Sabtu, 11 April 2015

Main-main dengan "Show don't tell"

Beberapa hari yang lalu, saya mengajak teman-teman di Komunitas Penulis Bacaan Anak, untuk main-main dengan show don't tell.

Mengenai show don't tell sendiri, definisi menurut wikipedia adalah sbb:
Show, don't tell is a technique often employed in various kinds of texts to enable the reader to experience the story through action, words, thoughts, senses, and feelings rather than through the author's exposition, summarization, and description. The goal is not to drown the reader in heavy-handed adjectives, but rather to allow readers to interpret significant details in the text.

Nah, saya mengajak teman-teman di KPBA untuk menjabarkan kata "miskin" dan /atau "galak" dalam sebuah paragraf.
Saya berbaik hati (tumben) menyediakan hadiah pulsa untuk dua terbaik. Hehe, dan yang ikut main-main latihan pun bejibun!

Saya lalu meminta tolong pada Mbak Ary Nilandari yang baik hati, untuk membuatkan contoh show don't tell yang "nendang" dan tidak klise.
Berikut adalah summary saya dan Mbak Ary.

***

Kita (saya juga) terbiasa menjabarkan "miskin" dengan : mengais sampah, tukang becak, buruh cuci, tas kumal, sepatu usang, nasi garam dst.
Pertanyaannya, apakah hal-hal seperti itu cukup kuat untuk memikat hati pembaca dan membuat mereka meneruskan membaca karya kita?

OK, mungkin teman bisa berkilah.
"Lho, kan memang gitu. Orang miskin kan nggak bisa beli sepatu. Wajar dong kalau saya bikin cerita sepatunya bolong, jebol,"

Hoho, kamu benaaaar. Waktu saya kecil juga sepatu saya bolong di jempol dan ortu saya ga mampu belikan.
Tapi, ada cara yang "lebih" lagi dalam menceritakan sepatumu, yang bukan hanya sekadar jebol, jempol nongol, kusam.
Nggak percaya? Yuk kita baca contoh dari Mbak Ary tersayang.

Baru kali ini Samsul mendengar ada adu sepatu paling bau.
Tidak, kamu tidak salah baca. BAU. Dan ada yang mau membayar berapa pun untuk mendapatkan sepatunya.
Samsul sudah menjelaskan ia cuma punya sepasang. Sepatu empat musim yang jarang mandi. Muntahan adik, pipis kucing, dan terutama keringat kakinya. Terasi saja kalah bau. Kecoak pun mati waktu nekad masuk. Samsul sudah menghitung celengannya, belum cukup. Mungkin tak akan pernah cukup karena sering dipinjam Kakak buat ongkos angkot. Ayah bilang, akan membelikan segera. Segera itu berarti kalau ada pembeli anyaman sabut kelapa di zaman tali plastik menjadi raja.
Tapi sekarang, ada lomba itu dan ia yakin bisa menang.


See? Bisa lihat perbedaannya, kan? Sama-sama sepatu. 
Dan lihat juga profesi ayah yang dipilih Mbak Ary. Bukan tukang becak, jual gorengan, buruh cuci, hehe.

Saya sendiri, sering menengok ke sekeliling saya. Miskin itu yang kayak apa?
Dan saya bisa melihat, ada guru PAUD/TK yang gajinya hanya 300 ribu sebulan. Apa cukup tuh untuk hidup? Tentu tidak, dan beliau miskin.
Sedangkan ART? Sebulan bisa dapat 1.5 juta jika dia kerja di tiga rumah @2 jam.

Jadi, kita perlu melihat kondisi kekinian, melihat ke sekeliling kita. Tentu nggak bisa digeneralisir, Tapi rasakan saja, feel it.

OK.
Sekarang, kita beranjak ke "galak".
Menurut Mbak Ary, galak itu nggak hanya ngomel, marah2 melulu. Tapi, galak itu membuat perasaan orang lain jadi kecil. Pokoknya ngeliat sosoknya aja, kita langsung menciut. Rasanya pengen ngumpet aja lah kalau ketemu dia.
Saking galaknya, nggak harus ketemu fisik dengannya. Ngeliat post it yang ditempel olehnya saja kita jadi kelimpungan.


Contoh dari Mbak Ary di bawah ini, jujur saja membuat saya bergidik hehe (jiwa anak kecil saya membayangkan betapa seremnya si Tante).
Jadi sekali lagi, harus ada "rasa", harus ada "emosi".

Sam memastikan lagi.
Oke, rambut sudah disisir bolak balik. Kerah kemeja tidak mencuat. Ketiak tidak basah.
Hmm... wangi malah. Kuku pendek. Garis lipatan celana bisa untuk memotong kue. Sepatu bisa untuk becermin.
Ia masuk dengan dada membusung.
Kali ini, sekali ini saja, tak ada peluang bagi Tante Jenna untuk membuatnya ciut sekecil kutu.
Ia, Sam, the future leader...dan...ia terpaku.
Tante Jenna tak ada di ruangannya. Tapi selembar post-it merah di papan pesan langsung tertangkap mata.
"Pk.10.00? J."
Dan Sam merasa lebih kecil dari kutu sekarang.
Satu jam terlambat.
Kertas merah itu akan terus membayang di mata lebih dari suara Tante Jenna yang berdenging di telinga.


So? Happy reading, happy writing!
Show don't tell sendiri kalau dilihat, mirip dengan deskripsi ya. Tapi kalau deskripsi, tidak melibatkan emosi. Nggak ada "rasa". Apa yang terlihat, ya itu yang ditulis.  Show don't tell kalau buat saya, deskripsi plus plus :D
Describing, plus showing, plus senses, plus emotions.

Berikut ada tambahan penjelasan dari Mbak Ary Nilandari:

Menulis juga ibarat main game, ada level-level yang harus dilalui.
Deskripsi adalah komponen fiksi paling sulit dan sering dihindari penulis. Lebih mudah bikin dialog, bukan?
Ini beberapa
level deskripsi:

1. Basic, literal, membosankan kalau keseringan dipakai:
Anak itu miskin.
Bu Guru galak.

2. Melibatkan mata dan telinga. Kalau penulis enggak kreatif, akan jatuh pada klise dan stereotipe:
Sepatu bolong, tukang becak, makan sepiring berlima, suara menggelegar, dst.

3. Menggunakan pancaindra, lebih menarik, apalagi kalau penulis dapat menangkap hal-hal baru atau yang biasa luput dari pengamatan.
Tikar yang bikin gatal, sofa yang menjerit saat diduduki, susu yang terasa hambar saking encer, detail yang jadi omelan dan menimbulkan kemarahan.

4. Melibatkan pancaindra dan emosi pembaca. Contoh di atas itu.

Dalam satu cerita, keempat level deskripsi bisa dikombinasikan untuk memberikan efek seperti roller coaster ride. Sekalinya emosi pembaca sudah terlibat, berikutnya kita bilang dengan cara basic/literal pun, deskripsi tetap mengena.

OK, sip?



Picture taken from www.clipartpanda.com

11 komentar:

  1. Sangat bermanfaat, like bangeeettt

    BalasHapus
  2. Berulang kali baca, saya belu puas baca.

    BalasHapus
  3. Hmmmmh.... tahan napas bacanya mbak Dian!

    BalasHapus
  4. I lope u mbak Dian...mbacanya nihbolak balik biar cepet mudeng. Hehehe

    BalasHapus
  5. Bermanfaat banget. Makasih banyak Mbak sudah membagi pengetahuan ttg 'show don't tell' ini. Bagia ini memang sering menjebak. Izin bookmark dan salam kenal 。^‿^。

    BalasHapus
  6. nice sekali mba
    disepanjang tulisan harus menggunakan show don't tell kah mba?


    BalasHapus

Happy blogwalking, my dear friends ^^