Minggu, 12 Oktober 2014

Maafkan aku, Tuhan ... a letter to my boys Edgard and Gerald

Hari ini, aku potong rambut. Ya, aku paling nggak betah jika rambutku sudah menyentuh bahu. Risih banget rasanya. Jadi, kuputuskan sore ini untuk ke salon langgananku, Erick.

Naik motor, berbekal uang Rp50 ribu, aku pun potong rambut. Ternyata, ongkosnya masih belum naik. Tetep Rp20 ribu. Murah meriah :)

Setelah selesai, aku keluar dan kembali naik motor. Saat mau keluar parkiran, lajuku terhenti oleh sebuah gerobak yang melaju pelan.
Gerobak itu menghalangi motorku, sehingga mau tak mau aku menunggunya. Untung, suasana hati lagi adem jadi anteng saja nunggu gerobak lewat.

Aku memerhatikan si penarik gerobak. Seorang perempuan berusia 30 tahunan, dekil, kotor, baju seadanya, dan menggendong bayi berusia 10 bulanan yang tak kalah dekil dan kotor.
Aku bertambah kaget, ketika di belakang gerobak itu, ada dua anak lagi yang berjalan telanjang kaki.
Dua anak itu usianya di bawah Gerald. Asumsiku, mereka berusia 6 dan 4 tahunan.

Dadaku sesak. Ibu itu bukan pengemis. Ibu itu bekerja, menarik gerobak yang nampak berat (aku nggak tahu apa isinya, karena dikerudungi penutup). Tapi kupikir isinya barang bekas, karena ada kardus menyembul dari sisi gerobak.
Ingatanku melayang pada dua anakku, yang putih-putih dan bersih-bersih. Sungguh, anak-anak Ibu itu nggak bisa dibandingkan dengan anak-anakku.

Mereka dekil, kumuh, wajah kotor, dan ... ah, nggak sanggup aku meneruskan pandanganku.

Aku melajukan motorku, dan aku berpikir tentang banyaknya baju Gerald yang sudah kekecilan. Alangkah pas dan pantasnya jika kuberikan pada anak-anak Ibu tadi.
Tapi jika aku pulang, lalu memilah baju, dan kembali lagi ke jalan ini, apa Ibu tadi masih ada? Rumahku masih sekitar 3KM.

Akhirnya, aku memutar motorku. Saat itu, hatiku terasa nggak nyaman. Entah ya, aku sering melihat pengemis yang membawa bayi. Jujur saja, aku kasihan sama bayinya tapi tidak kasihan sama pengemisnya. Tapi melihat Ibu ini, ada rasa lain di dadaku. Rasa keibuan yang muncul tiba-tiba.

Ya Tuhan, aku ingin menangis setiap kali terbayang wajah ketiga anak tadi. Malam ini, apa yang mereka lakukan? Tidur di manakah mereka? Apa mereka bisa mandi? Bisa makan? Bisa sekolah?

Yang bisa kulakukan tadi, hanyalah memberi uang 20 ribu kembalian uang salon tadi. Masih ada 10 ribu di kantongku, aku pakai untuk jaga-jaga takut kalau ban kempes atau lainnya.

Aku tadi berulang kali bilang ke Ibu itu, "Ini buat anak-anak. Tolong belikan mereka jajanan,"
Aku tahu, 20 ribu tak bisa beli jajanan yang enak. Tapi at least aku ingin mereka sedikit merasakan keceriaan anak kecil yang bisa makan permen, dan minum susu kotak.

Tuhan, sepanjang perjalanan pulang air mataku merebak. Kau tahu apa isi hatiku, Tuhan.
Maafkan aku yang masih sering mengeluh padaMu.
Aku mengeluhkan hal-hal sepele, yang tentu tak sebanding dengan apa yang dialami Ibu itu.

Aku mengeluhkan ban motorku yang pecah, sehingga aku harus menuntun motorku.
Sedangkan Ibu itu? Tiap hari dia menarik gerobak. Dan kupikir itu jauh lebih berat dibandingkan motorku.

Aku mengeluhkan cuaca yang panas luar biasa, padahal aku hanya keluar rumah tak lebih dari 15 menit untuk menjemput anak-anakku.
Sedangkan Ibu itu? Berapa jam dia kepanasan tiap harinya?

Aku mengeluhkan beras yang kubeli ada gabahnya. Padahal, mungkin Ibu tadi harus berhari-hari untuk bisa membeli sekantung beras yang sama denganku.

Tuhan, maafkan aku telah menggangguMu dengan keluhan-keluhanku yang tiada artinya.
Meski hanya terucap spontan dari mulutku, tapi aku pikir Engkau kecewa melihat umatMu yang kurang pandai bersyukur.

Tuhan, aku yakin Engkau sayang pada semua umatMu. Sayangilah Ibu tadi, seperti Engkau juga menyayangi aku dan keluargaku.

Tadi, aku bercerita pada suami. Suamiku memberi saran yang kupikir cukup masuk akal.
Dia meminta aku untuk menaruh beberapa potong baju Gerald yang sudah kekecilan itu di motor. Jadi, begitu aku melihat anak-anak yang kiranya layak untuk diberi baju itu, maka aku nggak perlu bingung.

Anak-anakku, Edgard dan Gerald, ayo kita melihat sekeliling kita. Di sekitar kita nggak hanya ada orang-orang berAlphard atau berVW seperti mami-mami di sekolahmu itu.
Di sekitar kita, masih ada "mami" lain yang perlu kita kasihi.

Jangan menuntut, apalagi menuntut Tuhan untuk memberimu ini dan itu. Ambil cermin dan lihatlah dirimu sendiri. Apa yang sudah kamu lakukan untuk Tuhan?

Dan yang paling penting lagi, jangan mengeluh. Nikmati semua yang Tuhan sudah berikan pada kita.
Tuhan itu Maha Kaya, Maha Mengetahui, Maha Adil, dan Maha segalanya.
Dia tak mungkin keliru dalam memperlakukan kita.

Come on, boys. Let's hand in hand with me and daddy. We face our world together, and always be thankful for everything.

Sidoarjo, 12 October 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Happy blogwalking, my dear friends ^^