Senin, 27 Oktober 2014

Wanita, kok Merokok?

I'm (Not) Perfect, adalah buku yang saya susun di tahun 2012, dan diterbitkan oleh GPU tahun 2013.

Salah satu bahasan di buku ini adalah, tentang wanita perokok. Betapa masyarakat kita begitu kejam menghakimi wanita perokok, namun membiarkan pria perokok mendapat predikat macho.




Wanita, kok Merokok?
“Ih, perempuan apaan tuh? Pakaiannya aja tertutup rapat, tapi kok merokok? Kayak cewek apaan deh …,”

Merokok, jelas berbahaya bagi kesehatan. Bisa menyebabkan kanker, penyakit jantung, impotensi dan kemandulan. Itu sudah jelas, dan niscaya. Nggak perlu diperdebatkan lagi. Jadi, kenapa harus merokok?
Please, sayangi dirimu.
Imbauan ini, aku tujukan kepada SEMUA perokok. Bukan kepada WANITA perokok.

Sayangnya, yang terjadi di masyarakat salah kaprah. Pria merokok dianggap normal (Well, dan tak dipungkiri, ada juga yang menganggapnya jadi macho dan keren). Sedangkan wanita?
Ayo, pada jujur deh. Apa tanggapanmu tentang wanita perokok? Pasti negatif kan?
Cewek nakal? Urakan? Doyan dugem? Frustrasi? Free sex? Narkoba? Hehehe …

Kasihan juga ya . Kenapa wanita dihujat karena merokok?
Coba, mana ada ibu yang mau punya menantu wanita perokok? Pasti ngibrit marah-marah dan minta anaknya mutusin si cewek. Kecuali jika si ibu juga merokok, hahaha!

OK, mari kita telaah.
Sudah benarkah penilaian kita terhadap wanita perokok? Apa iya, wanita-wanita itu adalah wanita “nggak bener”?
Sudah ditanya? Sudah dites ketidakbenarannya?
Jika belum, wah berarti kita sudah berprasangka buruk dong. Padahal, (lagi-lagi) berprasangka buruk itu dosa besar, kan?

Suami saya punya sepupu. Wanita baik-baik, bahkan berpakaian sesuai dengan anjuran agama. Tapi dia merokok!
Bagi saya, yang pertama kali melihat wanita berjilbab dan merokok dengan santainya, saya nyaris pingsan!
Saya mencolek suami, “Kok ngerokok sih? Rada nggak bener nih sepupumu,”
Suami saya melotot.
“Ibuku (almarhum) juga ngerokok. Dan beliau guru agama lho,” bisiknya.
Gubrak … saya memang nggak mengenal mertua saya. Beliau udah meninggal saat usia suami saya masih bayi. Jangan-jangan penyakitnya dulu itu akibat banyak merokok? I don’t know … may she rests in peace.

Suami saya memandang saya.
“Kenapa ya, di kota-kota besar, wanita perokok identik dengan wanita nggak bener? Padahal nggak kan? Merokok kan bukan dosa? Apanya yang nggak bener?” gumamnya.
Saya terkekeh, “Lho, bukannya merusak tubuh itu termasuk dosa? Nggak boleh loh,” sahutku.
“OK lah, dosa. Itu dosa SEMUA perokok. Bukan khusus wanita. Kenapa hanya wanita yang disorot?” jawab suamiku.
Glek … mati kutu deh saya!

Saya lalu teringat kata-kata seorang motivator andal. Perkataannya itu dulu sempat menyinggung banyak wanita perokok. Katanya, wanita perokok itu tak layak dinikahi. Huaaa, pernyataan itu langsung membuat ramai jejaring sosial.
Sebagian mengamini perkataan si motivator, sebagian lagi marah-marah tak jelas.

Hmm, kalau dipikir-pikir memang rada aneh juga ya. Bagaimana dengan pria perokok? Layak dinikahi nggak?
Rasanya terlalu dangkal ya kalau kita nge-judge layak dan tak layaknya seseorang untuk dinikahi, hanya dengan apakah dia merokok?
Begitu banyak aspek kehidupan. Begitu banyak sifat, kebaikan, dan keburukan manusia di dunia ini. Kenapa penilaiannya hanya pada sebatang rokok yang terselip di bibir?
Nggak adil ah!

Bukan berarti saya pro perokok ya. Tapi saya sedang berusaha tidak menghakimi seorang wanita hanya karena dia merokok.
Kalau bisa, saya sih maunya dunia ini bersih. Nggak ada yang merokok. Apalagi pria, sebagai bapak pencari nafkah. Sering lho, saya melihat pria pengangguran, yang nggak mampu belikan anak makanan, tapi sanggup beli rokok! Padahal, sebatang rokok bisa dibelikan sebutir telur L
Ah, saya jadi ngalor ngidul begini.

Intinya, wanita yang merokok itu, belum tentu wanita yang nggak bener, yang nggak layak dinikahi, doyan dugem dll dll. Tapi memang tak bisa dipungkiri juga, di tempat dugem banyak wanita yang merokok. Biarin deh, aku rasa mereka tahu kok resiko dan bahayanya rokok pada tubuh mereka. Mereka kan, sudah dewasa.

Pada kasus sepupu suami saya, ia memang merokok dari kecil. Kenapa? Karena ia dulu tinggal di kampung di daerah Sumatera sana. Di sana, para wanitanya pada merokok karena nggak mau mengunyah sirih. Jadi, wajar saja jika sepupu suami saya itu merokok, karena dia melihat ibu dan tante-tantenya juga merokok (termasuk ibu mertua saya).

Saya rasa, yang perlu disadarkan akan bahaya merokok ya SEMUA orang. Bukan hanya wanita.
Kalau kita merasa wajar melihat pria merokok, harusnya ya merasa wajar juga melihat wanita merokok. Nggak usah repot menghakimi dan berburuk sangka.

Jika kita mau bilang bahwa merokok itu merugikan diri sendiri, dan membahayakan kesehatan, mari kita sebarkan pada semua perokok. Say no to rokok!

Jumat, 24 Oktober 2014

Menulis cerita lucu untuk anak-anak ^^

Kali ini, aku memberikan contoh cerita lucu untuk anak-anak. Cerita ini kuambil dari buku Lola yang Lola.

PASANGAN

Miss Rebecca : Coba sebutkan kata yang merupakan contoh lingual penanda gender. I give you a sample. Pemuda pemudi.
Fang-fang.      : dewa dewi
Bruno.            :  putra putri
Thia.               : pramugari pramugara
Rintje.             : siswa siswi
Miss Rebecca. : Lola,apa jawabanmu
Lola.                : (kaget karena asyik ngupil) Nggg ....penjahit penjahat!

Sebenernya ada banyak sih, tapinkok aku malas ngetiknya ya hihihi. Soft copynya udah hilang. Beli aja deh bukunya, dijamin lucu dan aman untuk anak-anak. Aku punya stok :))




Kamis, 23 Oktober 2014

Tips Menulis Cerita Lucu based on true stories (personal literature)

Akhir-akhir ini, beberapa teman bertanya, apa tips menulis cerita yang lucu?

Well, jujur saja aku nggak tahu jawabannya hahaha. Jawabku, ya tulis saja apa yang ada di isi pikiranmu.
Lalu pertanyaan berikutnya : Kalau sesimple itu, lalu apa yang diajarkan oleh orang-orang yang mengadakan kursus/pelatihan menulis cerita lucu?
Lha mbuuuuh. Aku ya nggak tau hihihihi.

Supaya tidak berpusing ria, mari baca saja satu ceritaku ini ya. Kuanggap ini lucu, dan terbukti memang lucu karena sudah diterbitkan di buku "Buying Office Girl, Very Mumet Everyday"  terbitan Gradien Mediatama.



Leaving on a Jetplane (Go to Hong Kong)
Oh kiss me and smile for me…tell me that you’ll wait for me..
Hold me like you’ll never let me go…ouwooooo…ouwooo *Betharia Sonata mode on

Ini cerita tentang pengalaman pertamaku naik montor mabur alias pesawat terbang.
Sebagai ilustrasi awal, marilah kujelaskan bahwa aku dilahirkan dari sebuah keluarga yang miskin dan papa. Untuk makan 3x sehari aja susye minta ampun. Bayangin aja…sebutir telor didadar dan diiris tipis-tipis untuk makan kami berenam! So, boro-boro naik pesawat, naik kereta api aja aku belum pernah. Paling banter kami dulu naik becak atau daihatsu (*sebutan untuk angkot di Semarang), piknik ke bonbin.
Liburan ke luar kota or luar negeri? Mimpi kali yeeee….

Baru sebulan kerja di buying opis, aku dapet tugas untuk meeting mewakili perusahaan. Gak tanggung-tanggung, meetingnya di Hong Kong! Kudu naik pesawat dong ya? Masak naek becak? Duh, saat big boss bilang kalo aku kudu ke sono, yang pertama dalam pikiranku adalah “Gimana yak caranya masang sabuk pengaman di pesawat? Apa sama dengan sabuk pengaman di bombom car?”
Seribu kecemasan lain berkecamuk dalam pikiranku. “Gimana kalo pesawatnya jatuh? Trus di Hong Kong nanti aku kudu naik apa? Airportnya di sono segede apa? Kalo kesasar gimana?” Wes, pokoknya cemas bin ndredeg deh…

But of course, aku nggak mau menunjukkan ke-grogianku di depan big boss dong. Salah-salah nanti malah batal ke Hong Kong…padahal kan sumpe kucing aku juga pengen kesono.
Akhirnya, aku dengan sok pede menyanggupi tugas itu. Aku menghibur diriku sendiri “Halah, wong cuma di Hong Kong..kan mereka bekas jajahan Inggris. Pastinya gampang lah kalo nanya-nanya,” Cihuuyyy….tiket pun di tangan!

Sebagai orang yang penuh persiapan, tentu aku kudu membekali diriku dengan ilmu sebanyak mungkin tentang pesawat dan Hong Kong. Orang yang paling tepat dimintai ilmunya adalah kakakku yang tertua. Beliau kan seorang gitaris termahsyur, jadi dia sering pergi pake pesawat. Trus, dia juga pernah ke Hong Kong (*tahun 1982…hihi…jadul amiiirrr) untuk lomba gitar. So I call him.

Me                   : Mbing, aku mau ke Hong Kong. Naek pesawat (ya iyalah). Carane naik pesawat itu piye?
My bro             : Oh, bla bla bla….(check in, boarding etc). Ntar pas udah duduk di pesawat, jangan lupa pasang seatbelt nya. Trus pas take off, eh kowe ngerti take off ndak? Pesawatnya mau naek itu lo…mulutmu kudu mangap. Soalnya kalo nggak kupingmu bisa sakit. Kalo kamu mangap, sakitnya bisa kurang.
Me                   : Oh, OK (*sambil nyatet: take off =harus mangap) Trus airport HK gimana?
My bro             : Gampang kok, semua informasinya jelas. Kalo kowe kesasar, tanya aja ama orang yang pake seragam. Jangan tanya ke sembarang orang.
Siiiiipppppp dahhhh……Hong Kong, I’m ready!!

D day….check in, boarding..semua kujalani dengan lancar.
Masuk pesawat….waaaa…pesawatnya gedeeeee banget! Maklumlah, biasa naik bis antar kota dalam propinsi, hihihi.
Pas duduk, aku ambil seatbeltnya..aku pelajari bagaimana cara masangnya. Tapi setelah berkutat beberapa menit, aku nggak tahu cara pasangnya..akhirnya dengan pasrah kupanggil mbak pramugari. Kuminta dia yang masangin…duh malunya….
Bapak di sebelahku memandangiku dengan takjub. Pasti dalam pikirannya, “Kasian ya nonik satu ini. Orang tuanya mana sih??”

Now is take off time. Aku inget baek-baek pesen dari my brother. M A N G A P!! So begitu sang pilot bilang “Take off position,” aku membuka mulutku lebar-lebar.
Ngggiiiiinnnggggggg…….suara pesawat pas take off memang bikin nyeri telinga. Ouw, kurasakan juga tekanan udara menyakitkan telingaku. Hohoho…ternyata my bro is right. Mangap is the best solution!
Take off dah usai, aku pun menutup mulutku kembali. Saat menoleh, JLEBB….si bapak di sebelahku ternyata memandangiku dengan wajah heran. Kalo dibaca dari raut wajahnya sih, nampaknya dia ngeri melihatku. Maybe dia ngeri juga ngliatin jigong-jigong yang merajalela di gigiku…hiiiyyyy…
Bapak              : Mbak, mau ke Singapore ato ke HongKong?
Me                   : HongKong,Pak.
Bapak              : Kerja?
Me                   : He eh
Bapak              : Ati-ati ya Mbak, akhir-akhir ini banyak TKW kita yang disiksa di sono.
Alamakjrot!! Jiaaahhhhhh….jangan begitu dong Bapak! Saya nyetrika aja gak bisa, masak nasi apalagi…niy Bapak bener-bener melecehkan TKW. Masak TKW disamain ama diriku yang o’on begini??

Akhirnya dua jam penerbangan kulalui dengan selamat. Nyampe juga di Changi untuk transit. Sambil berlari-lari, aku mengejar pesawat yang akan membawaku ke HongKong. Untung aku dah biasa lari ngejar bis kota, jadi lari-lari di Changi no problemo lah…
2nd take off…again, aku mangap selebar-lebarnya. Pramugari nan cantik menghampiriku,”Would you like to have some candies?” tanyanya.
“Noooooo…..” jawabku ketus. Yang bener aja Neng, gimana mau makan permen sambil mangap? Yang ada ntar malah keselek dong. Sang pramugari pun berlalu dengan muka bingung. Akhir-akhir ini baru kumengerti, ternyata permen yang dibagikan itu berfungsi supaya mulut kita nggak mingkem. So, membantu kita saat take off, supaya kuping kita ndak sakit. Olala, alangkah ndesonya aku ini. Tau gitu, ngapain aku mangap???

Dinner time ^^
Pramugari        : Would you like to have coffee or tea?
Me                   : NO, thanks.
Pramugari        : Maybe you would like to have a glass of red wine? White wine?
Me                   : NO, thanks.
Pramugari        : (*mulai narik napas panjang) Mineral water?
Me                   : NOOOOO….thannnkkkksssss (*mulai sebel, niy orang kenapa keukeuh kayak pedagang asongan??)
Me                   : I bring my own mineral water…see (*sambil ngacungin Aqua botol)

Sekian menit kemudian, another pramugari datang,
Pramugari        : Here is your dinner. Enjoy, bon appetite…
Me                   : Hey, NOOO…I did not order any food!!
Pramugari        : This is your dinner Mam.
Me                   : (*diem, ngliatin dinnernya yang kayaknya enak) Hmm…how much should I pay for this?
Pramugari        : (*tampang nenek sihir) This is free Mam. This is facility from us.
Me                   : Oh, free? Do you mean I don’t need to pay at all? How about the red wine that she offered to me? (*sambil nunjuk pramugari satunya)
Pramugari        : It’s also free Mam.
Me                   : Hey Miss, I would like to have a glass of red wine, a glass of cofee, and a glass of orange juice please (*kemaruk)
Hari itu, aku mendapat pelajaran berharga dalam hidupku (*lebay mode on). Ternyata kalo naik pesawat, kita disuguhin makanan dan minuman gratis!!

Dua jam penerbangan Singapore-HK kulalui dengan selamat sentosa. Perut kenyang, nonton pilem, what a world.
Nyampe ke HongKong udah jam 21.00, langsung naek shuttle bus ke Royal Plaza Kowloon Hotel, en…grrroooookkkkkkkk….nguuiiikkkkkkkk….aku tewas dengan suksesnya di kamar hotel nan nyaman.
Ternyata, nggak susah kok naik pesawat. Apalagi cuma ke HongKong.
Dekeeettttt atuhhh….. 
 ***
Nah, nggak sulit kan menulis cerita lucu. Tulis saja apa adanya. Jika kamu tersenyum saat membacanya, maka pembacamu pasti tertawa :)

Happy Birthday, my son - a letter to Edgard

Hari ini, 11 tahun yang lalu Mama berjuang untuk melahirkanmu. Sudah nyaris 10 bulan kamu ada di kandungan, sehingga dokter terpaksa menginduksi Mama.
Jangan tanyakan, bagaimana rasanya diinduksi?
Mama yakin, kamu tak akan sanggup membayangkannya.

Induksi pun gagal. Mama terpaksa dioperasi. Mama tak punya uang, tapi syukurlah Papa punya tabungan. 9 juta. Pas, nggak kurang dan nggak lebih.
Kami tak masalah hidup tanpa uang sama sekali di kantong, asalkan bayi kami, yaitu kamu, lahir dengan selamat.
Tuhan Maha Baik, kamu lahir dengan selamat dan sehat.

Mama dan Papa membesarkanmu dengan sekuat mungkin, dengan segala keterbatasan kami.
Mungkin, kamu sering marah mendapatkan bentakan dan pukulan dari kami. Mungkin kamu pikir kami idak sayang. Kamu salah!

Kami sangat mencintaimu. Kami sungguh berharap besar padamu. Kamu anak lelaki, anak pertama. Betapa besar pengharapan kami padamu.
Kami memang tak bisa membelikanmu sepatu mahal, handphone canggih,dll. Kami tak bisa mengajakmu liburan ke Eopa, Jepang atau Korea.
Kami juga tak bisa memberimu uang saku ratusan ribu.
Kami bahkan tak bisa menjemputmu dengan mobil mewah ke sekolah, sehingga kamu bisa berbangga hati di depan teman2mu.

Tapi yakinlah, kami sudah memberikan yang terbaik untukmu.
Kami memberimu banyak pengetahuan dan skill, yang pasti kamu butuhkan kelak.
Klise ya? Bosan jika ortu selalu bilang begitu.

Tapi nanti, kamu akan tahu apa maksud kalimat Mama ini. Kelak, saat kamu jadi orangtua,

Happy birthday, my son.
Maaf, hari ini tak ada kue tart untukmu.
Tak ada mie panjang umur untukmu.
Bahkan tak ada ucapan selamat dan peluk cium untukmu.
Kamu mungkin akan mengenang ulang tahunmu ini sebagai the worst one.
But you know the reason, kan?

Mama menuliskan semua ini, agar kelak kamu bisa membacanya. Entah, setahun dua tahun lagi di saat kemampuanmu untuk mencerna tulisan semakin baik.

Tak ada cinta Mama yang lebih besar daripada cinta Mama padamu. You are number one.

Love,

Mama



Minggu, 12 Oktober 2014

Maafkan aku, Tuhan ... a letter to my boys Edgard and Gerald

Hari ini, aku potong rambut. Ya, aku paling nggak betah jika rambutku sudah menyentuh bahu. Risih banget rasanya. Jadi, kuputuskan sore ini untuk ke salon langgananku, Erick.

Naik motor, berbekal uang Rp50 ribu, aku pun potong rambut. Ternyata, ongkosnya masih belum naik. Tetep Rp20 ribu. Murah meriah :)

Setelah selesai, aku keluar dan kembali naik motor. Saat mau keluar parkiran, lajuku terhenti oleh sebuah gerobak yang melaju pelan.
Gerobak itu menghalangi motorku, sehingga mau tak mau aku menunggunya. Untung, suasana hati lagi adem jadi anteng saja nunggu gerobak lewat.

Aku memerhatikan si penarik gerobak. Seorang perempuan berusia 30 tahunan, dekil, kotor, baju seadanya, dan menggendong bayi berusia 10 bulanan yang tak kalah dekil dan kotor.
Aku bertambah kaget, ketika di belakang gerobak itu, ada dua anak lagi yang berjalan telanjang kaki.
Dua anak itu usianya di bawah Gerald. Asumsiku, mereka berusia 6 dan 4 tahunan.

Dadaku sesak. Ibu itu bukan pengemis. Ibu itu bekerja, menarik gerobak yang nampak berat (aku nggak tahu apa isinya, karena dikerudungi penutup). Tapi kupikir isinya barang bekas, karena ada kardus menyembul dari sisi gerobak.
Ingatanku melayang pada dua anakku, yang putih-putih dan bersih-bersih. Sungguh, anak-anak Ibu itu nggak bisa dibandingkan dengan anak-anakku.

Mereka dekil, kumuh, wajah kotor, dan ... ah, nggak sanggup aku meneruskan pandanganku.

Aku melajukan motorku, dan aku berpikir tentang banyaknya baju Gerald yang sudah kekecilan. Alangkah pas dan pantasnya jika kuberikan pada anak-anak Ibu tadi.
Tapi jika aku pulang, lalu memilah baju, dan kembali lagi ke jalan ini, apa Ibu tadi masih ada? Rumahku masih sekitar 3KM.

Akhirnya, aku memutar motorku. Saat itu, hatiku terasa nggak nyaman. Entah ya, aku sering melihat pengemis yang membawa bayi. Jujur saja, aku kasihan sama bayinya tapi tidak kasihan sama pengemisnya. Tapi melihat Ibu ini, ada rasa lain di dadaku. Rasa keibuan yang muncul tiba-tiba.

Ya Tuhan, aku ingin menangis setiap kali terbayang wajah ketiga anak tadi. Malam ini, apa yang mereka lakukan? Tidur di manakah mereka? Apa mereka bisa mandi? Bisa makan? Bisa sekolah?

Yang bisa kulakukan tadi, hanyalah memberi uang 20 ribu kembalian uang salon tadi. Masih ada 10 ribu di kantongku, aku pakai untuk jaga-jaga takut kalau ban kempes atau lainnya.

Aku tadi berulang kali bilang ke Ibu itu, "Ini buat anak-anak. Tolong belikan mereka jajanan,"
Aku tahu, 20 ribu tak bisa beli jajanan yang enak. Tapi at least aku ingin mereka sedikit merasakan keceriaan anak kecil yang bisa makan permen, dan minum susu kotak.

Tuhan, sepanjang perjalanan pulang air mataku merebak. Kau tahu apa isi hatiku, Tuhan.
Maafkan aku yang masih sering mengeluh padaMu.
Aku mengeluhkan hal-hal sepele, yang tentu tak sebanding dengan apa yang dialami Ibu itu.

Aku mengeluhkan ban motorku yang pecah, sehingga aku harus menuntun motorku.
Sedangkan Ibu itu? Tiap hari dia menarik gerobak. Dan kupikir itu jauh lebih berat dibandingkan motorku.

Aku mengeluhkan cuaca yang panas luar biasa, padahal aku hanya keluar rumah tak lebih dari 15 menit untuk menjemput anak-anakku.
Sedangkan Ibu itu? Berapa jam dia kepanasan tiap harinya?

Aku mengeluhkan beras yang kubeli ada gabahnya. Padahal, mungkin Ibu tadi harus berhari-hari untuk bisa membeli sekantung beras yang sama denganku.

Tuhan, maafkan aku telah menggangguMu dengan keluhan-keluhanku yang tiada artinya.
Meski hanya terucap spontan dari mulutku, tapi aku pikir Engkau kecewa melihat umatMu yang kurang pandai bersyukur.

Tuhan, aku yakin Engkau sayang pada semua umatMu. Sayangilah Ibu tadi, seperti Engkau juga menyayangi aku dan keluargaku.

Tadi, aku bercerita pada suami. Suamiku memberi saran yang kupikir cukup masuk akal.
Dia meminta aku untuk menaruh beberapa potong baju Gerald yang sudah kekecilan itu di motor. Jadi, begitu aku melihat anak-anak yang kiranya layak untuk diberi baju itu, maka aku nggak perlu bingung.

Anak-anakku, Edgard dan Gerald, ayo kita melihat sekeliling kita. Di sekitar kita nggak hanya ada orang-orang berAlphard atau berVW seperti mami-mami di sekolahmu itu.
Di sekitar kita, masih ada "mami" lain yang perlu kita kasihi.

Jangan menuntut, apalagi menuntut Tuhan untuk memberimu ini dan itu. Ambil cermin dan lihatlah dirimu sendiri. Apa yang sudah kamu lakukan untuk Tuhan?

Dan yang paling penting lagi, jangan mengeluh. Nikmati semua yang Tuhan sudah berikan pada kita.
Tuhan itu Maha Kaya, Maha Mengetahui, Maha Adil, dan Maha segalanya.
Dia tak mungkin keliru dalam memperlakukan kita.

Come on, boys. Let's hand in hand with me and daddy. We face our world together, and always be thankful for everything.

Sidoarjo, 12 October 2014