Dulu, saat masih kuliah di Jogja, beberapa teman kost saya berasal dari Bengkulu.
Dari mereka, saya sering mendengar tentang kue tat ini. Kata mereka, kue tat itu semacam nastar tapi ukurannya besar.
Saya hanya manggut-manggut. Saya nggak terlalu suka nastar, sih. Bikin jigong, hehe. Tapi saya suka selai nanasnya. Rasanya unik dan manis. Nastar raksasa, seperti apa ya?
Saat itu, saya sudah berpacaran dengan suami yang juga berasal dari Bengkulu. Dari dia, saya semakin yakin bahwa kue tat ini memang kue nastar raksasa.
Setelah menikah 12 tahun, akhirnya saya dan suami berkesempatan untuk mudik ke Bengkulu. Untuk suami sendiri, ini adalah mudik pertamanya setelah 15 tahun. Lama ya?
Yah maklum saja, kedua orangtua suami sudah meninggal. Selain itu, kondisi ekonomi kami yang saat itu masih pasangan muda full kredit (maksudnya banyak kreditan, hihi) tidak memungkinkan kami untuk mudik.
Belum lagi membayangkan mudik membawa batita balita. Hoho, betapa ribetnya ^^
Namun, akhirnya kami ada rejeki untuk bisa mudik. Dan, saat mudik itu, yang terpikir di benak saya hanyalah MAKAN, MAKAN, dan MAKAN.
Saya kepengen mencicipi semua makanan Bengkulu yang belum pernah saya makan seumur hidup. Termasuk, kue tat.
Sayang, saat berada disuguhi kue tat di rumah salah satu kakak, saya tidak berminat. Saat itu saya sudah kekenyangan makan banyak makanan lain, dan kue tat tidak terlalu memesona saya.
Nastar, paling ya gitu-gitu aja rasanya. Itu pendapat saya, apalagi saat itu banyak kuliner lain yang jauh lebih menggoda.
Rasa kecanduan saya pada kue tat muncul saat kami pulang ke rumah, dan kakak ipar saya memberi setumpuk kue tat untuk oleh-oleh.
Di rumah, saya pun tidak langsung memakannya. Ada banyak makanan lain yang juga menggoda untuk dimakan. Lempok, manisan terong ungu, dll. Jadi, untuk sementara kue tat-nya dipinggirkan dulu.
Saat oleh-oleh mulai habis, saya pun memotong kue tat dan mencicipinya. Olala, ternyata rasanya super enak!
Nggak kayak nastar kok, karena kue tat ini lembut dan empuk. Bukan seperti nastar yang rapuh dan ambrol saat dimakan.
Selain itu, selai nanasnya enaaaaaak banget. Apalagi ditambah parutan keju di atasnya. Perpaduan manis dan asin bener-bener enak!
Setelah beberapa hari, akhirnya persediaan kue tat saya habis. Sampai akhirnya suami Mbak Tatit ada di Bengkulu dan saya memberanikan diri untuk titip kue tat pada beliau.
Sayang, saya nggak tahu mereknya, sehingga suami Mbak Tatit pun manut saja dibelikan sembarang merek oleh koleganya di Bengkulu.
Pertamanya saya pikir, ah yang namanya kue tat mah sama aja. Pasti rasanya juga enak. Eh tapi ternyata lain hihihi.
Yang dibawa suami Mbak Tatit rasanya tidak se maknyus kue tat yang dibeli oleh kakak ipar saya. Dan saat saya cerita ke kakak ipar saya, beliau pun ketawa-ketawa dan menyalahkan saya kenapa tidak SMS dia saja sehingga dia bisa beli dan menitipkannya pada suami Mbak Tatit?
Nah, buat teman-teman yang sedang berada di Bengkulu, atau ingin makan kue tat yang enak (menurutku) coba beli saja yang merek Ricka ini.
Baru-baru ini aku dikirimin lagi oleh kakak iparku, sebanyak tiga loyang besar dan tiga loyang kecil. Lumayan, untuk pelepas rindu :)
Kata kakakku sih, belinya nggak di toko, Tapi langsung ke alamat rumahnya.
Ini aku fotoin penampakannya ya. Ciyus, rasanya enak banget.
Rabu, 30 Juli 2014
Selasa, 22 Juli 2014
Tips untuk menembus media anak: Tulislah tulisan yang bertema.
Dalam satu tahun, ada beberapa hari istimewa.
Sebut saja Idul Fitri, atau Natal, Tahun Baru dan Imlek.
Belum lagi Hari Ibu, Hari Kartini, Hari Bumi, Hari Batik, Hari Anak, dll.
Menulis cerita dengan tema sesuai hari-hari tersebut, membuat peluang naskah kita untuk dimuat semakin besar. Tentunya, perhatikan kualitas tulisanmu ya ^^
Dan jangan lupa, mengirimkan naskahnya jangan mepet. Misalnya, kalau kita mengincar Hari Ibu, ya kirimkan naskahmu paling tidak di bulan Mei/Juni.
Jangan mengirimkan naskah di bulan November. Udah telat :)
Ini aku lampirkan satu contoh naskahku yang bertema tahun baru. Tulisan ini kutulis di bulan Juni 2009, dan dimuat Desember 2009.
Semoga memudahkan teman-teman untuk memahami, seperti apa cerita bertema itu.
Sebut saja Idul Fitri, atau Natal, Tahun Baru dan Imlek.
Belum lagi Hari Ibu, Hari Kartini, Hari Bumi, Hari Batik, Hari Anak, dll.
Menulis cerita dengan tema sesuai hari-hari tersebut, membuat peluang naskah kita untuk dimuat semakin besar. Tentunya, perhatikan kualitas tulisanmu ya ^^
Dan jangan lupa, mengirimkan naskahnya jangan mepet. Misalnya, kalau kita mengincar Hari Ibu, ya kirimkan naskahmu paling tidak di bulan Mei/Juni.
Jangan mengirimkan naskah di bulan November. Udah telat :)
Ini aku lampirkan satu contoh naskahku yang bertema tahun baru. Tulisan ini kutulis di bulan Juni 2009, dan dimuat Desember 2009.
Semoga memudahkan teman-teman untuk memahami, seperti apa cerita bertema itu.
Tahun Baru bagi Adit
Oleh : Dian Kristiani
“Lima…empat…tiga..dua…satu…horeee…”
terdengar teriakan riang dari orang-orang yang berkumpul di alun-alun. Suara
terompet pun terdengar bersahut-sahutan.
“Selamat tahun baru,” terdengar suara mereka saling
mengucapkan selamat.
Adit hanya duduk termenung di trotoar.
”Tahun baru, apanya yang baru? Semuanya tetap sama, aku
tetap seorang pemulung dan aku tetap seorang anak putus sekolah,” katanya dalam
hati.
Sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, Adit memang tak
sekolah lagi. Ia merasa lelah jika harus
bersekolah dan bekerja.
Adit meninggalkan alun-alun dan melangkah pulang dengan
gontai. Sepanjang perjalanan pulang, ia tak lupa memunguti gelas dan botol
plastik yang berserakan di jalan. Esok ia akan membawanya ke tempat Pak Umar
untuk dijual.
”Selamat tahun baru Adit,” sambut Pak Umar keesokan
paginya. Adit hanya tersenyum.
”Apa rencanamu di tahun baru?” tanya Pak Umar sambil
memilah-milah gelas dan botol plastik yang dibawa oleh Adit.
”Memangnya, orang harus punya rencana Pak? Bukankah tahun
baru ini sama dengan tahun-tahun sebelumnya?” tanya Adit tak mengerti.
Pak Umar tertawa dan menepuk pundak Adit.
“Sebaiknya memang orang punya rencana atau cita-cita.
Dengan begitu, kita akan berusaha meraih dan mewujudkannya,”
“Biasanya, orang menyusun rencananya di awal tahun, ya
sekarang ini saatnya,” lanjut Pak Umar lagi.
Adit mengangguk-angguk dan tampak berpikir.
Tiba-tiba ia
menjawab “Aku ingin sekolah tahun ini,” jawabnya cepat.
Pak Umar mengacungkan jempol tangannya, tanda bahwa
beliau suka dengan rencana Adit itu.
“Kalau begitu, besok kau harus mulai datang ke sekolah.
Jika niatmu kuat, kau pasti akan berhasil. Kau bisa mengatur jam kerjamu, pagi
kau pergi ke sekolah, siangnya bekerja. Sore beristirahat sebentar dan kemudian
belajar. Bapak yakin kau pasti bisa,” kata Pak Umar.
Adit nampak ragu. ”Maukah Bapak menemaniku mencari
sekolah? Aku tak mungkin meminta nenek untuk mengantarku,” tanya Adit.
Pak Umar mengangguk ”Tentu Adit, dan yang paling penting
adalah, jangan pernah khawatir. Tuhan pasti telah mengatur semuanya untukmu,
kau tinggal berusaha saja.”
Adit pulang dengan hati riang. Ia akan bilang pada
neneknya, bahwa di tahun baru ini ia akan sekolah. ”Nenek pasti senang,”
pikirnya.
Adit melewati tahun baru ini dengan semangat baru dan
rencana baru. Ia yakin bahwa ia bisa mewujudkan rencananya dengan usaha dan
kerja keras.
***
Seri Dongeng Budi Pekerti - Dongeng Kasih Sayang
- Dongeng Sopan Santun
- Dongeng Pembangkit Semangat
Seri Dongeng Budi Pekerti - Dongeng Kasih Sayang
- Dongeng Sopan Santun
- Dongeng Pembangkit Semangat
Senin, 21 Juli 2014
Pasti ada 'Saat Pertama' untuk segala sesuatu di dunia ini ... (Budi Punya Adik Baru, tulisanku di tahun 2007)
Saya kenyang dengan kalimat-kalimat seperti ini yang dilontarkan dari teman-teman yang ingin belajar menulis.
"Mbak Dian kan udah senior. Pantesan aja tulisannya bagus. Sedangkan aku?"
"Ah, kalau Mbak Dian sih udah pasti diterima di penerbit manapun. Mbak Dian kan sudah kawakan,"
Dan seribu satu macam kalimat yang serupa itu.
Oh teman-temanku sayang, percayakah kalian bahwa segala sesuatu pasti ada 'saat pertama'nya?
Saya nggak mungkin 'ujug-ujug' alias tiba-tiba menjadi penulis seperti sekarang ini kan?
Tentu, saya pernah menjadi penulis newbie yang amat unyu, yang tidak tahu apa-apa selain menulis, menulis, dan menulis.
Nggak percaya?
Coba deh, baca tulisan ini. Ini adalah tulisan pertamaku (benar-benar karya pertama yang aku tulis di laptop) dan kukirimkan ke majalah.
Tulisan ini kemudian dimuat satu tahun kemudian, dengan sedikit revisi di sana-sini.
Aku posting versi aslinya sesuai yang ada di harddisk-ku ya, supaya teman-teman tahu bahwa aku pun dulu pernah berada di status 'newbie'.
Jadi, jangan pernah minder, dan jangan pernah bilang "Siapa sih aku ini? Aku kan newbie,"
Teruslah menulis, menulis dan menulis. Insya Allah, dari seorang newbie, kalian akan menjadi penulis profesional yang banyak dicari oleh penerbit :)
Cerita ini saya tulis di pertengahan tahun awal 2007, dan inspirasinya datang dari putra pertama saya Edgard Xavier, yang baru saja memiliki adik bayi, Gerald Zada.
"Mbak Dian kan udah senior. Pantesan aja tulisannya bagus. Sedangkan aku?"
"Ah, kalau Mbak Dian sih udah pasti diterima di penerbit manapun. Mbak Dian kan sudah kawakan,"
Dan seribu satu macam kalimat yang serupa itu.
Oh teman-temanku sayang, percayakah kalian bahwa segala sesuatu pasti ada 'saat pertama'nya?
Saya nggak mungkin 'ujug-ujug' alias tiba-tiba menjadi penulis seperti sekarang ini kan?
Tentu, saya pernah menjadi penulis newbie yang amat unyu, yang tidak tahu apa-apa selain menulis, menulis, dan menulis.
Nggak percaya?
Coba deh, baca tulisan ini. Ini adalah tulisan pertamaku (benar-benar karya pertama yang aku tulis di laptop) dan kukirimkan ke majalah.
Tulisan ini kemudian dimuat satu tahun kemudian, dengan sedikit revisi di sana-sini.
Aku posting versi aslinya sesuai yang ada di harddisk-ku ya, supaya teman-teman tahu bahwa aku pun dulu pernah berada di status 'newbie'.
Jadi, jangan pernah minder, dan jangan pernah bilang "Siapa sih aku ini? Aku kan newbie,"
Teruslah menulis, menulis dan menulis. Insya Allah, dari seorang newbie, kalian akan menjadi penulis profesional yang banyak dicari oleh penerbit :)
Cerita ini saya tulis di pertengahan tahun awal 2007, dan inspirasinya datang dari putra pertama saya Edgard Xavier, yang baru saja memiliki adik bayi, Gerald Zada.
Budi punya adik
baru
Oleh : Dian Kristiani
Budi, ya begitulah ia biasa dipanggil.
Mata sipit, rambut poni dan berpipi gembul. Usianya baru 6 tahun, tapi
dia suka sekali berceloteh dan bertanya tentang apa saja.
Suatu hari, Budi melihat Mama
mengelus-elus perutnya.
“Wah, kenapa perut Mama besar ya?
Jangan-jangan Mama terlalu banyak makan,” begitu pikir Budi. Mamanya juga
terlihat seperti kurang sehat, wajahnya pucat.
Budi mendekati mamanya dan bertanya,
“ Mama kenapa? Mama sakit ya? Budi pijat ya? Mau?”
Seperti biasa, banyak pertanyaan
meluncur dari mulut mungilnya.
Mama tersenyum sambil memandang
Budi.
“Mama sehat-sehat saja kok Bud, tapi di dalam perut Mama ada adik bayi…dan
nanti adik ini akan jadi teman bermain untuk Budi”
Heeh? Adik? Budi berpikir keras. Wajahnya menjadi semakin
lucu, alisnya berkerenyit dan pipinya menggelembung.
“Aku mau punya adik bayi? Adik bayi kan bisanya cuma menangis..dan Mama
pasti akan menggendongnya sepanjang hari. Wah gawat, bagaimana dengan aku? Apa
aku bisa tetap tidur sama Mama? Apa Mama tetap sayang padaku? Pasti aku tidak
boleh lagi main bola di dalam rumah”. Seribu macam pertanyaan terlintas di
pikirannya.
Seharian itu Budi berpikir keras. Dia ingat si Angga teman sekelasnya.
Angga baru saja punya adik bayi perempuan, dan sekarang ibunya lebih sayang
pada adiknya. Angga tidak boleh lagi bermain-main di dalam rumah.Jangankan main
peluit dan terompet, sekedar melompat-lompat saja mamanya sudah mengomel.
Duhh, betapa sedihnya hati Budi. Dia tidak ingin punya adik bayi!
Empat bulan kemudian, suasana di rumah sibuk sekali. Hari ini Mama dan
adik bayi akan datang. Budi cemas sekali. Dia sama sekali belum melihat wajah
adik bayinya, dalam hatinya dia penasaran..seperti apa adikku?
Di satu sisi, dia
penasaran dan ingin tahu, tapi di satu sisi yang lain dia takut Mama dan Papa tidak sayang lagi terhadap dirinya.
Bruumm...terdengar suara mobil Papa masuk ke halaman rumah. Haaa..mereka
sudah datang. Budi mengintip dari balik korden, dan..wah…kecil sekali adikku!
Adik Budi dibungkus selimut
berwarna biru muda. Budi punya adik laki-laki!!!!
Mama dan Papa masuk ke rumah,
dengan hati-hati Mama meletakkan adik bayi ke ranjang. Budi mengikuti mamanya sambil matanya tak lepas
dari wajah adiknya. Menurut Budi, adiknya begitu tampan, bersih dan lucu...tapi
masih sangat kecil. Tanpa sadar, Budi memegang pipi adiknya dan
mengelus-elusnya.
Mama memegang kepala Budi dengan lembut dan berkata, “Bud, ini adik Budi.
Budi senang kan punya adik? Budi sekarang punya teman bermain, Budi
tidak kesepian lagi di rumah,”
Huuuaahhh…mulut mungil adik bayi
menguap lebar dan badannya menggeliat sehingga selimutnya lepas. Mama
meminta tolong kepada Budi untuk
membetulkan letak selimut adiknya. Wah, Budi senang dan bangga bisa ikut membantu Mama menjaga adik. Sekarang
adik nampak pulas dan nyenyak.
Papa memasuki kamar dan mengajak Budi keluar, “Ayo Bud, kita main bola di
halaman. Biarkan adikmu tidur dulu, nanti jika adik bangun, Budi bisa ngobrol
dengannya”
Dengan langkah riang gembira, Budi mengikuti Papa. Di halaman, mereka
berdua main bola dan berteriak-teriak dengan riang. Eh..ternyata Mama tidak
marah, biarpun Budi dan Papa berteriak-teriak. Dan ternyata adik bayi juga tidak
terganggu.
Punya adik bayi ternyata senang juga. Budi tidak lagi takut jika Mama
dan Papa tidak sayang kepadanya. Budi bahkan berjanji akan menjaga adiknya
dengan baik dan selalu sayang padanya.
Oya, adik Budi namanya Odi! Lucu ya?
Minggu, 20 Juli 2014
Tips Menulis Cerita Anak
Akhir-akhir ini, saya beberapa kali menjadi ‘konsultan’
untuk naskah teman-teman yang ingin menulis cerita anak.
Bukan, bukan konsultan dalam arti sesungguhnya. Maksud saya,
teman-teman itu meminta tolong pada saya untuk mereview naskahnya. Sudah OK,
kah? Sudah keren kah? Sudah menarik kah?
Tujuan dari penulisan naskah itu sendiri sih bermacam-macam.
Ada yang mau ikutan lomba, ada yang mau ngirim ke majalah anak, ada yang mau
bikin pictorial book, dll. Tapi intinya sama. Mereka mau menulis cerita anak,
yang target usianya antara 4-8 tahun.
Dari pengalaman beberapa kali mereview naskah mereka, maka
saya ingin menyimpulkan beberapa tips yang bisa membantu dan menginspirasimu
untuk menulis cerita anak yang menarik.
1.
Jangan bertele-tele. Apalagi di bagian awal.
Saya sering membaca naskah yang bagian awalnya muter-muter nggak jelas.
Padahal, semestinya dia hanya mau bilang A. Tapi untuk menuju ke A itu, mengapa
harus melewati XYZHIJKLMN? Jangan sampai, pembaca cilik sudah pening duluan di
awal cerita, dan langsung menutup buku ceritanya. Mogok.
2. Gunakan kalimat-kalimat pendek yang sederhana.
Ingat, sederhana bukan berarti meremehkan kemampuan anak untuk mengenal
kosakata baru. Sederhana di sini berarti kalimatnya ringkas dan efisien. Penggallah
kalimat, supaya tidak terlalu panjang. Jangan biarkan pembaca cilik
terengah-engah membaca tulisanmu.
Coba perhatikan kalimat di bawah ini. Beritahu saya jika kamu tidak merasa pusing tujuh keliling. Jika kamu pusing, apalagi anak-anak?
Coba perhatikan kalimat di bawah ini. Beritahu saya jika kamu tidak merasa pusing tujuh keliling. Jika kamu pusing, apalagi anak-anak?
Misalnya:
Ketika lahir Paijo, anak lelaki Paimin dan Paijem, gadis tercantik di saat itu, orang membuat pesta di mana-mana sampai kampung terkecil dari Kabul sampai Mumbul, dengan pesta makan-makan, dan bunyi-bunyian terompet.
Bandingkan:
Paijo adalah putra dari Paimin dan Paijem.
Saat dia lahir, semua orang menyambutnya
gembira. Dari kampung Kabul sampai Mumbul, semua membunyikan terompet dan
berpesta.
3.
Carilah tokoh yang lekat dengan kehidupan anak.
Lekat di sini bisa dalam artian sifat-sifatnya, ciri fisiknya, atau hal-hal
yang disukai anak.
4. Dalam dialog-dialognya, gunakan bahasa yang
memang digunakan oleh anak-anak. Bukan dialog ala reporter televisi saat
mewawancarai narasumber.
5. Hindari memberi nasihat secara terang-terangan.
“Ani harus rajin sikat gigi. Kalau gigi tidak disikat, maka kotoran akan menumpuk. Nanti, gigi Ani bisa berlubang bla bla bla,”
Coba bayangkan, kita yang udah dewasa aja bosan kan kalau dinasihati terus? Mengapa kita ’menyiksa’ anak-anak dengan nasihat?
Di sekolah, di rumah, di mana-mana, mereka selalu dinasihati. Saat mereka mencari hiburan dengan membaca buku, eh lha kok masih dinasihati. Kasihan, kan?
“Ani harus rajin sikat gigi. Kalau gigi tidak disikat, maka kotoran akan menumpuk. Nanti, gigi Ani bisa berlubang bla bla bla,”
Coba bayangkan, kita yang udah dewasa aja bosan kan kalau dinasihati terus? Mengapa kita ’menyiksa’ anak-anak dengan nasihat?
Di sekolah, di rumah, di mana-mana, mereka selalu dinasihati. Saat mereka mencari hiburan dengan membaca buku, eh lha kok masih dinasihati. Kasihan, kan?
Kemaslah nasihat dan pesan moral yang ingin kamu sampaikan dengan cerita yang
menarik dengan tokoh-tokoh yang lucu dan dialog-dialog yang khas anak-anak.
Buatlah anak menangkap sendiri pesan moral ceritanya dan tidak merasa sedang dinasihati.
Buatlah anak menangkap sendiri pesan moral ceritanya dan tidak merasa sedang dinasihati.
6.
Tak semua cerita anak harus mengandung pesan
moral, lho. Kamu bisa juga menuliskan cerita anak yang tujuannya murni hanya
untuk menghibur, atau memberi pengetahuan baru untuk anak-anak. Ada sejuta ide
bergentayangan di udara, jadi janganlah memaksa untuk menulis cerita yang
menasihati anak.
Banyak sekali fakta-fakta sains yang bisa dikelola menjadi sebuah cerita anak. Coba tengok bukunya Mbak Agnes Bemoe yang judulnya Hujan!Hujan!
Di buku itu, beliau mengemas fakta sains tentang awan, hujan, iklim dll menjadi cerita-cerita menarik.
Banyak sekali fakta-fakta sains yang bisa dikelola menjadi sebuah cerita anak. Coba tengok bukunya Mbak Agnes Bemoe yang judulnya Hujan!Hujan!
Di buku itu, beliau mengemas fakta sains tentang awan, hujan, iklim dll menjadi cerita-cerita menarik.
7.
Rangsang kemampuan anak untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri. Saya sering baca
cerita yang jika ada konflik, maka tiba-tiba ada tokoh dewasa yang muncul dan menyelesaikan
semua masalah. Nggak apa-apa sih kalau si tokoh dewasa ini sudah ikut dari awal
cerita. Tapi kalau tiba-tiba nongol dan memberi nasihat bla bla dan
menyelesaikan masalah, maka anak-anak seolah ‘dipadamkan’ kemampuannya untuk
mengeksplore dirinya.
8.
Jangan ragu untuk mengenalkan hal-hal sedih pada
anak. Kehilangan, kematian, sakit, adalah hal yang wajar terjadi di dunia ini.
Jika anak tidak mengenal kesedihan, dari mana mereka tahu apa itu kegembiraan?
9. Tokoh dalam cerita anak, tak harus anak-anak.
Bisa saja tokohnya berusia ‘dewasa’. Yang penting, isi ceritanya cocok untuk
anak-anak, dan memang ditujukan untuk anak-anak.
10. Jadilah anak-anak! Saat menulis, lepaskan dirimu
dari usiamu yang sesungguhnya. Menjelmalah menjadi anak seusia target
pembacamu. Jangan sebaliknya, kamu jadi
orangtua yang sibuk ingin menjejali anak dengan aneka nasihat ini itu.
11.
Bacalah ceritamu keras-keras. Kira-kira,
anak-anak akan suka nggak ya? Paham nggak ya? Dengan membaca keras, kamu juga bakal tahu kalimat-kalimat mana yang semestinya nggak penting dan bisa kamu hilangkan.
12. Last but not least, bacalah karya teman-teman
lain yang sudah berhasil di bidang ini. Contek cara mereka untuk membuat cerita
yang asyik. Kalau kamu mau menelisik, sebenarnya temanya itu-itu saja, kan?
Tapi mengapa mereka bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang baru? Baca, pelajari,
dan temukan formulanya.
Nah, dengan 12 tips ini, yuk mulai menulis lagi. Nggak susah, kan?
Semoga tips-tips ini membantu ya ^^
1
2.
Langganan:
Postingan (Atom)