehat saja.
Dia juga tidak pelit, padahal dia bukan orang kaya yang rumahnya segede lapangan bola dengan mobil berderet di garasi.
Saya beruntung, punya kakak pertama yang layak dijadikan role model.
Namun, tak sedikit juga anak pertama yang tidak ideal. Contohnya, seperti di cerita-cerita rakyat.
Anak sulung, kok jahat banget.
Mungkin, maksud si pembawa cerita, dia berharap agar anak sulung tidak meniru karakter dalam cerita tersebut. Psikologi terbalik. Keren ya, orang jaman dulu udah paham psikologi terbalik.
Contohnya, di cerita Semangka Emas (100 Cerita Rakyat Nusantara, oleh Dian Kristiani) --> iklan
Bagaimana di keluargamu?
Apakah anak pertama dalam keluargamu begitu mengayomi, atau seperti Muzakir yang rakus harta?
Buat yang punya anak, bantu anak-anak kita dengan doa. Agar si sulung bisa tumbuh jadi pribadi yang dihormati adik-adiknya, dan agar para adik tumbuh menjadi pribadi yang tidak menyusahkan. Saling rukun, sampai surgaNya. Aamiin.
Segala harapan, doa, juga kecemasan, tertumpah padanya.
Bagaimana tidak? Dia yang akan jadi pemimpin adik-adiknya.
Dia yang akan menggantikan orangtuanya kelak.
Dia harus bisa jadi tempat adik-adiknya bersandar.
Dia harus bla bla bla ... ah banyak banget pokoknya.
Tak heran, banyak orangtua yang keras pada anak pertamanya.
Termasuk saya.
Pada sulung saya, saya selalu menekankan fungsi dia jika kelak kami ortunya tiada.
"Kamu harus bisa melindungi adikmu,"
"Sampai kapan pun, kamu adalah kakak,"
Dan sederet nasihat lainnya.
Saya beruntung. Saya punya role model yang tepat untuk tipe anak pertama yang saya maui. Jadi, saya tinggal nunjuk aja.
Gak usah jauh-jauh.
Kakak pertama saya sendiri ^^
"Edgard, tiru tuh Om Jubing. Dia kan anak pertama, dia bisa bla bla bla,"
Hoho, I am lucky. That's so easy!
Kakak saya itu, laki-laki. Sama dengan sulung saya yang juga laki-laki.
Kami, lima adiknya, merasa dia adalah orang yang tepat untuk dimintai nasihat (juga duit saat kami masih kuliah dulu haha).
Dia, begitu pandai.
Bukan ... bukan pandai kayak Einstein. Tapi, dia punya jawaban atas sebagian besar pertanyaan kami.
Kala kami ada masalah, dia orang yang tepat untuk kami minta pendapatnya.
Dan biasanya, ces pleng.
Dia juga melindungi adik-adiknya. Dia sering bertanya, apa kami baik-baik saja, apa kami sehat-sehat saja.
Dia juga tidak pelit, padahal dia bukan orang kaya yang rumahnya segede lapangan bola dengan mobil berderet di garasi.
Saya beruntung, punya kakak pertama yang layak dijadikan role model.
Namun, tak sedikit juga anak pertama yang tidak ideal. Contohnya, seperti di cerita-cerita rakyat.
Anak sulung, kok jahat banget.
Mungkin, maksud si pembawa cerita, dia berharap agar anak sulung tidak meniru karakter dalam cerita tersebut. Psikologi terbalik. Keren ya, orang jaman dulu udah paham psikologi terbalik.
Contohnya, di cerita Semangka Emas (100 Cerita Rakyat Nusantara, oleh Dian Kristiani) --> iklan
Bagaimana di keluargamu?
Apakah anak pertama dalam keluargamu begitu mengayomi, atau seperti Muzakir yang rakus harta?
Buat yang punya anak, bantu anak-anak kita dengan doa. Agar si sulung bisa tumbuh jadi pribadi yang dihormati adik-adiknya, dan agar para adik tumbuh menjadi pribadi yang tidak menyusahkan. Saling rukun, sampai surgaNya. Aamiin.
Langganan:
Postingan (Atom)