Kamis, 22 Desember 2016

Kiko and His Green House

Kiko and His Green House

By : Dian Kristiani 

 

Kiko the Rabbit, wants to paint his house. 
He looks at the color chart, and thinks what is the most beautiful color to be applied.
After minutes choosing, Kiko picks green color.
"What a lovely color. I think my house will look fresh and clean," he thinks.

Kiko paints his house with smile in his face.
"What a lovely house I have!"
He keeps painting, and painting, until everything is done.

Suddenly, Bubi the Buffalo, comes.
"Seriously? GREEN? Do you know that green is a terrible color? It can hurt our eyes. I will never never never use green to color my house. Hahaha, you are dumb. Do you think your house now is beautiful? It's a pity if you think that,"

Kiko stares at Bubi. He doesn't understand why Bubi says mean words like that.
"Is your life good, Bubi? Are you happy? Are you OK? Because, a happy person will never never never say mean words,"

Bubi screams.
"OF COURSE I AM HAPPY!"
"So, why you complain about my house's color? This is my house. I will do anything that I thinks good for me," Kiko replies.

Bubi shakes his head.
"But everyday I passes here. And I can't stand seeing an ugly house like this,"

Now, Kiko is really angry.
"I don't do anything wrong with my house. I don't hurt you with my house. I never complain about you, and your house. I like green. What's wrong with that? It's up to me to paint our house with any color that I like. AS LONG AS I DON'T HURT OTHERS!"

Bubi cynically laughs.
"Ah, it's hard to talk to dumb person like you. I only tell you the truth. Green is bad, really really bad,"

Then, Bubi leaves Kiko.
Bubi never talks to Kiko anymore.
Until now, Kiko still doesn't understand why Bubi act like this.
Maybe, Bubi is not happy with his own life.
Maybe ...

Senin, 19 Desember 2016

Fitnah ... Belajar dari Ibas Yudhoyono

Dari dulu, saya nggak suka sama Ibas Yudhoyono.
Tau Ibas, kan? Putra kedua dari mantan presiden kita, Bapak SBY.

Ssst, jangan mikir politik ya. I am too dumb to think about that. IQ saya terlalu tiarap untuk mikirin masalah politik.
Yang nggak saya sukai dari dia itu, PENAMPILANNYA!

Sejak awal kenal dia (cieeh, kenal ... padahal liat koran doang), saya mbatin. Ini anak presiden, horang kaya, kok penampilannya culun bener ya?
Rambutnya teplek lepek.
Bajunya tangan panjang, dan selalu dikancingkan sampai ke leher.
Wes ... not my type bener. (Duile Mak, emangnya mau naksir doi? Inget umur ...)

Bandingkan dong dengan Agus, kakaknya. Agus mah keren. Ya iyalah, pake seragam gitu lho!
Dalam hati saya membatin, kenapa ya? Kenapa harus lengan panjang? Kenapa harus dikancingin sampe ke leher? Kenapa nggak pake baju kece ala boyband? Kenapa rambutnya nggak dijabrik atau dijambul ala kekinian?

Lalu ... bisik-bisik tetangga pun dimulai.
Saya mendengar gosip, bahwa Ibas selalu tampil berlengan panjang, karena ada sesuatu di tubuhnya.
Bahkan, konon dia di kolam renang aja pake baju diving yang serba panjang.
Apa itu yang ada di tubuhnya?
Ssst ... katanya TATO!

Hoaaa, pantesan aja ya dia selalu menutupi tubuhnya.
Mulut saya pun mulai mencong kanan dan mencong ke kiri. Sibuk merumpi ke suami, ih anak presiden, anak tentara, muslim, kok tatonya penuh sebody?

Di antara lambaian bibir saya ke kanan kiri depan belakang mencong barat mencong timur, suami saya bilang.
"Jangan memfitnah orang!"

Saya ngeles dong, kayak bajaj di pengkolan.
"Ih, katanya memang gitu kok. Kata orang-orang lho, memang dia begitu. Kalo nggak, ngapain dia krukupan terus?"

Suami saya ketawa, "Orang tuh ya, kalau udah nggak suka sama seseorang, nyariiii aja aibnya. Parahnya lagi, sampai rela bikin fitnah. Hiiiy,"

Lalu, suami saya meminta saya buka google.
"Wes apapun deh, mau ke IG kek, mau ke mana kek, cari saja gambar Ibas Yudhoyono," perintah suami saya.
Saya pun capcus ke IG.

Oh la la ... ternyata di IG adaaaaaa foto2 Ibas pake celana pendek, pake T-Shirt lengan pendek, lagi nge-gym ama istrinya yang cantik, pake sepatu Nike yang keren, daaaan rambutnya kagak tepleeeek!

Hahahaha, duh dosa bener ya saya. Maafkan saya ya Mas Ibas sudah memfitnahmu meski pada suami sendiri.
BTW, lengan Mas Ibas mulus. Putih. Kagak ada tuh tato-tatoan. Tompel aja kagak ada.

Seriously, he looks gorgeous!
Mungkin perlu digemukin dikit, karena doi terlalu kurus. Tapi overall, dia ganteng juga. Kagak kalah sama Mas Agus.

Lalu, pertanyaan saya berlanjut ke suami.
"Kalo gitu, kenapa dia pake lengan panjang melulu ya? Dan dikancingin rapat-rapat? Trus rambutnya lepek?"

Ini jawaban suami.
"Itu masalah selera. Seleranya dia gitu, kok kamu yang ribut. Masih ingat kan 'de gustibus non est disputandum'. Masalah selera, masalah rasa, tidak bisa diperdebatkan,"

Ouw ... bener juga ya. Masalah selera. Kayak saya, kenapa saya suka pake baju warna gelap dibanding warna cerah. Kenapa saya lebih suka sepatu tali daripada sepatu tertutup. And so on.

Satu pelajaran yang bisa saya garis bawahi kali ini.
Jangan memfitnah!
Kamu boleh nggak suka sama seseorang, tapi JANGAN MEMFITNAH!


OK?



Makasih buat Mas Ibas, dan saya masih berharap suatu saat kamu tampil dengan gaya anak muda yang stylish bin keren :)

*disclaimer:
Ini bukan postingan politik, bukan postingan memuji keluarga Cikeas. Bukaaan. Saya cuma empet aja dengan cara-cara orang sekarang yang suka main fitnah dan hoax, padahal kebenarannya tidak seperti itu.
Mari, berpikir cerdas. Kita ini manusia, bukan monyet. Manusia punya akal budi, bukan napsu belaka.




Minggu, 04 Desember 2016

Berapa sih penghasilan penulis buku anak?

Saya sering ditanya, bisakah saya hidup HANYA dari menulis buku anak?
Maksudnya tentu, tanpa gaji suami.
Jawab saya : AMAT BISA.
Untuk hidup satu keluarga, juga AMAT BISA.

Saya juga sering diminta memberi motivasi pada ibu-ibu yang ingin menulis buku anak.
Berapa sih penghasilan seorang penulis buku anak?
Maksudnya, supaya ibu-ibu itu tergerak untuk ikut menulis.
Indonesia ini darurat buku anak yang bagus. Kita butuh banyak sekali buku anak yang bagus, untuk memberi fondasi sikap, sopan santun, keimanan, dll pada anak.

Nggak bisa dipungkiri, kan? Kalau kita bicara masalah uang, maka mata pun bersinar-sinar.
Banyak yang terperangah "wow".
Banyak yang nggak percaya. Ternyata, kita bisa kok hidup dengan profesi sebagai penulis buku anak.

Tahun 2010 saya berhenti dari pekerjaan. Lebih tepatnya, diberhentikan karena kantor Surabaya ditutup.
Jabatan terakhir saya adalah Senior Merchandiser.
Gaji saya saat itu, jauh di atas UMR, meski UMR 2017 sekalipun.

Waktu itu, saya galau. Tawaran pekerjaan lain ada, dengan gaji yang lebih banyak. Wajar sih, udah senior kan? (baca: udah tua).
Namun, saya sadar bahwa sulung saya mau masuk SD.
Saya ingin, mengawasi semua perkembangannya.
Apa saja PR nya? Apa tugasnya? Ulangan apa? Dll dll.
Saya ingin mengantar, dan menjemputnya tiap hari. Saya ingin ada di sisinya, ketika dia pulang dan makan siang bersama saya.
Sudah cukup rasanya, 6 tahun dia makan siang bareng Mbak Warni, mantan ART saya.

Jika tidak bekerja, bagaimana dengan keuangan kami? Sudah pasti tidak cukup.
Namun, saya punya keyakinan. Dalam satu atau dua tahun, saya bisa mendapat uang lagi.
Saat itu, saya sudah mendapatkan royalti.
Mau tahu berapa jumlah royalti saya?
Sekitar dua juta rupiah. Per semester.
Dikit, ya? Coba dibagi enam bulan. Berarti, sebulannya sekitar 350 ribu rupiah.
Duit segitu, dibandingin gaji saya, apa artinya?

Tapi saya pantang menyerah.
Saya bilang ke suami : saya tidak mau bekerja lagi, titik.
Suami mempersilakan, dan kami berdua mulai berhitung cermat.
Kami harus melakukan penghematan besar-besaran.
Kami bahkan membuat tabel lauk pauk yang bisa dimasak dengan uang 10 ribu per hari.

Saya terus menulis.
Saya nggak pernah berhenti menulis.
Menulis, kirim, menulis, kirim.
Saya juga mengirim ke majalah. Honornya amat membantu untuk hidup sehari-hari. Lumayan banget.
Dan, dua tahun kemudian, saya sudah memanen hasil.
Royalti saya, sekitar 18-20 juta per semester.  Berarti, per bulan saya sudah mendapatkan tiga juta lebih.
Itu sudah sepersekian gaji saya dulu. Masih jauh, tapi sudah menunjukkan titik cerah.

Terus dan terus menulis.
Saya tipe orang yang fokus. Saya tidak terpengaruh dengan si A si B yang menulis genre ini, itu, dan sukses.
Saya yakin, dunia saya ada di sini. Meski sempat juga belajar nulis genre lain, tapi itu lebih sebagai pengayaan diri. Bukan untuk banting setir dan ikut-ikutan.

Jadi, saya tekankan sekali lagi.
Jika dirimu fokus, maka mengandalkan nafkah dari menulis bacaan anak sangatlah bisa.
Percayalah.
Berapa royalti saya sekarang?
Tak elok jika disebut, hehe.
Yang pasti, sudah jauh meninggalkan angka gaji saya yang dulu. Jauh sekali, hingga kamu harus naik gojek atau grab untuk mengejarnya.

Enak, kan?
Tentu terlihat enak.
Namun, di balik segala kenikmatan, tentu ada perjuangan.

Saya hanya bisa meyakinkan kalian kalian yang ingin menulis buku anak.
Jika memang itu passionmu, mulailah segera.
Tapi jangan hanya ikut-ikutan.
Karena kalau ikut-ikutan, yang ada hanya nulis sekali, terus bete karena nggak kunjung terbit.

Yuk, mulai menulis.
Indonesia butuh banyak bacaan anak yang bagus dan berkualitas.

Salam,

Dian Kristiani
Penulis buku anak
Mommy of two fabulous boys

IKLAN






Judul     : Kumpulan Dongeng Binatang Terpopuler Sepanjang Masa
Hal       : 86 hal full color
Isi  : 20 dongeng binatang
Harga   : Rp. 59,500
Penerbit: CIKAL AKSARA
Dilengkapi dengan fakta unik tiap binatang 





Senin, 31 Oktober 2016

Happy or Not Happy, it depends on YOU!

Pagi ini, pukul 06.30, handphone saya menjerit-jerit.
Buset dah, padahal sedang siap-siap naik peraduan lagi. Siapa nih yang telpon?
Ternyata, Edgard,

"MAMA! LKS PKN Edgard ketinggalan! Kalau nggak bawa, kena denda 20 ribu! Mama tolong anterin ya? Warnanya putih, ada gambar bendera merah putihnya!"

Wedew ...

Setahun atau dua tahun yang lalu, mungkin saya akan marah besar mendapat telpon seperti ini. Dan, pasti saya akan bilang:
"NO WAY. Salahmu sendiri. Bayar aja dong 20 ribu pakai uangmu, kan masih ada angpo ulangtahun kemaren?Makanya, jadi anak itu yang bertanggungjawab. Jangan grusa-grusu. Siapkan semuanya sejak malam. Kalau gini kan nyusahin ortu bla bla bla bla,"

Tapi, saya sudah menjadi Mama yang lebih sabar *cieeh, kecuali pas PMS sih*
Saya menjawab dengan biasa-biasa saja.
"Iya Nak, Mama cari dulu. Sebentar lagi Mama anterin,"

Saya pun mencari LKS PKN di tengah rak bukunya yang naudzubillah acak adul. Ketemu.
Dengan tenang, saya panasi motor, dan meluncur ke SMP.

Sampai di sana, Edgard sudah menyambut saya. Wajahnya nampak pucat, kayak cemas dan takut. Mungkin takut kalo saya marah.
Dia buru-buru cium tangan, mengambil LKS, dan pamit balik ke kelas.
Saya pun, hanya mengelus kepalanya, dan bilang "Yang baik di sekolah ya, Nak,"

Selesai.
Tanpa pertikaian.
Tanpa emosi jiwa.
Saya mampir beli susu kedelai dua botol, buat Gerald dan saya.
Happy, mimik susu kedele pagi-pagi :D
Pulangnya mampir pasar, dapat cumi-cumi dan udang.

Coba bayangkan, jika tadi saya menolak permintaan Edgard, dan bahkan marah-marah di telepon?
Tentu, Edgard akan membantah, dan memaksa.
Tentu, saya tambah marah.
Tentu, nanti sore pas njemput, pertengkaran akan berlanjut.
Tentu, nanti saya lapor Papa, dan si Papa akan ceramah muter-muter.
Si anak jadi sebel.
Ortu pun sebel.
Satu rumah cemberut semua.
Nggak enak, kan?

Nah, dengan bersikap sabar dan menuruti permintaannya, apakah artinya saya memanjakan anak?
Apakah artinya saya tidak mengajarinya bertanggungjawab?
Saya pikir nggak tuh. Kan udah keliatan dari raut mukanya tadi. Dia udah jelas-jelas ngerasa bersalah. Mengapa harus mengungkit-ungkit lagi kesalahan yang dia sudah tau?
Nanti sore, baru akan saya beritahu ke dia, bahwa cukup sekali ini saja Mama menolong. Lain kali, jangan ya. Selesai.

Trust me, menjadi seorang ibu itu nggak ada sekolahnya. Tiap hari kudu belajar.
Saya belajar dari ibu-ibu lain, yang punya anak seusia anak saya. Bukan dari teori parenting ini dan itu.
Dari pengalaman banyak orang, saya mengambil mana yang cocok dan bisa saya pahami.

Suatu sore, di tempat les Inggris, ada dialog antara ibu A dan ibu B.

Ibu A : Anakku marah, tadi harusnya latihan basket jam 3 sore. Dia ketiduran, dan nggak aku bangunin. Biarin, udah gede kok masih nggak bisa ngatur diri sendiri. Harusnya kan dia pasang alarm, masa ngandalin Mamahnya untuk ngurusi semuanya?
Ibu B : Lho ya gapapa tho. Kan tugasnya orangtua memang ngingetin anaknya.
Ibu A : Enak aja! Udah gede ya harus bisa ngurus diri sendiri.
Ibu B : Trus, nggak jadi latihan basket?
Ibu A : Ya enggak. Padahal ada seleksi untuk kejuaraan. Dia kecewa sih, manyun aja seharian.
Ibu B : Hmm ... kalau saya sih, pasti saya bangunin. Nak, ayo bangun. Katanya mau latihan basket? Katanya ada seleksi? Yaaah, itu menurut saya sih.

Dari hasil nguping pembicaraan itu, saya pikir, ibu B ada benarnya.
Why bring so much pains to our kids?
If we can make it easy, why we make itu difficult?

Urip ki cuma sepisan. Ojo digawe buthek.
Nek ono dalan sing bening, yo pilih sing bening wae.

Begitulah ... itu kalau saya.
Saya, seorang ibu yang ingin terus memperbaiki diri, agar menjadi ibu keren nan cool yang dicintai anak-anaknya. Bukan ditakuti ^^

Terakhir, tak ada kesan tanpa kehadiran iklan.

Udah pada punya buku ini untuk para remaja hebatnya belum?
Harganya cuma Rp. 39,000
Beli ya, murah dan insya Allah bermanfaat bagi remaja-remaja kita yang sedang mencari jati diri ^^















Kamis, 06 Oktober 2016

Anak Pertama, Anak yang Digadang-gadang ^^

Anak pertama, adalah anak penuh harapan.
Segala harapan, doa, juga kecemasan, tertumpah padanya.
Bagaimana tidak? Dia yang akan jadi pemimpin adik-adiknya.
Dia yang akan menggantikan orangtuanya kelak.
Dia harus bisa jadi tempat adik-adiknya bersandar.
Dia harus bla bla bla ... ah banyak banget pokoknya.

Tak heran, banyak orangtua yang keras pada anak pertamanya.
Termasuk saya.
Pada sulung saya, saya selalu menekankan fungsi dia jika kelak kami ortunya tiada.
"Kamu harus bisa melindungi adikmu,"
"Sampai kapan pun, kamu adalah kakak,"
Dan sederet nasihat lainnya.

Saya beruntung. Saya punya role model yang tepat untuk tipe anak pertama yang saya maui. Jadi, saya tinggal nunjuk aja.
Gak usah jauh-jauh.
Kakak pertama saya sendiri ^^
"Edgard, tiru tuh Om Jubing. Dia kan anak pertama, dia bisa bla bla bla,"
Hoho, I am lucky. That's so easy!

Kakak saya itu, laki-laki.  Sama dengan sulung saya yang juga laki-laki.
Kami, lima adiknya, merasa dia adalah orang yang tepat untuk dimintai nasihat (juga duit saat kami masih kuliah dulu haha).
Dia, begitu pandai.
Bukan ... bukan pandai kayak Einstein. Tapi, dia punya jawaban atas sebagian besar pertanyaan kami.
Kala kami ada masalah, dia orang yang tepat untuk kami minta pendapatnya.
Dan biasanya, ces pleng.
Dia juga melindungi adik-adiknya. Dia sering bertanya, apa kami baik-baik saja, apa kami sehat-sehat saja.
Dia juga tidak pelit, padahal dia bukan orang kaya yang rumahnya segede lapangan bola dengan mobil berderet di garasi.

Saya beruntung, punya kakak pertama yang layak dijadikan role model.

Namun, tak sedikit juga anak pertama yang tidak ideal. Contohnya, seperti di cerita-cerita rakyat.
Anak sulung, kok jahat banget.
Mungkin, maksud si pembawa cerita, dia berharap agar anak sulung tidak meniru karakter dalam cerita tersebut. Psikologi terbalik. Keren ya, orang jaman dulu udah paham psikologi terbalik.

Contohnya, di cerita Semangka Emas (100 Cerita Rakyat Nusantara, oleh Dian Kristiani) --> iklan



Bagaimana di keluargamu?
Apakah anak pertama dalam keluargamu begitu mengayomi, atau seperti Muzakir yang rakus harta?

Buat yang punya anak, bantu anak-anak kita dengan doa. Agar si sulung bisa tumbuh jadi pribadi yang dihormati adik-adiknya, dan agar para adik tumbuh menjadi pribadi yang tidak menyusahkan. Saling rukun, sampai surgaNya.  Aamiin. 

Selasa, 27 September 2016

Mario Teguh dan Aa Gatot Dalam Diri Kita

Menulis adalah, sarana untuk belajar ...
Menulis adalah, sarana untuk memperbaiki diri sendiri ...
Menulis adalah, meninggalkan jejak pemikiran untuk anak-anakku ...

Beberapa saat yang lalu, kita semua dihebohkan dengan kasus Mario Teguh vs Kiswinar.
Kaget? Pasti ...
Saya yang bukan follower Mario Teguh aja, jadi ikut-ikutan nyari berita tentang hal itu.
Berulang kali saya bilang "wow, he? kok bisa? kok gitu sih? ya ampun!" dst.
Saya juga membahas masalah ini dengan suami. Tak lupa dengan bumbu-bumbu yang memberatkan Mario Teguh.
Biasalah, naluri cewek kan membela istri pertama haha.

Sebelum itu, ada kasus Aa Gatot.
Kasus yang bener-bener membuat saya geleng-geleng dan membatin, "kok ada ya orang kayak gini?"
Saya pun jadi rajin mengikuti berita Aa Gatot ini (sebenernya ya gak rajin-rajin amat sih, cuma kalo pas ada infotainment mbahas ini, saya gedein volumenya haha).

Meski saya nggak setuju dan nggak suka dengan apa yang terjadi pada  Aa dan Mario, saya menahan diri untuk tidak berkomentar atau memposting status tentang hal ini. Apalagi sampai menjelek-jelekkan dan mengeluarkan opini pribadi saya tentang mereka.

Kenapa?
Karena saya tidak tahu persis apa yang terjadi. Media adalah media. Every bad news is a good news. Kita hanya dijejali hal-hal buruk saja, sehingga mengaburkan berita baik.
Sebagai orang yang tidak tahu persis masalahnya, saya menahan diri untuk berkomentar secara berlebihan.

Saya lalu membayangkan jika hal ini terjadi pada diri saya.
Dibully habis-habisan di dunia maya maupun nyata, dituduh begini begitu ... sedangkan hal itu belum tentu benar.
"Ah nggak mungkin lah, kan Mbak Dian bukan orang terkenal?"
Iyaaa, tapi bisa saja kan bully itu terjadi di lingkungan, RT, misalnya.

"Ah, masa Mbak Dian punya rahasia buruk seperti itu?"
Let me tell you.
Yang namanya gosip, nggak harus realita. Kadang, orang mengada-adakan gosip.

Kadang juga, hanya satu embusan saja dari satu orang yang tak suka padamu, bisa jadi viral.
Dan kita semua ini, adalah MANUSIA.
Manusia, tempatnya salah dan dosa.

Coba hitung, betapa banyaknya salah dan dosamu sebagai manusia?
Apakah kamu mau orang menelanjangi salah dan dosamu (meski itu terbukti benar) secara besar-besaran?

Contoh kasus:
Ada Ibu X dimintai sumbangan. Si Ibu menolak. Lalu, terjadilah viral di kalangan ibu-ibu.
"Amit-amit deh, Ibu X kaya, tapi pelit setengah mati. Dimintain sumbangan aja nolak!"
Kita yang mendengar gosip itu pun, jadi ikut-ikutan menilai.
"Iyaaa pelit banget! Ini fakta lho, bukan gosip. Dia dimintain sumbangan dan MENOLAK!"

Padahal, kita nggak tahu apa yang terjadi pada Ibu X.
Kita hanya melihat fakta bahwa dia menolak memberi sumbangan.
Lalu kita menjudge dia dengan kata "pelit" yang celakanya, jadi viral.

Benarkah Ibu X pelit?
Bisa jadi benar ... namun bisa jadi salah.
Mungkin dia sedang kesulitan ekonomi saat itu, sehingga menolak.
Mungkin dia sudah mengeluarkan jatah derma ke pihak lain, sehingga menolak yang ini.
There are thousands reasons yang kita tidak tahu.
Dan kita hanya bisa bilang "Ih, PELIT!"

Jadi, sebenarnya saya mau ngoceh apa sih?

Saya cuma mau bilang, tiap diri kita itu memiliki aib. Mungkin tidak sebesar aib Mario Teguh dan Aa Gatot.
Tapi aib tetaplah aib.
Kita tak ingin orang lain tahu.
Ada kalimat bijak, "Kita tampak mulia, karena Allah sedang menutupi aib-aib kita,"
Ya, saya setuju.
Dalam diri kita, ada Mario Teguh dan Aa Gatot, meski dalam berbagai versi dan berbagai ukuran.
Allah sayang pada kita, sehingga menutupinya.

Jadi, nggak boleh nonton infotainment dong?
Kalo saya sih, nonton aja hihihihi. Hiburan.
Namun, saya tak mau terpancing dengan membenci dan menghakimi. Hanya sekadar tau aja. Kalau bisa, dijadikan pelajaran bagi saya pribadi.

Begitu ...

Jangan lupa beli buku saya ya ...  *iklan lewat*





Selasa, 06 September 2016

Menahan Diri di Era Internet

Saya amat suka serial komedi "How I Met Your Mother".
Tiap pagi, pasti saya nongkrong di depan TV untuk menyaksikan dua seri yang diputar di Star World itu.
Well, sebenarnya saya udah tahu endingnya (nonton online hihihi karena penasaran ih). Namun, saya tetap menikmati seri per seri.

Menurut saya, tokoh-tokoh di film ini sungguh kuat. Namun, kali ini saya bukan hendak membahas hal itu.

Saya cuma mau cerita, kalau tadi pagi, ceritanya tuh si Ted Mosby mau kencan. Dan, dengan hebohnya, para sahabat Ted mencari informasi teman kencan itu, lewat internet.
Hal itu selalu mereka lakukan jika ada salah satu di antara mereka yang baru mulai berkencan.
Hasil temuan mereka dari internet, ternyata macam-macam.
Ada yang ternyata istri napi (yang masih dibui).
Ada yang pernah ditangkap sebagai pengedar narkoba.
Ada yang (dulunya) cowok, sekarang jadi cewek --> ini sih khayalan si Ted.
Ada juga yang ternyata cihuy hebring sehebring-hebringnya.

Cerita ini, membuat saya berpikir. Ternyata, memang benar ya orang mencari informasi tentang diri kita sampai dengan cara seperti itu.
Apalagi di jaman internet ini, apa yang kita tulis, kita ungkapkan, bisa dibaca berjuta-juta orang.

Saya lalu teringat cerita seorang teman yang bekerja sebagai HRD.
Ternyata, beberapa HRD pun melakukan background checking di internet. Tentu, selain rangkaian tes yang mereka lakukan untuk memastikan capability si calon karyawan.
Ada juga ibu-ibu yang menyelidiki calon mantunya dari internet.
Stalking habis-habisan :))

Ternyata, memang benar sudah sampai segitunya.
Saya jadi bersyukur, saya tidak perlu diselidiki oleh HRD manapun, wong saya kerja di rumah.
Saya juga nggak perlu diselidiki oleh camer manapun, wong saya udah punya suami.

Pelajaran yang bisa saya tarik dari hal ini adalah, menjaga perilaku di dunia maya.
Apakah itu artinya jaim?
Suka-suka dong, kan saya posting di akun saya sendiri. Di dinding saya sendiri. Situ kok rempong?

Hmm ... saya lalu teringat dengan ajaran guru PMP (yaelah ... PMP, apa pula itu??) bahwa kita memang mahluk bebas. Namun, kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Betul, kita memang boleh suka-suka tulis apapun di dinding rumah kita.
Tapi mosok ya kita mau menulis dinding rumah kita dengan kata-kata tak pantas? Bisa-bisa, tetangga ngeri dan enggan kenal dengan kita.

Kalau mau nyampah, kan bisa coret-coret dinding kamar tidur :)
Di sana yang bisa lihat hanya kita dan keluarga kita. Bukan orang umum.
So, itulah gunanya setttingan "public", or "friends only" atau malah diprivate.

Ih, jaim banget. Munafik!
Bukan ... bukan jaim. Apalagi munafik.
Kalau munafik itu, kita berpura-pura lucu, padahal tidak lucu. Berpura-pura baik, padahal tidak baik. Berpura-pura ramah, padahal tidak ramah.
Capek bin lelah, Bro and Sist ... kalau kita berjaim ria dan bermunafik ria.

Menurut saya, sebaiknya sih kita menyimpan yang jelek dan negatif untuk diri kita sendiri. Orang lain nggak perlu tahu. Menahan diri.
Sebarkan saja yang positif dari diri kita. Semua manusia pasti punya sisi positif, kan?

Ibaratnya saya suka ngupil, masa sih saya kudu ngupil di arisan RT?
Tentu tidak.
Apa itu artinya saya harus berhenti ngupil selama-lamanya?
Tentu tidak.
Ngupil secara private dong ... di kamar mandi xixixi.

Udah. gitu aja.

Buah mengkudu buah cempedak.
Boleh setuju boleh juga tidak.
Kalau Papa, suka buah duku
Jangan lupa, beli buku-bukuku






Senin, 06 Juni 2016

Ngintip isi "Komik Halal dan Haram", yuk!







Judul         : Komik Halal dan Haram
Penulis      : Dian K dan Tethy Ezokanzo
Ilustrator   : Wawan Kungkang
Penerbit    : QIBLA (BIP)

Ngintip isi "Juz Amma For Kids" yuk ^^

Judul          : Juz Amma For Kids
Penulis       : Tethy Ezokanzo dan Dian K
Ilustrator    :  May Sofyan
Penerbit     : Qibla Penerbit Bip Gramedia
Tebal          : 184 halaman full color
Harga         : 80 ribu

Siapa di antara kalian yang ingin menjadi hafidz Al-Qur’an?
Karena pahala menghafal Al-Qur’an itu besar sekali, loh.
Selain Juz ‘Amma dan Terjemahannya, ada juga Asbabun Nuzul atau kisah di balik turunnya ayat, sehingga kalian akan lebih memahami maksud kandungan setiap ayat.
Dengan memahaminya, kalian akan mudah untuk menghafal setiap ayatnya.

Dan, untuk lebih mengikat makna setiap surat, ada Dongeng Akhlaqul Karimah juga loh. Kalian jadi dapat
menghubungkan makna Juz ’Amma dengan kehidupan sehari-hari.

Seru, ‘kan buku ini? Yuk, segera jelajahi isinya. Selamat membaca dan menghafalkan Al Qur’an, ya.







Rabu, 23 Maret 2016

10 Alasan Untuk Jadi Penulis Buku Anak-anak

Beberapa orang, sering bertanya pada saya.
Mbak Dian kenapa kok fokus di buku anak-anak?
Nggak pengen nyoba jadi penulis anu?
Atau ngisi konten di anu?
Atau jadi anu dan dapat bayaran tinggi?
Coba banting setir. Dengan kemampuan menulis Mbak Dian, pasti bisa. Duitnya jadi banyak!

Tidak munafik. Salah satu tujuan saya menjadi penulis, salah satunya tentu motif ekonomi. Mencari nafkah.
Salahkah?
Tentu tidak.
Sebagai perempuan, saya punya prinsip (maaf buat yang nggak setuju ya) kalau perempuan itu harus mandiri secara finansial. Dari dulu, saya berusaha tidak mengandalkan pasangan untuk memenuhi kebutuhan pribadi saya. Pasangan, cukup memenuhi kebutuhan keluarga saja.
Urusan saya, biar saya sendiri yang turun tangan. Alasannya, ya biar asyik aja xixixi.

Nah, mengapa saya memilih jadi penulis buku anak-anak?
Saya tuliskan alasannya ya. Siapa tahu, kamu terinspirasi juga untuk menjadi penulis buku anak-anak.

1. Setiap manusia, punya sisi kanak-kanak. Meski usia sudah tak lagi muda, dan uban mulai menyapa *cieeh*
Menulis buku anak-anak itu seolah mengulik sisi kanak-kanak dalam diri kita. Bermain dan bersenang-senang. Meski hati sedih, anak-anak tetaplah memandang kesedihan secara sederhana.
That's why, menulis buku anak-anak tak sampai membuat jidat berkerut. 
Membayangkan diri menjadi tokoh dalam cerita yang kita tulis, amatlah menyenangkan.

2. Anak-anak adalah pembaca yang manis. Mereka tak akan mengomentari isi ceritamu dengan nada nenek sihir dan rasa pedas level 15. Mereka akan selalu menanggapi ceritamu dengan 'wow' dan membawa cerita-ceritamu dalam mimpi-mimpi indahnya.
Paling banter, kalo dia ga suka, ya bukunya ditaroh. Anak-anak ga bakal bikin review pedas di Goodreads xixixi.

3. Teman-teman penulis yang menyenangkan.
Suwer, menurut saya, penulis buku anak adalah penulis yang paling easy going. Ga pakai saingan, ga pakai cakar-cakaran. Apalagi demi order.
Kita udah biasa saling melempar order. Ya iyalah, kepala cuma satu, masa semua order mau dikerjakan sendiri?
Ketika seorang editor bertanya pada saya, siapa penulis buku anak yang kira-kira bisa menulis tema anu, saya akan dengan sigap mereferensikan si anu dan si onu.
Saya yakin, teman-teman lain pun demikian. Kami berpendapat, semakin banyak yang bisa menulis cerita indah untuk anak-anak Indonesia, semakin bahagialah kami semua.


4. Pangsa pasarnya terbuka luas sekali.
Pernah lihat praktik dokter kandungan yang sepi? Saya nggak pernah.
Biasanya, yang namanya dokter kandungan itu pasiennya berjubel, antre sampai tengah malam bahkan bisa sampai subuh!
Itu tandanya, betapa banyaknya bayi yang lahir setiap harinya.
Dari situ, kita tahu bahwa pasar anak-anak amat luas. Ketika seorang anak sudah menginjak usia yang mungkin tak suka lagi baca buku-buku kita, di belakangnya sudah berjejer ribuan anak lain yang siap melahap buku kita.
Itulah sebabnya, banyak buku anak yang dicetak ulang terus dan terus. Pasarnya ada.

5. Pemainnya nggak banyak :D
Coba hitung, penulis buku anak di Indonesia ada berapa?
Nggak banyak.
Tentu, yang saya maksud adalah penulis buku anak yang konsisten menerbitkan buku ya. Bukan yang cuma ikut-ikutan. Satu kali terbit terus moksa alias menghilang. Kalau itu mah banyak.
Mungkin jadi penulis buku anak itu kurang bergengsi. Kurang gaya. Terbukti dari minimnya penghargaan di dunia literasi terhadap para penulis buku anak.
Karena kurang gengsi, maka yang minat pun dikit.
Karena dikit, otomatis ya kue orderan jadi besar.

6. PAHALA
Nah, kalau yang ini amat ditekankan sama suami saya.
Katanya, kami ini bukan orang kaya yang bisa bersedekah besar, berinfaq, menolong orang, bangun sumur, bangun RS, bangun masjid dll. Kami orang biasa. Duit pas-pasan. Pas ada kebutuhan, pas ada duitnya :))
Namun, kita nggak boleh berhenti mencari pahala dong ya?
Nulis yang baik-baik untuk anak-anak di masa golden period mereka. Jika efeknya dahsyat, ke mana kebaikan itu akan mengalir?
Luar biasa pahala yang akan kita dapat dengan menulis buku anak-anak.

7. Belajar jadi lebih baik
Tak bisa dipungkiri, dalam buku anak-anak hampir selalu ada pesan moral yang disampaikan.
Hal ini bukan perkara mudah. Mengingat si penulis sendiri adalah manusia biasa yang bisa marah, dan bisa khilaf.
Namun, dengan menulis buku anak-anak, mau tak mau penulis pun ikut belajar.
Oh, ternyata begini ya kita harus bersikap.
Oh ternyata begini ya ajaran agama kita.
Dan oh oh oh yang lainnya.
Hal tersebut, secara tidak langsung mengikis kenegatifan yang kita miliki. Insya Allah, kita semua akan jadi pribadi yang lebih baik.
Jika tidak, ya berarti belum. Pelan-pelan. Tapi bukankah batu yang keras juga akan kalah oleh tetesan air yang konsisten?

8. Passive income
Menulis buku anak-anak, memang royaltinya tidak besar. Namun, cukuplah untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Apalagi, royaltinya ajeg. Buku yang udah bertahun-tahun yang lalu terbit pun, saya masih nerima royaltinya. Meski tentu, jumlahnya tak sebesar waktu awal terbit.
Itu semua karena, kembali lagi ke: Pasar yang terus ada.
Jadi, saya sebagai penulis buku anak, punya passive income yang tak saya tunggu-tunggu kehadirannya, tapi tahu-tahu mak jegagik di rekening.

9. Meninggalkan prasasti untuk anak cucu.
Saya punya dua anak. Saya nggak punya harta untuk saya wariskan pada mereka.
Namun, saya ingin mereka punya kenangan pada saya.
Sekardus buku-buku karangan saya, bisa saya wariskan pada mereka dan anak-anak mereka.
Berbagai cerita indah, akan tertoreh di hati mereka meski saat raga saya tak menemani mereka.

10. Terkenal, dan bisa menularkan hal positif ke orang lain
Eh ini beneran lho. Adaaaa aja orang yang menyapa kalau lihat saya. Bukan di dunia maya ya. Tapi di dunia nyata. Mungkin karena foto saya sering mejeng di halaman belakang buku xixixi.
Biasanya, nanti akan berujung pada "Ajari nulis dong,"
Hayuk lah. Siapa takut. Asalkan serius, monggo aja. Paling tidak, bisa nulis untuk anak/murid sendiri.
Bukankah menulis itu adalah kegiatan yang positif? Hajaaaar. 

Nah, itulah alasan-alasan mengapa saya menjadi penulis buku anak.
Semoga saya terus konsisten di dunia buku anak ini, meski sekali-kali selingkuh juga dengan nulis novel romance, novel komedi, dan kisah-kisah inspiratif.
Maklum, saya ini manusia yang isi kepalanya terus bicara. Jadi ya tak ada jalan lain. Isi kepala harus diikat dengan tulisan.

Bagaimana denganmu?
Berminat jadi penulis buku anak? Yuk ... yuk ..



Rabu, 09 Maret 2016

Aku merasa orang termiskin di dunia ^^

Suatu pagi, saya beli penyetan. Bukan di langganan saya biasanya, tapi di tempat lain.
Basa-basi sama penjualnya, ngobrol sana sini sampai akhirnya kami pada topik obrolan: BANJIR.

Ya, akhir-akhir ini Sidoarjo banjirnya parah. Air menggenang tinggi, dan susah surut.
Si ibu penyetan ini lalu bercerita, bahwa rumahnya kemasukan air berlumpur, semata kaki. Dia lalu bilang betapa lelahnya dia membersihkan rumah, mengepel, menjemuri barang-barang, sampai-sampai dia demam.

Sebagai orang yang baik hati dan penuh empati (serius), saya pun manggut-manggut dan menghibur.
"Yah, dilakoni aja Bu. Ngrasakno banjir,"

Si Ibu lalu menjawab saya dengan sedikit sinis.
"Ya njenengan bisa ngomong gitu, karena njenengan mana pernah kebanjiran. Situ enak, tinggal di GF (nama perumahan), tanahnya tinggi bla bla,"

Jreeeng ... seketika Hamdan ATT melintas di benakku.
Aku merasa orang termiskin di duniaaaa
Yang penuh derita bermandikan air mataaaaa

Ya, kadang saya bertemu dengan orang-orang ala Hamdan ATT ini. Merasa dirinya adalah orang "termiskin dan termenderita" di dunia. Memandang orang lain sebagai orang yang lebih enak. Trus, dengan seenaknya bilang "Situ kan enak. Situ gak pernah ngrasain bla bla bla,"

Kembali pada si ibu penyetan.
Andai saja dia tahu, BANJIR is my middle name :D
Banjir air bening semata kaki? Pernah.
Banjir selutut air berlumpur? Pernah.
Banjir sepaha dengan air berlumpur dan penuh sampah? Pernah.
Tiap hujan rumah selalu banjir? Pernah.
Nggak hujan tapi rumahnya banjir? PERNAAAAAH. It is called ROB!
Numpang mandi di tetangga dan diberi nasi bungkus oleh Vihara gara-gara banjir? Pernah!

I am originally from Semarang. Ada lagunya kan, Semarang kaline banjir?
Apalagi saya tinggal di sebelah banjir kanal. Kalau tanggulnya jebol, airnya melupa, wassalam. Selamat tinggal baju-baju di lemari dan alat elektronik :D
Yang saya selamatkan waktu itu hanyalah ATM dan sedikit perhiasan yang langsung saya pake semua (koyok wong gendeng pating crentel).

Jadi, janganlah kita berburuk sangka pada orang yang berusaha empati pada kita.
Janganlah berucap "kamu gak ngrasain sih. Coba kalau kamu jadi aku bla bla"
Bisa jadi, yang dia alami jauh lebih parah daripada yang kamu alami, cuma dia nggak berisik.

Contoh lain lagi.
Ada ibu-ibu yang demen mengeluh anaknya dibully.
Saya pun bilang, "Dikasih tau aja Bu. Namanya juga anak-anak. Kadang mereka nggak ngerti. Main-main tapi kebablasan,"
Eh lhadalah, ngamuk.
"Ini bukan main-main, ini sudah berupa kekerasan bla bla bla. Ibu nggak ngrasain sih kalo anaknya dibully. Kalo sampe ada apa-apa sama anak saya, bagaimana????"

Jreng ... Hamdan ATT lewat lagi.

Andai dia tahu, bahwa saya adalah korban kenakalan anak-anak di masa SD. Saya nggak mau menyebut anak TK dan SD sebagai pembully. Karena sejatinya mereka belum tahu apa yang mereka lakukan.
If only she knew that I live now with one eye only because of what she called "bullying".
If only she knew that I spent 1 month in hospital because of that :)) 

Percaya padaku.
Jika ada masalah menghampirimu, legowo saja. Jangan merasa bahwa orang lain hidupnya lebih enak darimu.
Kamu nggak pernah tahu lho, apa yang sudah/pernah dihadapi orang tersebut.

Karena, nggak semua orang suka teriak ala Hamdan ATT.

Aku merasaaaa orang termiskin di duniaaaa
Yang penuh derita, bermandikan air mataaaa






Kamis, 18 Februari 2016

Seri Anak Cerdas -- ada 4 buku




Hi parents,

Sudah tahu kan, ada banyak bahaya yang mengintai anak-anak kita?
Bahkan, di dalam rumah pun, ada hal-hal yang bisa membahayakan keselamatan anak-anak.

Lalu, apakah hal itu harus membuat kita sebagai ortu jadi paranoid?

Tentu tidak.

Pemahaman yang baik akan cara mengatasi suatu masalah, bisa dimulai dari usia dini kok. Tentu, dengan bahasa yang sederhana dan penjelasan yang tidak berbelit.

Contohnya buku-buku dalam seri Anak Cerdas ini.

Serial ini mengusung 4 buku, dengan 4 situasi yang berbeda.

1. Di dalam rumah (hati-hati di dapur, di kamar tidur, waspada terhadap tamu, dll)
2. Di luar rumah (jalan di mal, di kebun binatang, di kolam renang, di jalan raya, dll)
3. Menghadapi keadaan darurat (gempa, kebakaran, banjir, dll)
4. Berinternet/berselancar di dunia maya (menghindari pornografi, chatting dengan orang tak dikenal, budaya copy paste, hoax, dll)

Tiap buku berisi 6 cerita, yang akan mengajarkan pada anak-anak, mengenai prinsip dasar kehati-hatian.

Mau ngintip isi bukunya? Yuk ^^







Masing-masing buku, hanya berharga Rp. 55 ribu saja :)

Bisa didapatkan di seluruh toko buku Gramedia, atau pesan ke saya juga boleh.

Silakan ^^

Rabu, 10 Februari 2016

Benci sama penganut agama lain? Kamu kalah dong dengan santri generasi 90'an ini ^^

Saat ikut mata kuliah etika, kami diwajibkan ikut semacam study tour begitu deh. Kali ini, tujuan kami adalah ke Tasikmalaya. Horee, kami akan mampir ke Kampung Naga juga dan mempelajari kehidupan di sana.

Nginepnya di mana?
Waks ... nginepnya di pondok pesantren!! Konon, pondoknya berisi ratusan santri. Pondok ini (pada jamannya) kayaknya yang terbesar deh. Saya lupa namanya. Lokasinya di Rajapolah, Tasikmalaya.

Sontak, saya gemetar.
Bayangkan, saya (waktu itu) beragama Katolik. Plus, saya bermata sipit dan berkulit putih mengilat bak porselen (oke, abaikan saja yang kulit mengilat hahaha).
Dan, saya punya pengalaman buruk yang berkaitan dengan SARA, dan (sialnya) tokoh antagonisnya ada yang berasal dari Tasikmalaya. Lengkap sudah kegemetaran saya.

Beberapa teman yang ikut study tour ini juga mengingatkan saya akan beberapa hal, dan terus terang saya semakin gemetar.
"Kalungmu dilepas!" -- saya waktu itu pakai kalung berbandul salib
"Harus pakai jilbab!" -- hoaaa, dari mana saya punya jilbab????
"Nggak usah ngomong kalau kamu Cina!" -- meski nggak ngomong, orang juga tau keles dari tampang saya

Wes lah, pokoke gemetar stadium akhir. Saya seperti mau dicemplungin ke kandang buaya.

Sampai di sana, ternyata pondokannya ada banyak sekali. Tiap santri mondok di pondok pilihan mereka, sesuai dengan budget yang mereka punya. Namun, mereka belajar di pesantren yang sama.

Saya ditempatkan di satu rumah yang cukup besar, santrinya banyak. Kira-kira lebih lah kalau 50 orang. Untunglah, saya tak sendiri. Saya nginep di sana berdua, dan teman tandem saya adalah Naomi, si Batak Kristen ( dan sekarang Naomi pun memeluk Islam, dan berjilbab. Alhamdulillah ya).

Saya dan Omi gandengan sambil mengkeret ketika harus memperkenalkan diri ke adik-adik di pondokan itu.
Akhirnya, saya memutuskan untuk langsung to the point.

"Nama saya Dian, dan maaf saya bukan muslim. Agama saya Katolik. Nggak apa-apa kan kalau saya tidur di sini bareng kalian semua?"

Tau nggak apa jawaban mereka?
"Nggak apa-apa atuh, Mbak. Memangnya kenapa kalau non muslim? Semua manusia mah bersaudara!"

Eaaa, hati saya langsung nyeeeees bak disiram air dingin. Saya langsung sumringah, Naomi pun sumringah. Kami semua langsung akrab, bercerita akrab seperti layaknya sahabat lama.

Malam tiba. Kami tidur beralaskan tikar saja. Berjejer-jejer seperti ikan pindang :p
Tapi yang namanya kebo, ya tetap kebo (saya).
Saat saya bangun, waduh antrean di kamar mandi sudah mengular. Duh, gimana dong? Mana panggilan biologis sudah meraung-raung.
Lagi-lagi, saya mendapat kemudahan.
"Minggir .... minggir, kakak UGM mau mandi!" perintah seseorang pada santri-santri yang antre.
 Saya pun tersipu-sipu menerobos antrean. Maaf ya adik-adik, Kakak UGM mau kuliah. Takut dimarahi pak dosen :D

Sarapan pagi pun disiapkan dengan baik. Menunya nasi kuning yang amat lezat meski hanya berlauk dadar telor iris tipis-tipis dan taburan bawang merah goreng.

Saya pun berangkat kuliah lapangan dengan hati gembira.

Apesnya, saat jalan-jalan di Kampung Naga, saya keseleo. Pas pulang ke pondokan, kaki saya sudah bengkak segede kaki gajah.
Adik-adik pondokan langsung berinisiatif memanggil mamang becak (sepertinya itu mamang hanya beroperasi di area situ deh) untuk membawa saya ke tukang urut.
Waktu itu, yang mengantar saya ada dua orang + Naomi.


Tau nggak, siapa yang bayar ongkos becak dan ongkos tukang urut? Mereka!
Saya waktu itu nggak bawa duit, dan mereka dengan ikhlas bayarin saya. Terharu nggak sih?
Jangan tanya gimana tingkah laku saya waktu diurut oleh mamang yang tuna netra itu. Saya melolong lolong, berteriak, menjerit, wes pokoke nggilani deh.  Dan, tahukah kalian apa yang para santri itu lakukan? Mereka sibuk ngobrol sama si Mamang tanpa mempedulikan jeritan saya.
(Setelah kejadian itu, baru mereka bilang kalau mereka sengaja gak peduli.  Menurut mereka, kalau mereka peduli, nanti saya tambah lebay. Jadi lebih baik dicuekin saja. Tega ya, hiks ...)

Pulang dari tukang urut, para santri dengan tabah dan ikhlas menumbuk beras dan kencur untuk kemudian ditempelkan ke kaki bengkak saya.
"Besok insya Allah kempes, Mbak," kata mereka.
Voila ... dan ternyata benar. Memang kempes :))

Tak terasa, kami harus kembali ke Jogja. Para santri itu memelukku penuh haru. Mereka bilang amat senang bisa kenal dengan saya. Hiks, sayang ya saya lupa siapa saja nama mereka. Coba kalau inget kan bisa search di Facebook.

Dari pengalaman saya ke pondok pesantren ini, saya mendapat satu hikmah. Ternyata, orang yang belajar agama, dan mau mengamalkan agamanya dengan sebenar-benarnya, hidupnya nikmat.
Mereka hidup sederhana, selalu dalam senyuman, tak curiga pada orang lain, mau bersahabat dengan siapa saja.

Bandingkan dengan kondisi sekarang. Lihat saja timeline yang bersliweran. Banyak sekali orang-orang yang mengaku beragama, tapi kalimat-kalimatnya setajam silet. Apalagi terhadap pemeluk agama lain.
Ngeriiii ....

Jika kamu termasuk golongan yang suka mencaci orang beragama lain, dan intoleran, mungkin kamu harus mengendarai mesin waktu dan pergi ke Rajapolah di tahun 95'an. Belajarlah dari adik-adik ini, bagaimana berhubungan sosial dan memuliakan tamu.


Keterangan gambar : Yang kerudung kuning Naomi, yang pake poni Dora the explorer, saya dong ^^
Lucu ya, kami dua orang non muslim saat itu. Dan sekarang, kami berdua muslim!!














Senin, 01 Februari 2016

A life journey ...

Sudah tak terhitung, berapa inbox yang masuk dan bertanya, apa agama Mbak Dian Kristiani?
Kenapa orang bernama kristiani, berani-beraninya nulis buku anak-anak bertema agama Islam?
Ada juga yang dengan baik hati bilang, bahwa dia bangga bahwa seorang non muslim mau belajar dan menulis buku-buku Islam.
Namun tak sedikit yang bernada, "How dare you?"

Terus terang, saya paling tidak suka ditanya soal pribadi. Apalagi, oleh orang yang tidak saya kenal dekat/baik.
Namun, sebagai wanita yang baik hati dan penuh kasih sayang ditambah rasa pengertian yang seluas samudra, maka saya pun menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Saya jelaskan, bahwa saya memang mualaf.  Titik.
Saya tak mau melanjutkan lagi, mengapa, bagaimana, kapan dll dll pada para penanya. Tak perlu.

Namun, ada saja yang bertanya. Mengapa? Kapan? Di mana?
Dan masih ada satu pertanyaan lagi yang menurut saya, sungguh tidak sopan.
"Kenapa tidak ganti nama? Bukankah nama itu doa?"
Busyet deh. Bukan suami, bukan anak, bukan sodara, berani-beraninya menyarankan ganti nama.
Sekali lagi, karena hati saya seluas samudra, saya hanya beri senyum yang termanis.

Setelah berpikir dengan jernih, saya pikir mungkin sebenarnya maksud mereka bukan sengaja mau tidak sopan ya. Mungkin, mereka memang care. Peduli padaku.
Baiklah.

Being a mualaf, is one of my roles in this life journey.
Waktu itu, yang mengislamkan saya adalah Haji Muhammad Gautama Setyadi. Beliau adalah seorang warga keturunan Tionghoa, yang beragama Islam.

Saya mengenal beliau dari anaknya, Lia, yang satu SD dengan saya. Keluarga mereka terkenal sebagai keluarga cina muslim di Semarang, dan cukup terkenal.
Saat SMP dan SMA, saya dan Lia tidak satu sekolah lagi, Hubungan terputus.
Namun, ada keajaiban.
Saat itu, saya baru lulus kuliah, dan diterima kerja di Bank Bali. Saat dikenalkan dengan seluruh tim-nya, saya terperangah melihat salah satu kepala cabang.
Dia pun terperangah. Dia Lia, teman SD saya itu.

Lia ini pula yang lalu mengajak saya keluar dari bank, dan bekerja di pabrik furniture. Lia mendapat posisi sebagai head marketing, dan saya sebagai tim cheerleader ^^

Dari Lia ini, saya dikuatkan, diyakinkan, bahwa Islam itu nggak apa-apa. Jangan takut sama orang Islam. Jangan takut sama agama Islam. Kalau sama Lia sih saya percaya, wong Lia itu tipe sebaik-baik manusia yang pernah ada di muka bumi. Orangnya haluuuus, baik hati, ga pernah marah, ketawa terus.

Waktu itu kan saya lagi galau. Mau nikah dengan pacar yang beragama Islam. Dan kami masih belum menemukan titik temu tentang agama.
Maklum saja, pengalaman masa kecil di Semarang, banyak sekali kaum rasis. Tetangga saya yang orang Islam bahkan bilang, jangan bergaul dengan orang Cina, karena nanti kena babi :D

Akhirnya, Lia meyakinkan saya untuk memeluk Islam.
Pacar juga mendukung.
Akhirnya, saya dipertemukan dengan Om Gautama ini. Dan si Om ini yang mengislamkan saya. Waktu itu dapat hadiah sajadah. Horee.

Saya masih ingat betul nasihat Om pada saya.
"Dian jangan mikir yang berat-berat. Kita ini sama-sama agama samawi. Banyak kok persamaannya. Bisa, Dian pasti bisa. Yesus itu ya Nabi Isa. Bunda Maria itu ya Maryam. Kalo kangen sama Bunda Maria, ya baca aja surat Maryam. Jangan dibuat sulit. Lakukan saja apa yang kamu bisa, don't push yourself too hard,"

Itu yang jadi pegangan saya.

Nah, setelah saya jadi penulis, mengapa saya memutuskan untuk menulis buku-buku Islam?
Jawabannya : saya sekalian BELAJAR.
Kalau saya nulis, saya harus baca sekian banyak referensi, bertanya ke kanan dan ke kiri, barulah jadi tulisan.

Dan buku-buku saya kebanyakan duet, dengan teman-teman yang insya Allah ilmu agama dan ketelitiannya, di atas saya. Mereka adalah Tethy Ezokanzo dan Aan Diha. 
Kalau saya nggak nulis, mungkin saya akan malas belajar. Malas baca buku agama.
Mungkin, ini jalan yang Tuhan berikan, agar saya mau belajar.

Life is about learning.

Saya nggak berhenti belajar, meski tetap ingat pesan Om Gautama. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan dulu.
Kedengarannya santai dan woles ya? Namun bagi saya, itu berarti saya harus step by step belajar dengan baik, dan memaknai semuanya dengan baik.

Pertengahan tahun lalu, saya mulai belajar membaca Al Quran.
Sekarang, saya sudah sampai di at tartil jilid 6, dan di surat Al Baqarah ayat 175.

Alhamdulillah ya ... sesuatu *Syahrini mode on*

Udah gitu aja cerita saya. Niat saya hanya untuk mengabarkan, bahwa saya ini muslim.
Niat saya hanya untuk menguatkan teman-teman yang mualaf juga, jangan terlalu hiraukan keberisikan di luar saya. Yang tahu niatmu, kemampuanmu, hanyalah dirimu. Step by step, keep learning.
Postingan ini bukan postingan pamer bahwa saya udah bisa baca Al Quran. Bukaaaaan, ngapain juga pamer wong masih belepotan dan kadang bikin guru terpingkal-pingkal karena baca koka kola :D

Jangan ragu untuk beli buku-buku saya. Baik yang buku solo, ataupun duet dengan dua sahabat baik saya.
Insya Allah, bukunya bagus, isinya bermanfaat, tulisannya ga membosankan, kekinian, ceria, lincah, asik dll dll --> kalo ini memang promo bin pamer.

Hihi, udah ya. Makasih udah mau baca ^^