Selasa, 27 September 2016

Mario Teguh dan Aa Gatot Dalam Diri Kita

Menulis adalah, sarana untuk belajar ...
Menulis adalah, sarana untuk memperbaiki diri sendiri ...
Menulis adalah, meninggalkan jejak pemikiran untuk anak-anakku ...

Beberapa saat yang lalu, kita semua dihebohkan dengan kasus Mario Teguh vs Kiswinar.
Kaget? Pasti ...
Saya yang bukan follower Mario Teguh aja, jadi ikut-ikutan nyari berita tentang hal itu.
Berulang kali saya bilang "wow, he? kok bisa? kok gitu sih? ya ampun!" dst.
Saya juga membahas masalah ini dengan suami. Tak lupa dengan bumbu-bumbu yang memberatkan Mario Teguh.
Biasalah, naluri cewek kan membela istri pertama haha.

Sebelum itu, ada kasus Aa Gatot.
Kasus yang bener-bener membuat saya geleng-geleng dan membatin, "kok ada ya orang kayak gini?"
Saya pun jadi rajin mengikuti berita Aa Gatot ini (sebenernya ya gak rajin-rajin amat sih, cuma kalo pas ada infotainment mbahas ini, saya gedein volumenya haha).

Meski saya nggak setuju dan nggak suka dengan apa yang terjadi pada  Aa dan Mario, saya menahan diri untuk tidak berkomentar atau memposting status tentang hal ini. Apalagi sampai menjelek-jelekkan dan mengeluarkan opini pribadi saya tentang mereka.

Kenapa?
Karena saya tidak tahu persis apa yang terjadi. Media adalah media. Every bad news is a good news. Kita hanya dijejali hal-hal buruk saja, sehingga mengaburkan berita baik.
Sebagai orang yang tidak tahu persis masalahnya, saya menahan diri untuk berkomentar secara berlebihan.

Saya lalu membayangkan jika hal ini terjadi pada diri saya.
Dibully habis-habisan di dunia maya maupun nyata, dituduh begini begitu ... sedangkan hal itu belum tentu benar.
"Ah nggak mungkin lah, kan Mbak Dian bukan orang terkenal?"
Iyaaa, tapi bisa saja kan bully itu terjadi di lingkungan, RT, misalnya.

"Ah, masa Mbak Dian punya rahasia buruk seperti itu?"
Let me tell you.
Yang namanya gosip, nggak harus realita. Kadang, orang mengada-adakan gosip.

Kadang juga, hanya satu embusan saja dari satu orang yang tak suka padamu, bisa jadi viral.
Dan kita semua ini, adalah MANUSIA.
Manusia, tempatnya salah dan dosa.

Coba hitung, betapa banyaknya salah dan dosamu sebagai manusia?
Apakah kamu mau orang menelanjangi salah dan dosamu (meski itu terbukti benar) secara besar-besaran?

Contoh kasus:
Ada Ibu X dimintai sumbangan. Si Ibu menolak. Lalu, terjadilah viral di kalangan ibu-ibu.
"Amit-amit deh, Ibu X kaya, tapi pelit setengah mati. Dimintain sumbangan aja nolak!"
Kita yang mendengar gosip itu pun, jadi ikut-ikutan menilai.
"Iyaaa pelit banget! Ini fakta lho, bukan gosip. Dia dimintain sumbangan dan MENOLAK!"

Padahal, kita nggak tahu apa yang terjadi pada Ibu X.
Kita hanya melihat fakta bahwa dia menolak memberi sumbangan.
Lalu kita menjudge dia dengan kata "pelit" yang celakanya, jadi viral.

Benarkah Ibu X pelit?
Bisa jadi benar ... namun bisa jadi salah.
Mungkin dia sedang kesulitan ekonomi saat itu, sehingga menolak.
Mungkin dia sudah mengeluarkan jatah derma ke pihak lain, sehingga menolak yang ini.
There are thousands reasons yang kita tidak tahu.
Dan kita hanya bisa bilang "Ih, PELIT!"

Jadi, sebenarnya saya mau ngoceh apa sih?

Saya cuma mau bilang, tiap diri kita itu memiliki aib. Mungkin tidak sebesar aib Mario Teguh dan Aa Gatot.
Tapi aib tetaplah aib.
Kita tak ingin orang lain tahu.
Ada kalimat bijak, "Kita tampak mulia, karena Allah sedang menutupi aib-aib kita,"
Ya, saya setuju.
Dalam diri kita, ada Mario Teguh dan Aa Gatot, meski dalam berbagai versi dan berbagai ukuran.
Allah sayang pada kita, sehingga menutupinya.

Jadi, nggak boleh nonton infotainment dong?
Kalo saya sih, nonton aja hihihihi. Hiburan.
Namun, saya tak mau terpancing dengan membenci dan menghakimi. Hanya sekadar tau aja. Kalau bisa, dijadikan pelajaran bagi saya pribadi.

Begitu ...

Jangan lupa beli buku saya ya ...  *iklan lewat*





Selasa, 06 September 2016

Menahan Diri di Era Internet

Saya amat suka serial komedi "How I Met Your Mother".
Tiap pagi, pasti saya nongkrong di depan TV untuk menyaksikan dua seri yang diputar di Star World itu.
Well, sebenarnya saya udah tahu endingnya (nonton online hihihi karena penasaran ih). Namun, saya tetap menikmati seri per seri.

Menurut saya, tokoh-tokoh di film ini sungguh kuat. Namun, kali ini saya bukan hendak membahas hal itu.

Saya cuma mau cerita, kalau tadi pagi, ceritanya tuh si Ted Mosby mau kencan. Dan, dengan hebohnya, para sahabat Ted mencari informasi teman kencan itu, lewat internet.
Hal itu selalu mereka lakukan jika ada salah satu di antara mereka yang baru mulai berkencan.
Hasil temuan mereka dari internet, ternyata macam-macam.
Ada yang ternyata istri napi (yang masih dibui).
Ada yang pernah ditangkap sebagai pengedar narkoba.
Ada yang (dulunya) cowok, sekarang jadi cewek --> ini sih khayalan si Ted.
Ada juga yang ternyata cihuy hebring sehebring-hebringnya.

Cerita ini, membuat saya berpikir. Ternyata, memang benar ya orang mencari informasi tentang diri kita sampai dengan cara seperti itu.
Apalagi di jaman internet ini, apa yang kita tulis, kita ungkapkan, bisa dibaca berjuta-juta orang.

Saya lalu teringat cerita seorang teman yang bekerja sebagai HRD.
Ternyata, beberapa HRD pun melakukan background checking di internet. Tentu, selain rangkaian tes yang mereka lakukan untuk memastikan capability si calon karyawan.
Ada juga ibu-ibu yang menyelidiki calon mantunya dari internet.
Stalking habis-habisan :))

Ternyata, memang benar sudah sampai segitunya.
Saya jadi bersyukur, saya tidak perlu diselidiki oleh HRD manapun, wong saya kerja di rumah.
Saya juga nggak perlu diselidiki oleh camer manapun, wong saya udah punya suami.

Pelajaran yang bisa saya tarik dari hal ini adalah, menjaga perilaku di dunia maya.
Apakah itu artinya jaim?
Suka-suka dong, kan saya posting di akun saya sendiri. Di dinding saya sendiri. Situ kok rempong?

Hmm ... saya lalu teringat dengan ajaran guru PMP (yaelah ... PMP, apa pula itu??) bahwa kita memang mahluk bebas. Namun, kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Betul, kita memang boleh suka-suka tulis apapun di dinding rumah kita.
Tapi mosok ya kita mau menulis dinding rumah kita dengan kata-kata tak pantas? Bisa-bisa, tetangga ngeri dan enggan kenal dengan kita.

Kalau mau nyampah, kan bisa coret-coret dinding kamar tidur :)
Di sana yang bisa lihat hanya kita dan keluarga kita. Bukan orang umum.
So, itulah gunanya setttingan "public", or "friends only" atau malah diprivate.

Ih, jaim banget. Munafik!
Bukan ... bukan jaim. Apalagi munafik.
Kalau munafik itu, kita berpura-pura lucu, padahal tidak lucu. Berpura-pura baik, padahal tidak baik. Berpura-pura ramah, padahal tidak ramah.
Capek bin lelah, Bro and Sist ... kalau kita berjaim ria dan bermunafik ria.

Menurut saya, sebaiknya sih kita menyimpan yang jelek dan negatif untuk diri kita sendiri. Orang lain nggak perlu tahu. Menahan diri.
Sebarkan saja yang positif dari diri kita. Semua manusia pasti punya sisi positif, kan?

Ibaratnya saya suka ngupil, masa sih saya kudu ngupil di arisan RT?
Tentu tidak.
Apa itu artinya saya harus berhenti ngupil selama-lamanya?
Tentu tidak.
Ngupil secara private dong ... di kamar mandi xixixi.

Udah. gitu aja.

Buah mengkudu buah cempedak.
Boleh setuju boleh juga tidak.
Kalau Papa, suka buah duku
Jangan lupa, beli buku-bukuku