Minggu, 15 Desember 2013

Kue Bola Cokelat

Kue yang ini gampang banget bikinnya. Aku sering bikin, dan bahkan Edgard pun bisa membuatnya.

Biasanya, kami membuat dari sisa-sisa biskuit yang sudah tak termakan. Tahu sendiri, kan? Anak-anak kalau makan Biskuat, atau roti marie, biasanya ada sisa yang dibiarkan begitu saja. Disuruh ngabisin ogah, dan akhirnya disimpan aja di dalam toples. Lama-lama, biskuit sisa pun menumpuk.

Demikian juga kalau habis Lebaran. Kadang, ada aja yang memberi Monde, atau Khong Guan. Dan anak-anak selalu memilih yang enak-enak, dan meninggalkan yang nggak enak-nggak enak, haha.

Mari disulap saja deh biskuit sisa ini.

Hancurkan mereka sampai lembut, kalau malas sih bisa pakai blender. Wus wus wus, langsung jadi serbuk.
Lalu, uleni dengan susu kental manis, dan mentega cair (sesendok makan mentega yang dicairkan). Uleni saja sampai bisa dipulung bentuk bola.

Setelah jadi bola, gulingkan di atas meises. Jadi deh ^^

Oya, kalau punya kacang sisa Lebaran, bisa juga lho dimasukkan. Remuk aja kacangnya sekalian. Rasanya jadi enak deh.

Ini penampakan jadinya. Huenak banget! Meisesnya jangan pake yang murahan ya, karena meises yang enak akan menutupi rasa biskuit yang ga enak (tau sendiri kan, rasa biskuit Khong Guan kayak apa hehehehe).

Happy cooking ^^

Sabtu, 14 Desember 2013

Panekuk isi Vla Cokelat yang Yummy ^^

Entah apa yang terjadi pada diriku. Rasanya akhir-akhir ini aku kerasukan roh memasak, hahaha. Pengen nyoba ini dan itu, tapi tentunya yang terjangkau. Maksudku, terjangkau dengan akal pikiranku. Tentu, nggak mungkin aku pengen membuat rainbow cake, atau cookies yang cantik-cantik.
Selain nggak punya oven, otakku juga lemot untuk mencerna aneka ingredients yang asing di telingaku. Jadi, milih yang gampang aja deh bahan-bahannya.

Di rumah, aku selalu sedia terigu, telur, dan mentega. Itu barang wajib. Maklum, tiap hari makan roti tawar jadi harus ada mentega. Tiap hari nggoreng telur, jadi kudu ada telur. Dan terigu aku gunakan untuk simpenan aja sih.  Kalo nemu pisang, kan bisa bikin pisang goreng. Ada sayuran sisa, kan bisa bikin bala-bala alias bakwan sayuran.

So, apa resep yang mudah tapi yummy?
Ada satu lagi resep dari Omaku yang amat aku gemari. Yaitu panekuk!
Kalau orang sekarang sih bilangnya, kue dadar. Isinya vla. Bisa vla kuning rasa vanila, bisa juga vla cokelat.

Nah, karena beberapa saat yang lalu aku mendapat oleh-oleh cokelat bubuk yang cukup banyak dari Mbak Renny Yaniar (dari pameran cokelat), maka aku memutuskan untuk membuat panekuk isi vla cokelat. Ternyata, tak sesulit yang kukira kok.

Untuk kulitnya, juga mudah.
Campurkan cokelat bubuk dan terigu +/- 300 gram, kasih gula dikiiit dan susu cair + air. Aduk-aduk sampai tidak mringkil. Lalu, masukkan satu butir telur. Aduk-aduk terus sampai adonannya mulus. Ingat, tidak encer, tidak juga terlalu kental. Secukupnya, seperti di foto ini.


Lalu, panaskan pan teflon 20 cm, dan olesi dengan mentega (pakai kuas *ya iyalah*)
Setelah pan panas, dadar deh satu per satu kulitnya. Sayang, aku kurang lama mendadarnya, jadi kulitnya kurang ada efek "totol-totol". Biasanya, panekuk yang dibuat Oma dan Mamaku, kulitnya bertekstur totol. Punyaku agak licin, tapi gapapa yang penting enak. Namanya juga pengalaman pertama, kan?


Setelah kulit sukses (nggak sobek, hehe), maka mari membuat vla.
Huahaha, lagi-lagi sih nggak pakai takaran. Ilmu kira-kira. Maklum ya, aku nggak punya timbangan, dan aku pakai feeling aja.

Jadi, aku mencampur bubuk cokelat dan terigu, dan gula. Kuaduk sampai rata, lalu kuberi susu cair dan air. Kuaduk terus sampai rata. Nah, adonan untuk vla ini malah harus encer. Kalau kita tarik, kudu bunyi "krucuk krucuk" gitu.

Cicipi dulu, udah manis kah? Kalau sudah manis, silakan ditaruh di atas kompor api kecil, sambil terus diaduk.

Saat adonan mulai panas, dia akan mulai mengental. Jika kamu merasa terlalu kental (ngaduknya berat euy) maka kamu bisa menambahkan air (awas, cicipi juga kemanisannya. Jangan sampai rasanya jadi kurang manis gara2 kita tambahkan air melulu).

Sebaliknya, jika kamu merasa kok encer terus dan nggak kental-kental? Matikan dulu apinya. Lalu ambil satu atau dua sendok terigu, cairkan dengan sedikit air. Masukkan cairan terigu tadi ke adonan di atas kompor tadi. Nyalakan lagi kompornya, aduk lagi.

Wes, pokoke pake ilmu kira-kira deh ^^

Setelah kekentalan cukup, dan adonan sudah blekutuk-blekutuk alias meletup-letup, matikan kompor.
Lalu, ambil satu sendok mentega, dan teplokkan (apa sih bahasa Indonesianya) di atas adonan, dan aduk.
Apa fungsi mentega ini?
Tak lain tak bukan agar penampilan vla mu ciamik. Mengilat, menggoda iman hihihi.



Selesai sudah prosesnya. Gampang kan? Paling cuma butuh waktu satu jam kok untuk masak ini. Yang agak lama cuma proses bikin kulitnya. Kan kudu mendadar satu per satu.

Setelah itu, taruh vla di atas kulit, dan gulung deh. Masukkan ke lemari es, karena kalau dimakan dingin jauuuuh lebih nikmat.

Oya, nyimpennya dalam wadah tertutup ya. Kalau nggak, nanti kulitnya bisa kena angin dan agak keras. Kalo ditaruh wadah tertutup, tetap mak nyus.

Masalah model melipat dan menggulung, bebas saja. Yang kulakukan di sini mencontek model original dari Oma ku dulu. Hanya digulung tok. Nggak dilipat-lipat.

Happy cooking ^^

Rabu, 11 Desember 2013

Unfriend!




Sejak maraknya aneka social media, jaringan pertemanan kita semakin luas. Dari yang tak kenal, jadi kenal.  Bisa kenal dekat, bisa juga kenal anjing alias kenal dengus-dengus doang.
Pertemanan di social media, tahu sendiri kan ya kayak apa?
Kadang hangat, dan kadang rusuh.
Dan kalau pas rusuh, ada gerakan yang bener-bener trend, yaitu unfriend.
Pernahkah kalian meng-unfriend seseorang dari FB? Or any other socmed?

Saya pernah. Dua kali.
Sebetulnya, nggak bisa dibilang unfriend juga sih. Soalnya mereka juga bukan friend saya, dalam artian saya nggak kenal lho dengan mereka. Mereka sekadar ada di contact list saya.  Jadi, kalau saya “menyingkirkan” mereka, nggak apa-apa kan? Kenal juga kagak. Ngobrol? Nihil …

“Korban” pertama saya unfriend karena saya gerah tiap kali membaca statusnya yang muncul di wall saya.
Statusnya selalu ngomongin soal duit, dan bonus-bonus yang dicapainya dari bisnis MLM.
Bahkan, tak jarang dia meng-screen shoot  mutasi rekening BCAnya untuk menunjukkan incoming puluhan juta ke rekeningnya.
Mengapa saya unfriend? Sirik ya? Nggak bisa punya penghasilan segitu?
Hihihi, bisa jadi. 

Yang jelas, saya eneg kalau melihat orang posting hal-hal yang terlalu privacy sih menurut saya. Well, OK lah tuduh saja saya iri. Soalnya saya juga bingung, kenapa saya unfriend dia ya? Yang jelas ya eneg. Gitu aja. Aneh ya, padahal kenal juga kagak.
Mungkin karena dia juga sibuk menyanjung MLM-nya dan melecehkan profesi lain seperti tukang bakso, pegawai bank dll. Entah. 

Bagaimana dengan “korban” kedua?
Nah ini aneh juga. Saya juga nggak kenal orang ini. Kebiasaan buruk saya, asal accept jika ada friend request. Habisnya, saya takut kalau itu fans saya (hihihi). Nanti kalau nggak saya accept, ntar saya dibilang sombong.
Si orang ini, tiba-tiba statusnya muncul di wall saya dan WOW!
Dia bilang bahwa sedang pengen “begituan”, and you know what I mean ya.
Penasaran, saya lihat di TL nya. And lagi-lagi wow wow and wow!
Ada foto-foto syur, dan kalimat-kalimat yang “mengenaskan”. Huahahahahaha. Blais! Langsung tanpa ba bi bu. Unfriend!!

Nah, bagaimana dengan kalian?
Apakah pernah unfriend juga? Mengapa?

Kalau untuk orang-orang yang kukenal, saya nggak pernah unfriend. Karena menurut saya sih, yang namanya berteman pasti ada up and down nya kan? Ada kalanya kita rukun, ada kalanya kita jutek-jutekan. Nah, masa sih hanya karena jutek-jutekan kita mau unfriend? Ntar kalo baikan lagi gimana? Malah aneh …

Tapi sebenarnya, buat apa juga lho unfriend teman? Kalo mau real unfriend, ya hapus saja dia dari hatimu. Cieeh … selesai kan? Daripada menghapus dia dari pertemanan, terus dia nyadar, dan dia berkoar ke sana ke mari “Heiii, aku diunfriend ama dia. Dasar pengecut, bla bla bla!”
Lebih baik, unfriend di hati saja. Beres. Bukankah hati orang tak ada yang tahu?

Jadi, ada dong orang-orang yang ku-unfriend dari hatiku?
Uhuk … nggak dong. Kan aku orang yang baik hati ^^
So, how about you?

Minggu, 08 Desember 2013

Resoles Ragout, ternyata aku bisa!

Entah apa yang terjadi pada diriku. Beberapa hari terakhir, aku benar-benar ngidam makan resoles ragout yang enak. Yang HARUS benar-benar enak, seperti yang biasa disajikan dulu oleh nenekku.

Sedikit tentang nenekku. Beliau adalah anak orang kaya di masanya, dan bukan orang Chinese totok yang masih, well you know what I mean, berponi dan pake celana silat. No, nenekku nggak kayak gitu.

Tuh, penampilan nenekku saat masih imut, diapit oleh dua kakak laki-lakinya. 



Nenekku berpendidikan Belanda, dan dia pakai gaun dan topi ala wanita-wanita Eropa dan hi heels yang menawan. Jadi, otomatis, selera makannya pun yang berbau-bau Belanda.

Nah, saat aku kecil dulu nenekku kadang memasak yang enak-enak begini. Kenapa aku bilang kadang? Karena saat itu nenekku sudah bukan orang kaya lagi, hihihi. Jadi, kadang-kadang saja beliau masak enak. Salah satunya resoles ragout.

Singkat cerita, karena aku demikian ngidam parah, maka aku memutuskan akan membuat sendiri resoles ragoutku! Hebat ya, horeee. Dian yang cuma bisa masak oseng-oseng dan cah, mau masak resoles ragout! *plok plok plok*

Maka, mulailah aku BBM mamahku. Dari beliau, aku mendapat resepnya bla bla.
Inti dari resep masakan berbau "londho" itu sih sebenarnya gampang. No bawang putih!
Yang digunakan hanyalah bawang merah yg ditumis mentega (or bombay, tapi lebih sedap bawang merah yg kecil-kecil) dan merica + pala, serta daun bawang besar + seledri.

Kalian bisa coba deh basic bumbu ini untuk bestik, dan sup ayam/daging. Haujek!

Kembali ke resoles ragout.

Saya pun memberanikan diri untuk uji nyali bikin resoles ragout ini. Belanja belanja, dan sampai nggak bisa tidur mikirin hari H di mana saya akan membuatnya. Lebay? Yes, I am very lebay. Habis gimana ya, ini kan pengalaman pertama masak yang "aneh".

Mama saya tidak memberi takaran detil berapa gram, berapa sendok dll yang harus saya pakai. Jadi, saya mengandalkan ilmu kira-kira dan feeling. Ternyata, rasanya enak kok!

Cara membuatnya begini:
Tumis bawang merah (secukupnya) dengan mentega. Setelah harum, masukkan potongan wortel rebus (saya pakai 1 wortel ukuran besar) dan suwiran ayam rebus. Sreng sreng sreng, lalu tambahkan +/- 150 ml kaldu ayam (sisa rebus ayam tadi) dan +/- 200 ml susu cair Ultra.
Sementara itu, cairkan +/- 5 sdm terigu, dengan air. Kekentalannya sih kira-kira saja, yang penting biar nggak mringkil-mringkil.
Nah, setelah si adonan kaldu susu tadi mendidih, masukkan cairan terigu tadi sambil terus diaduk sampai mengental (kira-kira kekentalannya sampai kayak bubur sumsum).

Bumbui dengan merica, pala, garam dan GULA. Kalau mau sedikit ditambahkan kaldu instan sapi juga gpp. Tapi saya nggak mau, ntar ragout saya rasa Royco. Ogah ah.

Kalau sudah kental, bisa masukkan irisan daun bawang besar + seledri cincang. Aduk-aduk sampai matang dan kekentalan adonannya pas.

Udah deh, ready!

Oya, isian untuk ragout ini terserah ya. Aku menambahkan putih telur rebus (nemu di pasar) dan sosis sapi Bernardi. Tentu penambahan sosis sapi ini membuat bertambah nikmat. Eh, apalagi kalau ditambah daging asap. Bisa pingsan deh saking enaknya.

So, pembuatan ragout SUKSES besar. No doubt. Enak banget!






Selesaikah tugasku sampai di sini? Oh tentu tidak, karena akan ada tahapan yang lebih sulit yaitu membuat kulit!

Aku sempat galau. Karena aku punya dua ukuran wajan. Satu 20 cm, dan satu 12 cm. Kalo 20 cm kebesaran, sehingga aku memutuskan untuk memakai ukuran 12 cm. Ternyata, keputusanku SALAH BESAR!!

Ternyata, kalau ukuran 12 cm bikin aku kesulitan melipat resolesnya. Bayangkan, ragoutnya mbleber ke mana-mana dan jari jemariku yang segede pisang kepok ini tak bisa trampil melipat. Dalam hati, aku misuh-misuh sendiri pada diriku. Why I'm so stupid? Bukannya sempet mikir mau pakai 20 cm?

Ah tapi sisi positifnya adalah, kulit resoles buatanku SEMPURNA!
Sempurna artinya, tipis, tapi tidak mudah robek.

Sekali lagi, takaran bahannya pun kira-kira. Huehehehehe.
2 butir telur +/- 200 gram terigu, kasi susu cair (sisa UHT yang dibuat ragout tadi, kira2 50ml-an), dan air. Aduk (atau kalo mau gampang, blender biar nggak mringkil).

Aduk sampai rata dan halus adonannya (siap dadar). Pokoknya kira-kira deh :p

Lalu, dadar satu per satu di teflon. Lihat, bagus kan?


Setelah itu, proses melipat benar-benar membuatku berkeringat dingin. Aku tak berkutik, tak berani memberi isi ragout yang banyak. Dan, celakanya lagi, tepung panir yang kubeli ternyata adalah tepung panir untuk TEMPURA! Hoaa, ternyata beda ya? Pantesan kok buesar-buesar butirannya.

Jadi, setelah dilipat, maka si resoles ragout ini dicelup ke kocokan telur dan digulingkan di atas tepung panir.





Lihat kan? Sudah ada tanda-tanda kekempisan dan kekosongan rongga di dalam resoles itu kan? Hoaa, hoaaa. Trus, lihat deh panirnya yang gede-gede itu.

Tapi apa mau dikata, the show must go on!



 Dan akhirnya, tralalalala! Kalau ibarat tulisan, resoles ragout yang kubikin ini adalah tulisan yang amat bagus, tapi EYD nya kacau berantakan! Maklum, tulisan seorang pemula yang penuh semangat, namun belum terampil mengeksekusi ^^


Resoles ragoutnya agak kurus dan kempis ya? Hehehe. Tapi Edgard bilang, rasanya enaaaak sekali dan dia makan bolak balik.

Tapi terus terang, aku masih penasaran. Masa sih aku bego banget nggak bisa bikin bentuk yang lebih cantik?
Ragoutnya kan masih sisa separuh mangkuk. Masih bisa kuolah, kan?

Namun, sisi lain dari diriku mengatakan. Untuk apa? Kan, Edgard bilang ragoutnya dimakan gitu aja dah enak. Nggak usah digulung-gulung juga gapapa (kata Edgard).

Lalu timbul ide, olesin aja ke roti tawar, lalu panggang. Beres.

Tapi oh tapi, naluri kewanitaan dalam diriku tertantang. Hihihi, masa sih aku menyerah?

Maka, keesokan harinya aku bikin dadar lagi dengan teflon 20 cm!
Dan, seorang teman memberitahuku cara membuat panir sendiri yang praktis. Potong aja kulit roti tawar (kebetulan, Gerald nggak suka kulit roti tawar, jadi kami selalu membuangnya).

Kulit roti tawar itu aku potong kecil-kecil dan aku panaskan di teflon sampe kering. Lalu, masukkan blender. Wusss wuss wuss, jadilah tepung panir.

Aih, bego banget ya aku. Kenapa nggak dari kemarin? Panir yang ini begitu sempurna. Halus seperti pasir pantai Panjang ^^

Dan, lihat betapa gemuknya resolesku yang ke-2. Gemuk dong, karena kulitnya lebar sehingga aku bisa memasukkan ragout sebanyak yang kuinginkan :))


Taraaaa! Ternyata benar. Practice makes better ^^

Resoles ragout ku gemuk, full of ragout yang enak, kulit yang pas, dan butiran tepung panir yang lembut. Alamak. Boleh dong aku memuji-muji diriku sendiri, hahaha. Norak? Memang sih.


Nah, dari kisah pembuatan resoles ragout ini, aku jadi belajar sesuatu. Bahwa, sebenarnya kalau kita mau, kita bisa kok.

Yang penting apa sih? NIAT. Kalau aku sudah NIAT, maka badai topan menghalang pun akan kujabanin.

Sebaliknya, kalau nggak niat, ya malas.

Makanya, jangan paksa aku untuk memasak. Jangan paksa aku untuk berdandan. Jangan paksa aku untuk menjahit. Karena, aku tipe orang yang semakin dipaksa dan disindir, maka semakin mogoklah diriku.

Tapi kalau diriku sendiri sedang NIAT (yang entah berapa tahun sekali munculnya), maka aku akan menerabas dengan gagah berani dan menghasilkan karya yang sempurna paripurna maha dahsyat dan hebat.

Halah, baru bisa membuat resoles ragout aja kok hebohnya minta ampun?

Biarin dong. Buat perempuan yang nggak biasa masak, ini rekor lho. Enelan!


Selasa, 22 Oktober 2013

Pilih Kasih

Pernahkah teman-teman mendengar, bahwa orangtua itu tak membeda-bedakan rasa sayang terhadap anak?
Benarkah itu?
Maybe yes, maybe no ...

Mungkin, kalo masalah keadilan secara fisik, orangtua bisa adil. Memberi makanan yang sama, menyekolahkan di sekolah yang sama, memberi uang saku yang sama dll.

Tapi bagaimana dengan masalah hati?
Benarkah, orangtua bisa menyayangi anaknya yang luar biasa bandel dan selalu menyusahkan, lebih dari menyayangi anaknya yang juara kelas, berprestasi, dan selalu membahagiakan?

Doa yang terlantun dari mulut orangtua mungkin sama, semuanya demi keselamatan anak-anaknya. Tapi, apakah benar orangtua bisa menyayangi anak-anaknya sama persis?

Sampai sekarang, saya masih bertanya-tanya akan hal itu.

Sebagai seorang ibu, saya berusaha keras untuk tidak pilih kasih. Jika ada sesuatu yang menjengkelkan hati saya atas perlakuan salah satu anak, maka saya berusaha mengerem mulut untuk tidak membandingkannya dengan anak yang lain. Bukan apa-apa, saya sendiri pun (sebagai anak) paling tidak suka jika dibanding-bandingkan.

Pun jika satu anak saya berprestasi, saya juga berusaha mengerem mulut saya untuk tidak bilang ke anak yang lain, kenapa kamu tak seperti saudaramu?
Saya juga tak akan membangga-banggakan prestasi itu secara berlebihan, karena itu akan menyakiti hati anak yang lain.
Bisa saja, dalam hati mereka bertanya, "Kok aku tidak dibanggakan?"

Ternyata, susah ya jadi orangtua hihihi.

Saya pernah melihat seorang ibu yang begitu ceria saat ditelepon anaknya yang sukses (secara materi, akhlak dll). Namun ekspresi wajahnya itu berubah, saat ditelepon anaknya yang lain (yang selalu membawa kesusahan).
Ekspresinya seolah, "Apa lagi nih??"

Salahkah ibu itu? Menurut saya kok tidak.
Itu manusiawi kan?

Duh Gusti, saya berharap dua anak saya tumbuh dengan baik, dua-duanya membawa kegembiraan dalam hati saya, supaya saya tidak mengalami dilema dan permasalahan pilih kasih ini.

Sampai saat ini, mereka berdua menghibur saya dengan caranya sendiri-sendiri.
Edgard dengan kepandaiannya, dan Gerald dengan sense of humournya yang tinggi ^^

Saya akan berusaha menjadi ibu yang tidak pilih kasih. Doakan mommy ya kids!


Selasa, 15 Oktober 2013

Bosankah Dia?

Pernahkah kita memiliki teman/tetangga/saudara yang selalu "mengganggu" kita dengan permintaan-permintaannya?

"Gula saya habis, bisa minta dikit nggak?"
"Lupa beli minyak goreng, bisa minta semangkuk?"
"Anak saya harus bayar seragam, padahal suami saya belum gajian, bisa pinjem duit nggak?

Sekali dua kali, kita akan menolong dengan senang hati. Bagaimana jika permintaan itu datang terus menerus dari orang yang sama?
Pasti, saya yakin seyakin-yakinnya, kita bakal 'mbeleneg' alias muak.

"Idih, ga tau diri. Ngelunjak!"
"Awas yo, besok kalo minta-minta lagi, bakal kutolak,"
"Memangnya aku badan sosial? Dimintai tolong terus menerus?"

Lalu, apa yang terjadi?
Bisa ditebak, kita akan menghindar jika bertemu dengan orang tersebut. Bila perlu, dia ketuk-ketuk pintu rumah kita, kita pura-pura nggak denger.
"Males, paling-paling mau minjem beras,"
Lalu kita pun nyungsep di kasur sambil nutupin kuping pake bantal.

Nah, sekarang mari berpikir hal lain.
Pernahkah kita meminta sesuatu pada Tuhan?
Pasti pernah dong, malah cenderung maksa.
"Ya Tuhan, jadikan anakku anak yang sholeh, pintar, banyak rejeki bla bla,"

Besoknya ....
"Ya Tuhan, saya pengen banget naskah saya diterima di penerbit A, bantu ya Tuhan bla bla bla,"

Besoknya lagi ...
"Ya Tuhan, badanku kok sakit semua ya. Sembuhkan ya, supaya aku bisa beraktivitas normal,"

Besoknya lagi ...
"Ya Tuhan, lindungi suamiku. Dia mau dinas ke luar kota. Jaga dia ya?"

Kira-kira, Tuhan bosan nggak ya?
Doa terus menerus, dari orang yang sama ... dan isinya minta-mintaaaaaa terus ^^

Jawabannya: Tuhan tak pernah bosan, karena Tuhan adalah sebaik-baiknya tempat meminta. Kita boleh meminta apa saja pada-Nya, boleh curhat apa aja pada-Nya.

Nah, jika Tuhan sudah begitu bermurah hati pada kita dan tidak 'mbeleneg' mendengarkan permintaan-permintaan kita yang ngeyelan, mengapa kita tak bisa meniru-Nya secuil saja?

Jangan bosan, jika ada orang datang meminta pertolongan padamu.
Bisa jadi, pertolonganmu itu akan menjadi pahala besar yang akan mengantarkanmu ke surga.
Jangan beranggapan, kalo kita menolong orang, maka kita rugi.
Sebaliknya, kita tuh untung banget. Karena berarti tabungan pahala kita bertambah. Ditambahi tabungannya, masa sih gak mau?

Jadi ya, begitulah hihihihi.

Tulisan ini untuk menampar diriku sendiri, yang sering bosan jika ada orang yang terus menerus meminta tolong ini dan itu.

Sabarrrrr ....

Senin, 30 September 2013

Kalau bukan saya, siapa lagi?

Pertanyaan untuk mami-mami: Pernah nggak, kalian merasa capek? Rasanya, semua urusan di dunia ini dibebankan pada kalian?

Saya pernah. Sering!
Bayangkan, saya bahkan sudah nggak pernah lagi merasakan nikmatnya duduk di sofa, memandang TV dengan aneka gosip murahan (yes, I love infotainment, xixixixi), atau film-film yang asoy geboy.

Saya bahkan nggak pernah lagi duduk manis di meja makan, dan bisa makan dengan tenang. Selalu saja saya makan sambil duduk di depan komputer menyelesaikan pekerjaan.

Saya juga nggak pernah lagi pergi-pergi yang "menikmati hidup" karena tiap kali saya pergi, saya selalu membawa rombongan sirkus a.k.a anak-anak.

Capek? So pasti!

Akhir-akhir ini, kelelahan yang saya alami sungguh luar biasa. Saya sampai menangis bombay dan rasanya keseeeeel banget. Tapi, kembali lagi ke pertanyaan tadi : Kalau bukan saya, siapa lagi?

Gerald baru saja masuk SD. Dan tidak seperti Edgard, yang amat mudah memahami hal-hal baru, Gerald ini lemooooot minta ampun (persis saya, ciyus!).
Nah, padahal tau sendiri kan tuntutan SD jaman sekarang? Saya nggak mungkin idealis dengan berkata "yang penting anak happy", "anak-anak seharusnya belum diajari membaca dan menulis" dll dll seperti di teori-teori psikologi.

Teori-teori itu, sudah pasti tidak bisa saya praktikkan di kehidupan nyata. Kehidupan nyata, menuntut anak SD untuk SUDAH BISA membaca, menulis, dan berhitung.

OK, saya nggak masalah. Gerald bisa kok baca tulis dan itung-itung sederhana. Tapiii, ya ampun yang namanya pelajaran SD tuh kan susah setengah mati. Bayangkan saja, Gerald yang masih berwajah bayi itu bengong memandangi saya yang berusaha menjelaskan apa itu catur warga, apa itu sepupu, paman, bibi, kakek, nenek, identitas diri, suku-suku dll dll.

Saya nangis saat mengajari dia. Capek!
Tapi kemudian saya teringat, kalau bukan saya, siapa lagi?
Masa saya tega membiarkan Gerald begitu saja?
Masa saya berdiam diri melihat kebelum-mampuannya?
Kalau bukan saya, siapa?

Lalu, akhir-akhir ini Edgard juga banyak kemauan. Syukurlah, untuk masalah pelajaran, PR, dll saya nggak pusing. Edgard cukup capable untuk mengatasi semuanya sendiri.
Nah, tapi Edgard punya banyak kegiatan. Les Inggris, dan futsal. Selain itu, Gerald juga minta les Inggris, dan taekwondo.
Bayangkan saja, lepas maghrib yang mana seharusnya saya leyeh-leyeh dan makan malam, saya masih harus pontang-panting ngantar mereka ke sana ke mari.

Minggu pagi, jadwal taekwondo dan futsal. Saya, yang seharusnya bisa bobok cantik dan bangun pukul 10.00, terpaksa bangun pagi demi mengantarkan mereka.
Capek? Pastiiiiii ....
Tapi sekali lagi, kalau bukan saya, siapa lagi?

Rutinitas saya mulai dari pagi sampai malam. Syukurlah, saya punya suami baik hati yang mau berbagi pekerjaan rumah tangga. Urusan sarapan anak-anak, dia yang menangani. Urusan setrika baju, dia juga yang menangani.

Mengapa urusan les, belajar, dan antar jemput anak-anak saya yang menangani? Mengapa tidak meminta suami untuk ngajari Gerald?

Jujur saja Mas dan Mbak Bro, saya kalau ndenger suami ngajari anak, malah emosi jiwa sendiri. Lha wong saya aja gak mudheng, apalagi anaknya xixixixi. Jadi, lebih baik saya handle sendiri deh ^^

Yang bisa saya lakukan adalah, menekankan pada diri saya sendiri.

Anak-anak itu adalah titipan YME.
Kalau bukan pada ibunya, pada siapa lagi mereka harus bersandar?
Pada bapaknya? Tentu saja, tapi bapaknya kan punya kewajiban mencari nafkah juga. Jadi, memang porsi kebersamaan dengan ibu pasti lebih besar (meski ibu juga nyari duit, tapi ibu ada di rumah, Bro).
Sampai kapan sih, mereka mau bersandar pada saya?
Paling-paling, lepas SMA nanti mereka udah kuliah di luar kota. Masa mau saya kelonin?

Mumpung mereka masih mau saya anter-anter, maka saya akan jadi tukang ojek setia. Kalau dah SMA, mana mau sih diantar mamahnya?
Mumpung mereka masih membutuhkan saya, saya akan selalu siap berada di samping mereka.
Meski kelelahan luar biasa mendera saya (lelah batin, bukan lelah fisik), tapi saya berpikir bahwa masa depan anak-anak ada di tangan saya.

Jika saya, IBUNYA, tidak peduli, bagaimana nasib mereka kelak?
Akan jadi apa mereka, sedikit banyak IBUNYA lah yang membentuk mereka.

Jadi, setimpalkah perjuangan saya sekarang, dibandingkan dengan hasil yang akan anak-anak saya terima nanti? Semoga ya ....

Saya selalu membawa anak-anak saya dalam doa. Saya bermohon, agar Allah memudahkan kehidupan mereka. Saya tidak bisa menjaga mereka 100%, dan pasti ada pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan sekitar yang mereka terima.
Saya tidak bisa mencegah pengaruh buruk internet, pengaruh buruk pergaulan dengan teman-teman.
Namun, saya bisa berdoa, agar anak-anak saya DIKUATKAN sehingga tidak mudah tergoda dan terpengaruh hal-hal yang buruk tadi.

Udah ah, curhat melulu. Capeeeeekkkk.

What I'm trying to say is : I love my life. Even it seems hard and tough, I still love it. And I love my kids, also my husband.

Huhuhuhu, markitdur yuk.
MEN OF MY LIFE ^^

Senin, 23 September 2013

Today, 7 years ago ...

Today, seven years ago ...

I am a blessed mother. God has given to me two gorgeous boys ^^

23 September 2006 was the date when my Gerald was born. He looks very handsome, and calm.

Time goes by, and now he is seven.
I will miss his baby period. But for me, he will be my baby forever.


Gerald, I love you so much.
Please forgive me for yelling to you (most all the time haha)

I know that you are a kindhearted boy.
I know that you have pleasant personality.
Everybody likes you, even the security in our neighborhood.

You are a funny boy, so everybody calls you 'Mr.Bean'

My son, please stay healthy, stay happy, stay gorgeous, stay being kindhearted, and most of all, please love your God and your family.

Happy 7th birthday, my son.
Nothing I can give to you except my every second pray.

Love you love you and love you!









Makasih fotonya ya Putri ^^

Selasa, 17 September 2013

PROLOG Novel LUPITA - LU PIkir gua pengemis cinTA!





PROLOG

Aaah, what a cute name!”
“Namamu lucu, ya?”
“Kayak nama di buku dongeng.”
Itulah reaksi orang-orang, saat aku menyebutkan namaku, Lupita.

Hmm, andai saja mereka tahu, apa arti di balik namaku.
Sama sekali nggak lucu! Ya, Mama tak bermaksud melucu saat memilih nama itu untukku. Bagaimana mau melucu, jika seorang pria yang Mama sebut “suami”, malah minggat demi wanita lain? Minggatnya pun, pas di hari Mama melahirkan aku.
Sempurna sekali, kan?
Sakitnya pasti seperti luka yang dikucuri cuka, garam, lalu dipanggang di atas bara api.

Namun, Mama adalah perempuan yang kuat. Dia bukan tipe wanita yang meratapi cinta, apalagi mengemis cinta.
“Lu pikir gua pengemis cinta?!!”

Konon itu yang Mama teriakkan saat rahimnya berkontraksi dan mengalami bukaan sepuluh. Aku sulit membayangkannya, bagaimana mungkin Mama bisa berpikir untuk meneriakkan hal semacam itu saat sakit mendera?

Dan… itulah namaku. Lupita, singkatan dari lu pikir gua pengemis cinta?

Seiring bertambahnya usiaku, Mama terus mencekokiku dengan kisah pengkhianatan Papa.
Oya, Mama juga menunjukkan foto Papa padaku. Alasannya sih, supaya kalau aku bertemu Papa—entah di mana dan kapan—aku bisa menonjoknya.

“Hajar sampai bonyok.” Mama menatap foto Papa dengan tatapan yang mengingatkanku pada tatapan ibu tiri di kisah Snow White saat memegang apel beracun dan memaksa Snow White untuk memakannya.

Sepertinya, “racun” kisah pengkhianatan yang Mama beberkan padaku, memengaruhi obsesiku pada pria. Aku tak tertarik pada pria lokal. Menurutku, pria lokal bukanlah pria setia. Aku ngomong begini bukan tanpa bukti.

Lihat saja tayangan infotainment. Hampir tiap hari berisi berita artis pria yang kawin lagi, atau selingkuh. Betul kan? Itu baru artis lho. Pejabat? Pebisnis? Sopir? Tukang siomay? Tukang parkir? Tukang jagal sapi?

Aku cukup beruntung. Dunia kerjaku mendukungku untuk berkenalan dengan banyak pria bule. Dari bincang bincangku dengan mereka, aku menarik kesimpulan bahwa mereka itu romantis dan amat menghargai wanita.

Aku juga menyimpulkan, once a bule said “I love you”, he really means it.
Nggak kayak pria lokal yang doyan mengumbar kata-kata cinta!

Nah, aku berharap, kisah hidupku akan berakhir seperti kisah di buku dongeng.
Live happily ever after,
Princess Lupita menikah dengan Prince Charming Bule.
Yippie!
Namun ternyata, hidup itu tak semulus paha noni Belanda, Jenderal!
Here comes my story…

Senin, 16 September 2013

Mudik yuk Mudiiiik .... (Catatan saat mudik ke Bengkulu, 1-11 Agustus 2013)

Bulan Januari 2013, adalah bulan royalti ^^

Saat melihat angka royalti yang not bad, saya langsung tergiur untuk pergi ke manaa gitu. Padahal, Oktober 2012 kami baru saja ke Singapore. Nah, enaknya ke mana ya?

Saya dan suami pun bersepakat, ke KL!
Akhirnya, saya browsing-browsing harga tiket pesawat ke KL untuk Lebaran. Huaa, ternyata mahal-mahal.

Lalu, saya iseng browsing ke Bengkulu (entah, tiba-tiba kok jari jemari saya tergerak untuk klik Sub-Bengkulu) dan ternyata harga tiket PP untuk satu orang sekitar Rp. 2,2 juta!
Berarti, orang 4 kudu bayar Rp. 8.8 juta dong ya?

Saya pun usul sama suami, yuk kita ke Bengkulu. Dia pun merenung, melamun, dan lalu berpikir keras. Hihihi, kok malah saya yang semangat ngomporin beliau untuk mudik ke kampung halamannya ya?

Saya tau, mungkin beliau enggan karena sudah tak ada orangtua lagi. Ayah dan ibunya sudah meninggal, dan di sana tinggal kakak-kakak dan adik-adiknya.

Namun, keraguannya tak lama. Dia pun ACC, dan yippiee .... kami beli tiket!


Anak-anak pun tak kalah bersemangat, maklum aja, mereka belum pernah tahu kampung bapaknya sih ^^

Dan asal tahu saja, suami sudah tidak pulang Bengkulu selama 15 tahun. Huaaa ...

Akhirnya, tanggal 1 Agustus 2013, berangkatlah kami dengan Lion Air, menuju ke Bengkulu.

Hal pertama yang kami lakukan setelah sampai di sana adalah, ziarah ke makam Ayah. Huaah, makamnya penuuuh, kami sampai harus ajojing disko melewati makam-makam yang lain untuk bisa mencapai makam Ayah. Untung, ada Fajri, kakak ipar saya yang hapal dengan pasti posisi makam :)

Setelah dari makam, kami langsung meluncur ke rumah kakak perempuan tertua, yaitu Uni Titi. Hihi, di sini anak-anak mulai kagok, karena harus memanggil tantenya dengan panggilan "Makdang". Mereka mulai bisik-bisik, apaan sih makdang itu? Ya semacam "budhe" gitu lah. Mau saya sebenarnya, semua kita panggil Om dan Tante aja. Tapi sepertinya nggak bisa ya, mereka sudah ada istilah sendiri. Lagipula, bagus juga biar anak-anak saya tahu istilah dalam kekerabatan ayahnya.

Di rumah Uni, kami buka puasa bersama. Siapa yang paling hepi? Tentu saja suami saya tertjintah. Bayangkan, sudah berapa tahun dia tak bertemu tempoyak dan rendang yang kering begitu?
Udah deh, dia makan sambil merem melek, disapa pun tak peduli. Yang paling penting saat itu adalah piring di tangannya!

Setelah makan, kami action dong ^^


Senangnya, bisa kenal dengan keluarga semua. Selama ini, kami hanya tahu bahwa kakak yang ini sudah nikah, anaknya dua. Kakak yang itu juga udah nikah, anaknya berapa. Sekarang, kami melihat dan kenalan langsung dengan mereka! Anak-anak, tentu saja happy mengenal para sepupunya itu.

Apalagi saat kami ke rumah PakDang (kakak tertua suami), di sana ada "tambahan" sepupu lagi karena Pakdang punya empat anak ^^

Makan, makan, dan makan! Itulah yang kami lakukan selama di Bengkulu ^^

Oh iya, pas hari ke-dua, kami juga mengunjungi Ibu (ibu tiri suami) di rumah Ayah. Sayang, Ibu lagi pergi huhuhu. Jadi kami bengong di teras, sambil nungguin. Sambil nunggu, foto dulu deh generasi ke-2 dan ke-3 bapak Indera Syahfrie hihihi *narsis*


Lah, kenapa fotonya jadi njempalik gini? Ah sudahlah, biarin. Padahal sudah aku rotate loh. Tuh keliatan kan papan namanya Pak Indera? Khas rumah masa lalu ya ^^

Oya, dari Ibu ini, suami saya punya 6 adik. Huaa, banyak ya. We are so big big family! Dan suami pangling pada mereka, karena saat terakhir pulang ke Bengkulu, mereka masih imut bin kiyut. But look at them now, udah jadi cowok ganteng dan cantik! Apalagi yang namanya Gito, sayang sekali kami tak sempat berfoto. Saya sampe ngomong ke suami, kok adikmu bisa seganteng ini? Hahaha *dengan kata lain, kok kamu gak ganteng?*


Tuh kan, cakep-cakep? Dari kiri ke kanan : Suamiku, Rina, Nini, dan Ari. 

Saat malam Lebaran, kami nginep di rumah Ayah. Ibu kayaknya senang banget deh, sama anaknya yang hilang ini, hihihi. Ibu masak macam-macam ^^

Lihat, Ibu masih cantik ya? And I think she's stylish too ...

  Oya, saat mudik ini kami juga menyempatkan diri untuk ke Palembang. Di sanalah, ibu kandung suami saya dimakamkan. Rasanya gimana gitu ya, ngelihat suami elus-elus makam ibunya. Jadi ngebayangin anak-anak saya sendiri. Huhuhu ... ibu suami meninggal saat suami masih berumur empat tahun, hiks. 





Oya, saat di Palembang, saya dibombardir oleh mamah saya untuk mampir ke rumah sepupu beliau. Terpaksa *halah* kami touring mencari alamat. Untuuuung, Om saya itu orang yang cukup terkenal di Palembang (beliau pemilik PO Putra Remaja). Jadi, begitu kami tersesat, tinggal turun ke travel agent terdekat, dan tanya "Kantornya Pak Purnomo di mana ya?" dan orang-orang bisa menunjukkan di mana kantor beliau.  Kami ke kantornya, bertemu dengan anaknya, dan kami diantar ke rumahnya. Jadi, nggak perlu touring lagi deh di tengah macetnya kota Palembang.



Selama di Bengkulu, selain makan-makan, kami juga jalan-jalan. Tapi nanti saya buat terpisah aja ya? Lemot nih uplod foto :((

Pokoknya, perjalanan kami ke Bengkulu ini penuh kesan. Saya baru sekali ini merasakan bagaimana kehangatan sebuah keluarga. Di keluarga saya, bahkan nggak sehangat ini. Keponakan-keponakan saya, cuek aja ama Edgard dan Gerald (ya iyalah, mereka dah kuliah dan SMA). Tapiiii, keponakan2 di Bengkulu ini meski udah gede2, masih aja tuh main kejar-kejaran ama Gerald hihihi. Itu yang bikin anak-anak happy, dan nangis saat meninggalkan Bengkulu. 

Saya berjanji pada anak-anak, untuk cari duit dulu yang banyaaaaak. Nanti, dua atau tiga tahun lagi kita mudik lagi. Soalnya nggak murah :(((

Doakan mamah bisa dapat duit banyak ya kids! Nanti kita maen lagi ke Bengkulu, bertemu sodara-sodara kita yang baek-baek ^^










Rabu, 12 Juni 2013

Edgard dan Gerald mengarang

Sebelumnya, aku tak pernah berpikir sama sekali untuk mengajari anak-anakku mengarang.
Kupikir, belum saatnya lah. Dan aku juga tidak mau ada kesan, seolah-olah aku memaksa anak-anakku.

Namun, mindset-ku berubah saat kupikir-pikir lagi, semua anak harus dibekali skill. Dan sebagai ibu, aku punya kemampuan mengarang. So, kenapa tidak kubudayakan pada anak-anakku?

Untuk Edgard (9 tahun) jauh lebih mudah karena dia sudah lancar menulis. Jadi, dia bisa langsung menuliskan karangannya ke kertas.
Sayang, Edgard belum mau mengetik dengan komputer. Tak apa-apa, aku tak mau memaksa. Jadilah buku tulis bekas, dan kertas-kertas bekas sebagai "kanvas" nya.

Bagiku, itu semua harta karun. Isi tulisannya bermacam-macam. Ada yang bagus, ada yang seadanya, ada yang imajinasinya liar, ada yang yaaah begitu-begitu saja. Tapi, semuanya aku ketik dan aku kumpulkan.

Yang berbentuk puisi, aku kirimkan ke Kompas. Juga yang cerita super pendek.
Sedangkan pengalaman yang lucu-lucu, aku kirimkan ke Bobo. Siapa tahu bisa dimuat di rubrik Tak Disangka.

So far, Edgard sudah mengarang banyak cerita, dan insya Allah dia akan segera punya buku pertamanya. Sekarang sedang dalam proses ilustrasi.

Untuk puisinya, udah pernah dimuat satu kali di Kompas Minggu.













               
Bagaimana dengan Gerald?
Aku memintanya untuk mengarang, dengan cara bercerita.
Dia menghadap cermin, dan bercerita tentang apa saja.
Kalau menurutku menarik, aku akan menuliskan untuknya.

Salah satu ceritanya yang menurutku amat lucu, aku tuliskan dan akhrinya dimuat dalam bentuk puisi di Kompas juga.



Phew, saya tak menyangka curhat Gerald di depan cermin bisa dimuat di Kompas.

Tentu, sebagai ibu saya bangga. Dan sekarang, saya mulai melatih Gerald untuk menuliskan sendiri cerita-ceritanya. Dia kan udah hampir tujuh tahun usianya. Seharusnya udah mulai lancar menulis, hihihi.

Saya tak mau gegabah, saya tak mau instan.
Beragam kursus menulis untuk anak-anak ditawarkan pada saya, dengan iming-iming bakal punya buku.

Tujuan saya bukan itu. Saya tidak memburu "punya buku" sebagai tujuan saya mengajari anak-anak untuk menulis.
Tujuan saya hanya satu : memberi skill sebanyak mungkin pada mereka.

Jika toh akhirnya mereka tidak menjadi seorang penulis profesional, at least mereka punya keterampilan menulis.
Saya percaya, jika mereka terampil menulis, mereka akan terampil pula dalam berbicara dan bersosialisasi.

Aamiin. Ibu mana yang tak mengharapkan kebaikan untuk anaknya?

Go Edgard and Gerald, maju terus!













Today, I'm turning 39!

Today, 12 June 2013, I am turning 2013.

How is my feeling?
Happy, of course.
God is so good to me. He gives a lot of happiness into my life.

What can I say?
A lovely husband, and two smart boys (which are sometimes irritating me, but fine. It means they are healthy boys).

What I would expect from God?
Hmm, no more. God is too good to me.

I only wish that I could bring my boys a bright future, and I wish I could live together with my husband till death do us part.

So, happy birthday to myself!


My lovely husband, Isman ^^









My lovely boys, Edgard and Gerald ^^

Kamis, 04 April 2013

Selingkuh itu (Tidak) Indah

Phew, hari ini aku mau membahas soal selingkuh ah. Purely, ini kegelisahan hatiku yang tidak bisa menerima hal-hal semacam ini, dengan alasan apa pun.

Jadi begini, aku mengenal sebuah keluarga yang biasa-biasa saja, suami istri kerja, anak tiga, dan everything seems normal.

Namun, segalanya berubah ketika sesuatu yang bernama FACEBOOK menghinggapi keluarga ini.
Kejadiannya bermula dari tiga tahun yang lalu.
Si istri yang gaptek, minta pada suaminya untuk diajari fesbukan :)
Dan suaminya pun dengan ikhlas mengajarinya. Facebookan ndak ada salahnya kan?

Hari berganti hari, si istri semakin demen fesbukan. Bahkan, saat aku bertamu ke rumahnya pun, matanya tak lepas dari layar HP.
Ini namanya "mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat"

Akhirnya bisa ditebak, si istri inbox2an dan YM an ama pria beristri, dan ngomongnya nyerempet-nyerempet pake kata "sayang", "cinta" dll.
Si suami tidak tahu, sampai suatu hari si suami melihat history di HP dan laptopnya. Marah besarlah si suami.
Tapi alasan istrinya apa? "Cuma berteman kok. Membuat hidupku lebih berwarna, bahagia, ndak bosan,"

Ya, akhirnya dengan segala cara, si istri tetap berinbox ria. Berulang kali ketahuan, dari cara halus sampai cara kasar si suami bertindak dan merespon, tapi semuanya nggak ngefek sama si istri.
Bahkan, si istri sudah mulai ketemuan di mana-mana, dan bobok-bobok bareng :((

Dari mana aku tahu? Ya dari pengakuan dia sendiri plus dari teman-temannya (yang dia tidak tahu bahwa aku juga kenal teman-temannya)

Singkat cerita, si istri tak mau berhenti. Dia bilang, ini bukan perselingkuhan biasa. Ini CINTA. Si pria katanya MENCINTAInya, tidak seperti suaminya.
Hell no! Saya kenal keluarga ini sudah bertahun2.
Suaminya memang orang rumahan (yang mungkin membosankan), sholat wajib dan sunah rajin banget, puasa juga. Ya bapak2 baik gitu deh, cuma mungkin memang tidak "FUN".

But hey, life is compromise, right?
Anak tiga biji, mau dikemanain?

Tapi, sampai berbusa mulutku berbicara (karena aku menyayanginya, tak mau dia mendapatkan kesusahan di kemudian hari) aku tak digubrisnya.
Malah, di status FBnya, dia menuliskan "Anjing menggonggong kafilah berlalu. Asu ngono njaluke diberangus ae,"

OK,  I stop talking to her. Aku nggak mau dianggap anjing yang menghalangi langkahnya. Aku undur diri dari permasalahannya. Toh, dia yang akan menjalani hidupnya.

Kabar terakhir yang aku dengar, si suami sudah menjatuhkan talak 1, lalu lanjut ke talak 2. Saat ini masih dalam masa talak 2. Dan si istri masih berselingkuh ria dalam masa talak ini.

Saya cuma kawatir, kalo mereka bercerai, bagaimana dengan anak2nya?
Ini gila, wong rumah tangga mereka tidak ada masalah berat, ndak ada masalah berarti. Kok tau2 bisa begini?
Dan, aku sangat takut, setelah bercerai, akan jadi apa si istri ini?
Hidup ngekos di kota lain, menjadi istri kedua si pria?
Asal tahu saja, pria selingkuhannya ini adalah pria pengangguran, yang hidupnya luntang lantung netek sama istri.
Istrinya dokter, anaknya kuliah di kedokteran gigi UGM, dan satu lagi SMA.

Apakah si pria ini akan menceraikan istrinya? Well, rasanya ndak mungkin (meski konon dia berjanji akan segera menceraikan istrinya dan mengawini selingkuhannya).

Aku sungguh berharap perceraian itu tidak terjadi. Bagaimanapun, kasihan anak2nya. Ndak salah apa-apa lho mereka itu. Mbok ya sudah, hidup baik-baik, wong usia sudah di atas 40, kenapa nggak hidup bener aja dan memikirkan cara membesarkan anak-anak dengan baik?

Aku cerewet padanya karena aku menyayanginya. Aku kenal betul keluarganya.
Tapi jika kecerewetanku malah membuatnya bete, ya sudahlah. Undur diri, adalah cara paling baik,

Dan, untuk diriku sendiri, aku introspeksi. Jangan sampai rumah tanggaku demikian, apalagi hanya karena masalah pasangan kita ndak FUN.
Perkawinan adalah kompromi.
Bullshit benar kalau kamu ngomong perkawinanmu yang udah 17 tahun itu tidak dilandasi CINTA, dan hidup serasa diperkosa melulu.

Hey, kamu menikah tanpa dipelet, dan tanpa dijodohkan. Kamu pacaran sudah bertahun-tahun. Naif banget dong alasan itu.

Hueee, kenapa postingan ini jadi emosional ya? Hahaha ... biarlah.
Toh ini hanya intermezzo.
Selingan bagi diriku yang dihadang sederet pekerjaan :)

Yuk ah, kembali fokus bekerja. Masalah orang lain, biarlah menjadi masalah mereka.

Aku telah melakukan apa yg harus kulakukan. Dan hasilnya, serahkan pada Tuhan.

Cap cusss

Senin, 11 Maret 2013

Keajaiban itu Ada

Mungkin, saya terlalu mengada-ada jika menganggap peristiwa ini sebagai kejaiban.
Namun, saya sungguh terperangah mengalami kebesaran Allah.

Ceritanya begini.
Saya membaca status seorang teman di FB, sebut saja A,  yang ingin sekali ikut kelas online dongeng,
Kebetulan, si pengampu kelas online ini (sebut aja Mbak Y) memberikan "wild card" kepada satu peserta, untuk bisa ikut kelasnya secara gratis.
Syaratnya, harus mengirim cerpen padanya untuk diseleksi.

Nah, si A ini mengirim dan berharap dia lolos.
Dia benar-benar berharap agar lolos, karena kalau harus ikut kelas dan membayar, dia tidak mampu. Anaknya sedang mengalami masalah kesehatan, dan uang sejumlah itu akan jauh lebih baik digunakan untuk urusan kesehatan anaknya.

Melihat keteguhan niatnya, saya jadi ingin membantu. Diam-diam, saya mencari tahu, berapa sih biaya kelas online itu? Jika masih dalam batas kemampuan saya, saya akan membayari si A.

Saya menghubungi Mbak Y, si pengampu kelas itu. Darinya saya mendapat informasi biaya.
OK, cukup lumayan. Senilai honor menulis dongeng di majalah anak nasional.

Saat saya sholat dhuha, saya memohon agar Allah memudahkan rejeki saya, supaya bisa membantu si A.
Jadi, andaikata si A tidak lolos wild card, dia tetap bisa ikut kelas itu.

Siangnya, saya chatting dengan teman saya yang lain. A very good friend of mine.
Saya cerita, kalau si A pengen ikut kelas dongeng online.
Di luar dugaan saya, teman saya ini, sebut saja Mbak X, malah menawarkan agar si A ikut kelas dongengnya saja. Gratis.

Saya terlonjak. Kaget, sekaligus senang. Mbak X ini trainer yang mumpuni. Tidak ada keraguan dari diri saya akan kualitas tulisannya, dan kualitas metode mengajarnya.
Saya pikir, si A amat beruntung bisa mendapatkan kursi free di kelas Mbak X.

Dan saat saya bilang bahwa saya akan membayar (karena niat awal saya kan memang mau membayari), Mbak X menolak. Beliau bilang, ini bonus untukku. Sebagai teman curhat (mungkin, haha. GR amat ya aku ini)

Saya bilang ke Mbak X, tunggu dulu. Pengumuman wild card dari Mbak Y adalah sore ini.

Daaan, sore ini saya mendapat SMS dari si A.
Isinya mengabarkan, bahwa dia lah peraih wildcard!!

Subhanallah, saya tak bisa berkata-kata.

Allah memberikan rejekinya pada si A.
Allah juga memberikan rejekinya pada saya (nggak jadi keluar duit, haha)

Allah juga memberikan rejekinya pada Mbak X. Paling tidak, kursi gratisnya bisa didonasikan ke peserta lain yang membutuhkan (punya talenta, tapi kurang kemampuan finansial)

Jujur, saya terharu.
Di dunia maya yang saling serang, saling sindir, saling iri, kami menemukan persahabatan.


Kami semua belum pernah bertatap muka.
Kami juga nggak sering-sering banget ngobrol di FB.
Namun, ada keikhlasan di hati kami untuk saling membantu.

Hebat ya? Tangan Allah bekerja. Jika bukan karena DIA, kami semua tak mungkin melakukan semua itu.

Allah itu hebat. Allah itu ajaib. Dia yang Maha Memberi.

Subhanallah, alhamdulillah.

Semoga dengan wild card yang diperolehnya, si A mendapatkan tips dan trik jitu untuk membuat dongeng yang menarik.
Semoga nanti akan banyak karyanya yang menghiasi media di Indonesia, atau dunia buku anak.

Aamiin.




Rabu, 30 Januari 2013

Singapore Trip Day 3 (29 Oct 2012)

Hiyaa ... lama banget ya bikin kisah perjalanan hari ke-3. Maklum, rempong bin remping ^^

OK, hari ke-3 ini kami jalan sendiri. Tanpa Lisa. Dan kami sudah tahu apa yang kami tuju. Horee, kami akan ke Universal Studio Singapore (USS)!

Tiket sudah di tangan, dan kami naik MRT ke Vivocity mall, dan nyambung naik monorail. Gampang! Karena kami sudah tahu jalurnya kan?

Sampai di sana, persis pukul sepuluh pagi. Suasananya hmmm ya rame gitu deh. Heran juga, ini hari Senin lho. Kok ya rame. Tapi kebanyakan orang Indonesia dan Malaysia sih. Ketauan dari bahasanya, hihi.
Lisa, temanku itu, malah bilang kalau Singaporean jarang yang main ke USS. Bule pun jarang, katanya.

Daaan, inilah kami di USS!

Kalau boleh jujur, sebenernya sih nothing special loh di sini. Aku kok lebih suka ke Dufan, atau Batu Secret Zoo alias Jatim Park 2.
USS ini cuma menang karakter-karakter tokohnya.








Seperti yang lain, kami pun bernorak-norak ria dan berfoto. Apa lagi yang lebih penting daripada suatu perjalanan kecuali foto? Hihi :p











Kami keluar dari USS sekitar pukul empat sore, lalu kami bergegas kembali naik monorail ke Vivocity mall. Di sana, kami makan dulu di pujaseranya. Kami sengaja tidak makan di USS, karena harga makanannya mahal-mahal :)
Cukup bawa kue dan snack saja. Kalau air minum sih gampang, banyak water tap di dalam USS.

Usai makan, kami harus segera meluncur ke Mandarin Hotel. Di sana, kami harus menemui teman Lisa yang bertugas di concierge. Untuk apa? Untuk mengambil tiket Singapore Flyer yang sudah dibelikan Lisa untuk kami.
So, bergegaslah kami ke Mandarin naik MRT, sambil terus bertanya pada orang-orang. Di mana letak Mandarin hotel?

Akhirnya ketemu juga, tiket pun di tangan. Dan kami naik taksi meluncur ke Singapore Flyer.







Dan, usai dari Singapore Flyer, hanya kelelahan lah yang tersisa dari kami. Besok, kami harus pulang ke Indonesia. Rasanya, tiga hari amatlah kurang. Saya bertekad akan ke Singapore lagi suatu saat nanti. Mungkin saat anak-anak jauh lebih besar lagi.

Yang saya tangkap, anak-anak masih kurang menikmati jalan-jalan ini. Mereka lelah harus berpindah dari satu MRT ke MRT lain. Maklum, orang Indonesia biasa naik motor ke mana-mana, nggak pernah jalan kaki pula :((

Lepas dari Singapore Flyer, anak-anak sudah tidak mau naik MRT lagi, dan kami pun naik taksi menuju MUSTOFA. Horee, ini toko yang buka 24 jam untuk membeli segala macam kebutuhan.

Memangnya kami mau apa di sana? Beli oleh-oleh dong :)

Kebiasaan orang Indonesia kan gitu ya, ke mana aja kita pergi, pulangnya harus bawa oleh-oleh.

Kami memilih cokelat, dan gantungan kunci, serta beberapa kaos.

Pulang ke hotel, langsung packing, dan tepaaarrrrrr !!