Minggu, 20 Juli 2014

Tips Menulis Cerita Anak



Akhir-akhir ini, saya beberapa kali menjadi ‘konsultan’ untuk naskah teman-teman yang ingin menulis cerita anak.

Bukan, bukan konsultan dalam arti sesungguhnya. Maksud saya, teman-teman itu meminta tolong pada saya untuk mereview naskahnya. Sudah OK, kah? Sudah keren kah? Sudah menarik kah?

Tujuan dari penulisan naskah itu sendiri sih bermacam-macam. Ada yang mau ikutan lomba, ada yang mau ngirim ke majalah anak, ada yang mau bikin pictorial book, dll. Tapi intinya sama. Mereka mau menulis cerita anak, yang target usianya antara 4-8 tahun.

Dari pengalaman beberapa kali mereview naskah mereka, maka saya ingin menyimpulkan beberapa tips yang bisa membantu dan menginspirasimu untuk menulis cerita anak yang menarik. 

1.  Jangan bertele-tele. Apalagi di bagian awal. Saya sering membaca naskah yang bagian awalnya muter-muter nggak jelas. Padahal, semestinya dia hanya mau bilang A. Tapi untuk menuju ke A itu, mengapa harus melewati XYZHIJKLMN? Jangan sampai, pembaca cilik sudah pening duluan di awal cerita, dan langsung menutup buku ceritanya. Mogok.

2.  Gunakan kalimat-kalimat pendek yang sederhana. Ingat, sederhana bukan berarti meremehkan kemampuan anak untuk mengenal kosakata baru. Sederhana di sini berarti kalimatnya ringkas dan efisien. Penggallah kalimat, supaya tidak terlalu panjang. Jangan biarkan pembaca cilik terengah-engah membaca tulisanmu.
Coba perhatikan kalimat di bawah ini. Beritahu saya jika kamu tidak merasa pusing tujuh keliling. Jika kamu pusing, apalagi anak-anak?

Misalnya:
Ketika lahir Paijo, anak lelaki Paimin dan Paijem, gadis tercantik di saat itu, orang membuat pesta di mana-mana sampai kampung terkecil dari Kabul sampai Mumbul, dengan pesta makan-makan, dan bunyi-bunyian terompet.

Bandingkan:
Paijo adalah putra dari Paimin dan Paijem. Saat dia lahir, semua orang  menyambutnya gembira. Dari kampung Kabul sampai Mumbul, semua membunyikan terompet dan berpesta. 

3. Carilah tokoh yang lekat dengan kehidupan anak. Lekat di sini bisa dalam artian sifat-sifatnya, ciri fisiknya, atau hal-hal yang disukai anak. 

4.  Dalam dialog-dialognya, gunakan bahasa yang memang digunakan oleh anak-anak. Bukan dialog ala reporter televisi saat mewawancarai narasumber.

5.  Hindari memberi nasihat secara terang-terangan.
“Ani harus rajin sikat gigi. Kalau gigi tidak disikat, maka kotoran akan menumpuk. Nanti, gigi Ani bisa berlubang bla bla bla,”
Coba bayangkan, kita yang udah dewasa aja bosan kan kalau dinasihati terus? Mengapa kita ’menyiksa’ anak-anak dengan nasihat?
Di sekolah, di rumah, di mana-mana, mereka selalu dinasihati. Saat mereka mencari hiburan dengan membaca buku, eh lha kok masih dinasihati. Kasihan, kan?
Kemaslah nasihat dan pesan moral yang ingin kamu sampaikan dengan cerita yang menarik dengan tokoh-tokoh yang lucu dan dialog-dialog yang khas anak-anak.
Buatlah anak menangkap sendiri pesan moral ceritanya dan tidak merasa sedang dinasihati. 

6.  Tak semua cerita anak harus mengandung pesan moral, lho. Kamu bisa juga menuliskan cerita anak yang tujuannya murni hanya untuk menghibur, atau memberi pengetahuan baru untuk anak-anak. Ada sejuta ide bergentayangan di udara, jadi janganlah memaksa untuk menulis cerita yang menasihati anak.
Banyak sekali fakta-fakta sains yang bisa dikelola menjadi sebuah cerita anak. Coba tengok bukunya Mbak Agnes Bemoe yang judulnya Hujan!Hujan!
Di buku itu, beliau mengemas fakta sains tentang awan, hujan, iklim dll menjadi cerita-cerita menarik. 

7.   Rangsang kemampuan anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.  Saya sering baca cerita yang jika ada konflik, maka tiba-tiba ada tokoh dewasa yang muncul dan menyelesaikan semua masalah. Nggak apa-apa sih kalau si tokoh dewasa ini sudah ikut dari awal cerita. Tapi kalau tiba-tiba nongol dan memberi nasihat bla bla dan menyelesaikan masalah, maka anak-anak seolah ‘dipadamkan’ kemampuannya untuk mengeksplore dirinya. 

8.  Jangan ragu untuk mengenalkan hal-hal sedih pada anak. Kehilangan, kematian, sakit, adalah hal yang wajar terjadi di dunia ini. Jika anak tidak mengenal kesedihan, dari mana mereka tahu apa itu kegembiraan?

9.  Tokoh dalam cerita anak, tak harus anak-anak. Bisa saja tokohnya berusia ‘dewasa’. Yang penting, isi ceritanya cocok untuk anak-anak, dan memang ditujukan untuk anak-anak. 

10.  Jadilah anak-anak! Saat menulis, lepaskan dirimu dari usiamu yang sesungguhnya. Menjelmalah menjadi anak seusia target pembacamu.  Jangan sebaliknya, kamu jadi orangtua yang sibuk ingin menjejali anak dengan aneka nasihat ini itu.

11.  Bacalah ceritamu keras-keras. Kira-kira, anak-anak akan suka nggak ya? Paham nggak ya? Dengan membaca keras, kamu juga bakal tahu kalimat-kalimat mana yang semestinya nggak penting dan bisa kamu hilangkan. 

12. Last but not least, bacalah karya teman-teman lain yang sudah berhasil di bidang ini. Contek cara mereka untuk membuat cerita yang asyik. Kalau kamu mau menelisik, sebenarnya temanya itu-itu saja, kan? Tapi mengapa mereka bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang baru? Baca, pelajari, dan temukan formulanya.

Nah, dengan 12 tips ini, yuk mulai menulis lagi. Nggak susah, kan? 
Semoga tips-tips ini membantu ya ^^


1

2.

11 komentar:

Happy blogwalking, my dear friends ^^