"Mbak Dian kan udah senior. Pantesan aja tulisannya bagus. Sedangkan aku?"
"Ah, kalau Mbak Dian sih udah pasti diterima di penerbit manapun. Mbak Dian kan sudah kawakan,"
Dan seribu satu macam kalimat yang serupa itu.
Oh teman-temanku sayang, percayakah kalian bahwa segala sesuatu pasti ada 'saat pertama'nya?
Saya nggak mungkin 'ujug-ujug' alias tiba-tiba menjadi penulis seperti sekarang ini kan?
Tentu, saya pernah menjadi penulis newbie yang amat unyu, yang tidak tahu apa-apa selain menulis, menulis, dan menulis.
Nggak percaya?
Coba deh, baca tulisan ini. Ini adalah tulisan pertamaku (benar-benar karya pertama yang aku tulis di laptop) dan kukirimkan ke majalah.
Tulisan ini kemudian dimuat satu tahun kemudian, dengan sedikit revisi di sana-sini.
Aku posting versi aslinya sesuai yang ada di harddisk-ku ya, supaya teman-teman tahu bahwa aku pun dulu pernah berada di status 'newbie'.
Jadi, jangan pernah minder, dan jangan pernah bilang "Siapa sih aku ini? Aku kan newbie,"
Teruslah menulis, menulis dan menulis. Insya Allah, dari seorang newbie, kalian akan menjadi penulis profesional yang banyak dicari oleh penerbit :)
Cerita ini saya tulis di pertengahan tahun awal 2007, dan inspirasinya datang dari putra pertama saya Edgard Xavier, yang baru saja memiliki adik bayi, Gerald Zada.
Budi punya adik
baru
Oleh : Dian Kristiani
Budi, ya begitulah ia biasa dipanggil.
Mata sipit, rambut poni dan berpipi gembul. Usianya baru 6 tahun, tapi
dia suka sekali berceloteh dan bertanya tentang apa saja.
Suatu hari, Budi melihat Mama
mengelus-elus perutnya.
“Wah, kenapa perut Mama besar ya?
Jangan-jangan Mama terlalu banyak makan,” begitu pikir Budi. Mamanya juga
terlihat seperti kurang sehat, wajahnya pucat.
Budi mendekati mamanya dan bertanya,
“ Mama kenapa? Mama sakit ya? Budi pijat ya? Mau?”
Seperti biasa, banyak pertanyaan
meluncur dari mulut mungilnya.
Mama tersenyum sambil memandang
Budi.
“Mama sehat-sehat saja kok Bud, tapi di dalam perut Mama ada adik bayi…dan
nanti adik ini akan jadi teman bermain untuk Budi”
Heeh? Adik? Budi berpikir keras. Wajahnya menjadi semakin
lucu, alisnya berkerenyit dan pipinya menggelembung.
“Aku mau punya adik bayi? Adik bayi kan bisanya cuma menangis..dan Mama
pasti akan menggendongnya sepanjang hari. Wah gawat, bagaimana dengan aku? Apa
aku bisa tetap tidur sama Mama? Apa Mama tetap sayang padaku? Pasti aku tidak
boleh lagi main bola di dalam rumah”. Seribu macam pertanyaan terlintas di
pikirannya.
Seharian itu Budi berpikir keras. Dia ingat si Angga teman sekelasnya.
Angga baru saja punya adik bayi perempuan, dan sekarang ibunya lebih sayang
pada adiknya. Angga tidak boleh lagi bermain-main di dalam rumah.Jangankan main
peluit dan terompet, sekedar melompat-lompat saja mamanya sudah mengomel.
Duhh, betapa sedihnya hati Budi. Dia tidak ingin punya adik bayi!
Empat bulan kemudian, suasana di rumah sibuk sekali. Hari ini Mama dan
adik bayi akan datang. Budi cemas sekali. Dia sama sekali belum melihat wajah
adik bayinya, dalam hatinya dia penasaran..seperti apa adikku?
Di satu sisi, dia
penasaran dan ingin tahu, tapi di satu sisi yang lain dia takut Mama dan Papa tidak sayang lagi terhadap dirinya.
Bruumm...terdengar suara mobil Papa masuk ke halaman rumah. Haaa..mereka
sudah datang. Budi mengintip dari balik korden, dan..wah…kecil sekali adikku!
Adik Budi dibungkus selimut
berwarna biru muda. Budi punya adik laki-laki!!!!
Mama dan Papa masuk ke rumah,
dengan hati-hati Mama meletakkan adik bayi ke ranjang. Budi mengikuti mamanya sambil matanya tak lepas
dari wajah adiknya. Menurut Budi, adiknya begitu tampan, bersih dan lucu...tapi
masih sangat kecil. Tanpa sadar, Budi memegang pipi adiknya dan
mengelus-elusnya.
Mama memegang kepala Budi dengan lembut dan berkata, “Bud, ini adik Budi.
Budi senang kan punya adik? Budi sekarang punya teman bermain, Budi
tidak kesepian lagi di rumah,”
Huuuaahhh…mulut mungil adik bayi
menguap lebar dan badannya menggeliat sehingga selimutnya lepas. Mama
meminta tolong kepada Budi untuk
membetulkan letak selimut adiknya. Wah, Budi senang dan bangga bisa ikut membantu Mama menjaga adik. Sekarang
adik nampak pulas dan nyenyak.
Papa memasuki kamar dan mengajak Budi keluar, “Ayo Bud, kita main bola di
halaman. Biarkan adikmu tidur dulu, nanti jika adik bangun, Budi bisa ngobrol
dengannya”
Dengan langkah riang gembira, Budi mengikuti Papa. Di halaman, mereka
berdua main bola dan berteriak-teriak dengan riang. Eh..ternyata Mama tidak
marah, biarpun Budi dan Papa berteriak-teriak. Dan ternyata adik bayi juga tidak
terganggu.
Punya adik bayi ternyata senang juga. Budi tidak lagi takut jika Mama
dan Papa tidak sayang kepadanya. Budi bahkan berjanji akan menjaga adiknya
dengan baik dan selalu sayang padanya.
Oya, adik Budi namanya Odi! Lucu ya?
Cerita sederhana tp keren mbak makasih ya suntikan semangatnya ^-^
BalasHapusSama-sama, Mbak Muna. Mulailah dari hal-hal sederhana yang ada di sekelilingmu ya ^^
Hapuslanjutkan
BalasHapusSiap :)
HapusSemangat!!!
BalasHapusYuuuk capcus :)
Hapusterimakasih mbak sharingnya. berasa ditabok semangat nih. Bener kata mbak, semua ada awalnya. Maret sy gabung di paberland. Saya yang awalnya tak Pede di pabers. bahkan sering baca2 postingan sebagai "Silent Reader". Saya belajar dari Mbak dan penulis senior lain. Bulan Mei sy ingat mulai berani ngirim ke Media. Belajar menerapkan tips-tips yang sya baca di paberland. dan Alhamdulillah, Allah mempermudah. juni muat di radar bojonegoro dan juli muat di Kompas anak. Terimakasih mbak dian...
BalasHapusHoree, hebat Mbak. Teruskan ya Mbak. Terbukti kan, pertanyaan "Siapa sih saya ini?" nggak terbukti. Yang penting kualitas karya, dan keberanian :)
Hapusiya mbak.., bismillah saya jadi lebih semangat menulis lagi..,untuk jadi seorang senior kan perlu melewati tahap belajar ekstra sebagai junior. Mohon bimbingannya mbak...
BalasHapuswah, senang bacanya :)
BalasHapus