Rabu, 02 Desember 2015

Keselamatan Anak

Hidup saya, banyak saya habiskan di jalanan.
Ngojek.
Dua anak, sekolah dengan jam sekolah yang berbeda. Si sulung masuk pagi, si bontot masuk siang.
Belum lagi les Inggris, les musik, bimbel, taekwondo dan inkai.
Eaa, banyak nian ya lesnya? Iya, banyak. Suka-suka anaknya kan, mereka yang minta. Kalau bisa sih, saya maunya anak-anak nggak usah les. Hemat Bro, hemat.

Kembali ke pokok permasalahan.
Karena hidup saya banyak di jalanan, saya melihat banyak sekali tingkah polah dan cara orang berkendara.
Salah satunya yang membuat saya tergerak untuk menuliskan hal ini adalah, penggunaan helm buat anak-anak.

Saya, melihat para orangtua yang memboncengkan anaknya, banyak yang tidak memberi helm pada anaknya.
Entah, mungkin mereka beranggapan bahwa helm anak-anak tidak penting. Buktinya, polisi saja nggak nyegat mereka. Berarti, nggak apa-apa kan?
Hmm, sepertinya golongan ini lebih takut pada polisi daripada kerasnya aspal jalanan. 

Atau sebenarnya mereka paham, tapi mereka belum mampu beli helm anak-anak? Memang helm SNI untuk anak-anak, harganya paling murah 150 ribuan.
Buat golongan ini, saya doakan dengan tulus semoga rejekinya lancar dan bisa beli helm ya. Kalau udah ada duit, langsung beli dulu ya. Jangan makan KFC dulu, jangan jajan bakso dulu. Beli helm. Safety first.

Atau, mereka termasuk golongan "yang penting bismillah'?
Oh, kalau begitu, kenapa kamu pakai helm? Orangtuanya pakai helm, pakai masker, si anaknya 'telanjang' gitu aja.
Lalu, kenapa kamu memberi anakmu makanan sehat, pendidikan yang terbaik dll dll? Kan yang penting bismillah. Kalau sudah takdirnya ya terjadilah. Betul, kan?

Wahai orangtua, janganlah egois.
Ingatlah dulu masa pertama punya anak.
ASI diberikan, dengan alasan aku ingin yang terbaik bagi anakku.
Makanan sehat disiapkan, dengan alasan aku ingin anakku sehat.
Tapi, pas jalan-jalan, eh anaknya 'telanjang' gitu aja. 

Kalau ada ibu yang lalai menjaga anaknya, dan terjadi kecelakaan, kita sibuk menghujat dan nyalah-nyalahin ibunya.
Mari, tengok ke diri kita sendiri. Sudahkah kita memberikan hak-hak anak kita?
Salah satu hak anak adalah hak untuk mendapatkan kenyamanan dan keselamatan. Tugas kita sebagai orangtua lah yang menyediakannya.

Janganlah menjadi orangtua yang ibaratnya menaruh anak di pinggir jurang, di mana di bawah jurang itu ada sungai dengan buaya yang menganga.
Maaf jika tulisan saya kali ini tidak menyenangkan.
Saya menulis ini, karena saya sayang pada anak-anak.
Pakaikanlah helm pada anak-anakmu. Sekecil apapun usianya, ada kok helm untuk bayi sekalipun.

Sebuah helm diciptakan bukan tanpa alasan. Dan, apa alasannya, tentu kita semua sudah tahu.

Sincerely,

Dian




(gambar diambil dari google, dari kalbarsatu.com)







Rabu, 18 November 2015

Anak adalah Titipan

Akhir-akhir ini, saya banyak berpikir tentang masa depan sulung saya.
Sekarang, dia kelas 6, dan itu artinya, tahun depan dia harus cari SMP.
Sebagai orangtua, tentu saya mau anak saya mendapatkan pendidikan yang terbaik. Dan, diri ini mulai menimbang-nimbang beberapa alternatif, yang saya sesuaikan dengan kondisi fisik, mental, dan kecerdasan anak saya.

Sayang,usulan-usulan saya bertepuk sebelah tangan.
Anak saya, hanya mau bersekolah di SMP negeri.  It's okay for me, karena toh dia juga saat ini sekolah di SD negeri.
Tapi, saya ngeri membayangkan persaingannya.
Jumlah SMP negeri amat terbatas (yang berkualitas ya), dan SMP itu bakal diserbu tidak hanya oleh lulusan SD negeri, tapi juga SD swasta termasuk SDIT yang bahkan sudah punya SMPIT sendiri!

Belum lagi isu tentang suap, bocoran soal, dll ... membuat saya merinding. Saya bilang ke anak saya, agar lebih baik tak usah terlalu fokus ke negeri. Mari kita coba mendaftar di SMP A, yang sudah terbukti juga kualitas lulusannya.

But he says NO.
Dan dia bilang, kenapa saya begitu pesimis?
Dalam hati, saya bilang bahwa saya nggak sekadar pesimis. Tapi saya juga takut kalau SMP negeri yang dituju itu diisi oleh anak-anak kaya yang berpola hidup borju.
Begitu banyak kegelisahan di benak ini. Namun, sulung saya tetap keukeuh. Tidak mau sekolah lain.

OK, kalau begitu. Tapi saya tetap minta dia untuk daftar di swasta, untuk cadangan.  Dan dia setuju meski itu artinya, saya harus siap kehilangan uang sekian juta rupiah yang sudah harus dibayarkan jika anak saya keterima di swasta namun tidak jadi sekolah  karena keterima di negeri. Pusing ya? Hehe.

Sebenernya, bisa sih saya menggunakan otoritas saya sebagai orangtua.
Sekolah di SMP A, atau nggak usah sekolah. Titik.
Seorang teman menggunakan metode itu pada anaknya. Masuk pondokan, atau tidak usah sekolah. Titik.

Berhasil sih, tapi saya nggak mau memakai metode itu. Saya berpikir bahwa Allah pasti sudah punya rencana buat tiap anak.


Lalu saya teringat akan kalimat "anak adalah titipan".
Dari situ, saya bisa bernapas lega. Ya, anak adalah titipan. Mengapa saya khawatir?
Bukankah Allah menitipkan anak itu pada saya, dan sudah pasti Allah akan melengkapi kebutuhan anak saya?

Coba bayangkan jika kita harus menitipkan anak kita pada tetangga barang sehari. Apa yang kita siapkan?
Susu, makanan, camilan, popok, minyak telon dll. Jangan sampai yang kita titipi kerepotan merawat anak kita. Betul, kan?

Demikian juga dengan anak.
Allah menitipkan anak pada kita, tentu DIA akan melengkapi kebutuhannya. Allah sudah sediakan semuanya. Allah sediakan rejeki bagi kita untuk mengasuh anak, Allah akan sediakan pula jalan keluar bagi setiap masalah.

Ah, leganya ....
Dan saya pun selalu berdoa, bermohon padaNya.
"Ya Allah, Engkau menitipkan anak ini padaku. Allah yang tahu apa kebutuhan anak ini, Allah yang tahu apa yang terbaik untuk anak ini,"

Begitu saja doa saya.
Saya nggak ngeyel minta Allah memasukkan anak saya ke SMP anu, inu, dan unu.
Saya hanya minta, yang terbaik untuk anak saya.

Jadi, buat teman-teman yang sedang lelah dan bingung karena permasalahan anak, legakanlah hatimu dengan berpikir bahwa, anak hanya titipan. Dan, Allah nggak mungkin lepas tangan dengan titipannya.

Yang anaknya sedang sakit berat, percayalah bahwa Allah akan sediakan obat-obatannya. Teruslah berusaha dan berikhtiar, untuk mengambil obat yang sudah Allah sediakan. Teruslah bekerja agar rejekimu dicukupkan untuk membiayai pengobatan.
Ibaratnya, jika seorang ibu sudah menyediakan nasi soto untuk makan anaknya, tapi si anak nggak mau jalan ke meja makan untuk mengambil nasi sotonya, maka si anak tak akan pernah makan dan pasti kelaparan kan?
Allah sudah mencukupkan semuanya. Hanya kita harus berusaha mencari dan mengambil apa yang sudah Dia sediakan, dengan cara ikhtiar.
Kita nggak boleh ongkang-ongkang dan berkata "toh Allah sudah cukupkan semuanya".

Seperti saya, tetap berikhtiar mencari informasi SMP mana yang bagus, berikhtiar memberikan pelajaran tambahan yang terbaik untuk anak saya, dan tentu saja doa merengek pada Allah ^^

Yuk legakan hati, terus berpikir positif karena Allah adalah seperti prasangka umatNya.


















Sabtu, 07 November 2015

Jimat Soto Granat



Jimat Soto Granat


Meta suka sekali makan soto. 
Dia punya warung soto favorit. Namanya Warung Soto Granat. 
Disebut soto granat, karena pembeli boleh meminta banyak cabe untuk diuleg dan dicampur kuahnya. Rasa pedas kuah soto itu mirip granat yang meledak. 

Warung Soto Granat tak pernah sepi pembeli. Sepertinya, semua orang ketagihan makan di sana. Padahal, harga semangkuk soto granat tidak murah. Tapi sepertinya orang-orang tak peduli harga. Yang penting, sotonya enak. 

Siang ini, Meta merayu Mama untuk makan soto granat. Mama menolak, karena Mama sedang puasa.
“Kalau kamu mau, bungkus saja ya? Sekalian buat Mama buka puasa nanti,” kata Mama.
Meta setuju, dan dengan suka hati berangkat ke warung. 

“Pak, bungkus dua porsi ya,” pinta Meta.
Dengan cekatan, Pak Tio pemilik warung menyiapkan pesanan Meta.  Saat Pak Tio mendulang kuah soto dari dalam dandang, mata Meta membelalak dan wajahnya memucat.
Meta melihat sesuatu dibungkus kain putih, tersangkut di kuah yang didulang Pak Tio. 

Pak Tio buru-buru menyingkirkan bungkusan itu, dan kembali mencemplungkannya ke dalam kuah.
Tiba-tiba perut Meta terasa kenyang. Dia tak lagi ingin makan soto. Dia pernah mendengar cerita Mbah Parti tukang urut langganan Mama.
“Ada orang jualan yang suka memakai penglaris. Pakai jimat. Biasanya jimatnya dibungkus kain putih,” 
 Meta lalu melihat sekeliling. Pantas saja warung ini begitu laris. 

“Ini pesananmu,” lamunan Meta buyar saat Pak Tio menyodorkan dua bungkus soto padanya.

Di rumah, Meta tak berselera makan. Tentu saja Mama heran. Dan Meta pun mengutarakan alasannya.
“Pantas saja warung itu laris. Pak Tio memakai jimat!” Meta lalu menceritakan bungkusan kain putih yang dilihatnya tadi.
“Mungkin itu isinya ekor tikus? Atau sayap jangkrik?” kata Meta lagi.
“Hus! Memangnya Pak Tio tukang sihir?" tegur Mama.
“Suudzon alias berprasangka buruk itu tidak baik. Sudahlah, ayo makan. Kamu belum makan dari tadi,” kata Mama. 

Tapi, Meta bersikeras. Dia tak mau makan soto itu. Meta bersikukuh bahwa apa yang dilakukan Pak Tio adalah syirik. Dan itu dosa besar.
“Aku nggak mau terseret dosa Pak Tio,” kata Meta, “aku akan memberitahu teman-temanku tentang hal ini. Jangan sampai mereka makan di sana lagi,”

Mata Mama melotot.
“Meta, jangan menyebar suatu berita yang kamu tidak tahu kebenarannya. Jangan pula berprasangka buruk. Memangnya kamu yakin kalau itu jimat? Mengapa kamu tak menanyakan langsung pada Pak Tio tadi?”
Meta terdiam. Wangi aroma soto menggelitik hidungnya. Mama benar, kenapa dia tak bertanya saja pada Pak Tio?
“Tabayyun ya, Ma?” Meta pun kembali melesat ke warung soto granat.

Pak Tio menyambut Meta dengan wajah heran. “Mau beli lagi? Atau, ada yang ketinggalan?”
Dengan suara pelan, Meta berbisik, “Sebenarnya saya mau tanya. Tadi, ada bungkusan kain warna putih dari dalam kuah soto. Itu apa, Pak?”
Pak Tio tak menjawab, melainkan mengaduk kuah sotonya dan mengangkat sesuatu.

“Maksudmu, ini? Hehe, ini bumbu-bumbu tambahan supaya soto lebih sedap,” Pak Tio lalu membuka bungkusan kain putih itu. Isinya lengkuas, serai, daun jeruk, dan daun salam.
Wajah Meta berubah cerah, “Saya pikir semua bumbu itu diuleg,”
“Ya, tapi Bapak menambahkan ini supaya lebih sedap. Bapak membungkusnya, supaya tidak kocar kacir di dalam kuah,” 

Pak Tio lalu memandang Meta curiga. “Hayo, tadi kamu mengira ini apa? Jimat ya?”
Meta tersipu. “Hihihi, maafkan saya Pak. Makanya, saya tabayyun dulu. Mencari penjelasan pada Pak Tio,”
Dengan hati lega, Meta pulang ke rumah. Dia mengayuh sepedanya cepat-cepat, karena perutnya berisik minta diisi. Semangkuk soto yang pedas pasti enak!

                                                                              ***



Rabu, 04 November 2015

Warna-warni para penulis di FBF 2015

Frankfurt Book Fair alias FBF 2015 telah usai.
Hingar bingar euforia Indonesia sebagai guest of honor pun usai.

Saya, yang dianugerahi kesempatan oleh Allah untuk melongok kemeriahan FBF, sungguh bersyukur bisa menginjakkan kaki ke pameran buku terbesar ini.

Saya bersyukur, di arena itu saya bertemu dengan para penulis terkenal, yang membuat saya belajar banyak tentang attitude penulis.
Ya, attitude penulis ... utamanya penulis yang udah terkenal dan mendunia ^^
Diam-diam, saya belajar banyak dari attitude mereka.

Pertama-tama, saya ketemu dengan Donny Dhirgantoro 5 cm di Soeta.
Beliau, "dititipkan" ke rombongan BIP dan tidak berangkat bersama tim Grasindo. Pertamanya, saya tidak tahu siapa beliau.
Beliau juga duduk santai di meja sebelah, sambil ngebuka bungkus rokok yang hendak dibawanya ke Jerman hihi.

Setelah saya tanya ke Bu Noni (BIP) eh saya baru ngeh kalau dia ini Donny yang termahsyur.

Tingkah lakunya nggak nunjukin kalau dia "eh gua terkenal lho kok kamu gak nyapa gua sih". Biasa aja, sibuk dengan bungkus rokoknya haha.

Akhirnya, saya pun minta foto bareng dia. Ya iyalah, penulis best seller gitu lho. Rugi banget kalo gak sampe foto bareng hihihi. Dan, Mas Donny menanggapinya dengan sangat baik.

Selama di Frankfurt pun, kami beberapa kali ketemu di lobi dan dia sangat "biasa" aja.  Bahkan di suatu malam, saat saya beli kentang ke stasiun, saya sempet ngobrol panjang dengannya sambil makan kentang.

Di situ saya belajar banyak dari dia, bahwa jadi penulis itu harus menghargai dirinya sendiri. Penulis, nggak usah pamer kemenderitaan hidup di socmed.
Nah, saya setuju banget tuh.
Dan beliau berpesan, niatkan setiap tulisanmu untuk membawa manfaat bagi sesama. Kalo bermanfaat, orang suka. Dan biasanya reward berupa materi akan datang sendiri.
Setujuuuuu pake buanget!
Dari beliau, saya belajar bagaimana harus bertingkah laku di socmed. 

Selain Donny, saya sempat ngobrol dengan Ahmad Fuadi yang masya Allah, ramah dan santun.
Beliau mauuuu aja diajak foto bolak balik sampe elek hihihi.
Padahal, beliau kan penulis super duper terkenal?
Ah, dari beliau saya belajar keramahan dan kerendahan hati seorang penulis.

Lalu, ada juga Ika Natassa. Pertama kali, bayanganku nih, Ika Natassa itu orangnya cuek. Ternyata oh ternyata ... rame grapyak dan becanda melulu.
Dari beliau, saya belajar  bahwa jadi penulis tuh yang asik-asik gini deh. Dijamin, orang betah deket dengannya :p
Akrab dengan pembaca, itu penting buanget!

Juga Andrea Hirata yang gak sengaja ketemu di hall 5. Saya menyapa dia, dan dia merespon baik. Tapi lalu ada teman dia menyapa, dan Andrea menyambutnya dengan akrab dan berpelukan. Saya tercuekkan, tapi Andrea dengan cepat menyadari dan segera kembali ke saya.
Beliau langsung minta temannya untuk fotokan kami, dan saya disuruh bawa bukunya. Dia juga mendoakan saya agar buku2 saya bisa selaris buku dia. Aamiin!

Begitulah ... sebenarnya masih ada penulis-penulis lain, yang saya gak sempat ngobrol tapi saya sempat foto bersama mereka.

Oya, apa semua baik-baik?

Ngg ... nggak juga.
Setidaknya, saya ketemu dua penulis yang subhanallah bikin saya ngelus dada.

Yang pertama, penilaian saya mah subjektif banget nih. Dia tidak berdiri dari kursi ketika saya menyalami dan memperkenalkan diri. Trus, dia juga tidak merespon apapun yang saya ucapkan dan tanyakan, kecuali "oh, hmm, ya".
Senyum pun tidak ...
Dari beliau, saya belajar bahwa secapek apapun seorang penulis, jika fans menghampiri, mbok ya o senyum dikit meski fake.

Yang kedua. Penulis yang barusan saya googling wajahnya, ternyata terkenal hahaha.
Sikapnya memang bak artis. Duduk mejeng sambil foto-foto dan sempet kesel ke saya (lewat pandangan matanya) ketika saat dia mau foto, saya cuek lewat di depannya untuk nganter tamu duduk di kursi.
Lalu, dia lewat di depan saya, sambil mengambil meraup permen penuuuuh setangkup tangannya (yang mustinya untuk pengunjung) sambil bilang "Aku ambil banyak ya!"
Dari beliau saya belajar, bahwa nggak semua orang kenal kita meski kita terkenal buanget. Buktinya, saya gak kenal dia dan baru tau namanya setelah saya googling wajahnya. Jadi, jangan anggap semua orang akan terkencing-kencing pada kita karena kita super terkenal :)
Dan, dari beliau saya belajar, musti mengendalikan diri ketika ambil barang gratisan di muka umum.

Nah, dari para penulis itu saya belajar attitude. Baik yang bersikap nice, maupun bersikap kurang nice. Semuanya bisa memberi pelajaran buat saya.

Selain mereka-mereka yang saya sebut, banyak juga orang terkenal yang ramah. Contohnya Pak Bondan mak nyus, Om William Wongso, juga Bu Sisca.

Bahkan, Bu Murti Bunanta si maestro buku anak yang saya dengar orangnya "tegas" pun, ketika saya ajak foto dan kenalan, bersikap ramah dan welcome.

Juga Eka Kurniawan yang konon pendiam, ketika saya sapa juga menanggapi dengan baik (setengah heran melihat saya nyerocos ngaku-ngaku sebagai kakak kelasnya).
Meski pendiam, Eka merespon semua ucapan saya dengan jawaban yang santun. Bahkan, sempat melontarkan sedikit "gosip" tentang teman-teman Filsafat UGM yang kami kenal.

Jadi, kesimpulannya: kesan pertama itu penting. Meski kita jutek, galak, acuh, cuek atau apalah apalah, kesan pertama haruslah baik.
Bagaimanapun, tak ada penulis jika tak ada pembaca. Setuju, kan?

Yuk para penulis, jaga sikap jaga hubungan baik dengan semuanya ^^

Terimakasih pada para penulis terkenal itu yang telah memberi saya pelajaran berharga.









Kamis, 08 Oktober 2015

10 Nilai Kebajikan yang ada di Dongeng/Cerita Rakyat Indonesia

Saya cukup terkejut ketika seorang teman bercerita, bahwa guru di sekolah anaknya, melarang adanya buku cerita rakyat alias dongeng nusantara di perpustakaan sekolah.
Wow!
Antara takjub dan gemes deh saya, apalagi mendengar alasannya. Konon, dongeng nusantara itu isinya syerem-syerem. Full of sihir, mejik dan kekejaman.

Ah, siapa bilang? Memang ada sih, dongeng nusantara yang begitu. Tapi kan, tidak semua buku dongeng nusantara/cerita rakyat yang beredar di pasaran, memuat cerita seperti itu?

Contohnya, buku saya ini dong *iklan*






Saya kok, malah senang ya jika anak-anak mengenal dongeng negerinya sendiri. Begitu buanyaaaak dongeng nusantara yang berisi ajaran kebajikan.
Memang, beberapa dongeng memakai bumbu mejik untuk penyedap cerita. Supaya ceritanya seru ... namun lihatlah pesan moral yang diangkat dongeng tersebut. Jangan ngeliat mejiknya :))

Nah, itulah tugas orangtua untuk mendampingi anak. Jangan malas, Pak dan Bu.
Jangan ngomong, "Kita orangtua kan nggak bisa ndampingi anak terus,"

Idih ... no comment deh saya kalau ada yang ngomong gitu.

Mau tahu apa saja contoh nilai kebajikan yang bisa kita dapatkan di cerita rakyat Indonesia?

1.  Kesuksesan, tidak bisa diraih dengan cara instan - Roro Jonggrang
2.  Menepati janji - Terjadinya Danau Toba
3.  Menghormati dan menyayangi orangtua - banyak nih cerita yang mengajarkan ini
4.  Jangan serakah - Semangka Emas
5.  Berhati-hati dengan ucapanmu, karena ucapan adalah doa - Puteri Ular
6.  Jangan menilai orang dari fisiknya saja. Usaha, kerja keras, dan doa bisa menjadikan seseorang sukses - Bujang Katak
7.  Berhati-hati dalam mengambil keputusan. Sesal kemudian tak berguna - Legenda Pulau Kemaro
8.  Jadilah orang yang pemurah, dan jangan suka iri pada orang lain - Si Bungsu
9.  Setiap masalah ada jalan keluarnya. Tenang, dan jangan panik - Buaya Perompak
10. Bersikaplah tegas, jangan mudah bimbang sana bimbang sini - Si Lebai

Nah, ini hanya 10 saja. Sebenarnya masih banyaaak nilai kebajikan yang bisa kita dapatkan dari cerita rakyat Indonesia.

Jadi, tunggu apa lagi? Bacakan cerita rakyat Indonesia pada anak-anak kita. Sekali dayung, dua tiga pulau terlalui.
Anak jadi mengenal budaya nenek moyangnya, sekaligus mendapatkan nilai kebajikan yang luhur ^^







Sabtu, 03 Oktober 2015

Precious time with my kids -- Mendongeng adalah kegiatan favorit kami sebelum tidur

Beberapa orang memandang saya dengan "ngeri" ketika saya bilang, saya masih mendongeng pada anak-anak.
Mungkin mereka pikir, saya ini ibu kurang kerjaan. Anak udah usia 12 tahun dan 9 tahun kok masih didongengin.
Bukankah mereka sudah bisa baca? Baca sendiri dong! Masa minta dibacain Mama, apalagi sambil meminta Mama untuk mengubah-ubah intonasi, plus nambahin nyanyian-nyanyian merdu untuk mengantar kalian ke peraduan? Emangnya kalian anak TK?

Bo abo ... jangan gitu dong Bu, Pak.
Saya bukan ibu kurang kerjaan. Namun saya ibu yang tidak mau kehilangan golden moment bersama anak-anak saya.

Saya berprinsip, selama anak-anak saya meminta, saya pantang menolak.
Mereka minta dinyanyikan nina bobo sebelum tidur, monggo.
Minta didongengin yang saya karang-karang sendiri? Monggo.
Minta mendongengnya sambil puk puk pantat mereka biar cepat bobok? Monggooooo

Bu, Pak ... anak-anak kita itu cepet gede lho. Tau-tau nanti mereka dah minta nikah hihi. Jadi, sebelum waktu itu datang, manfaatkanlah waktu yang ada sekarang ini untuk menjalin kedekatan emosional dengan mereka.

Saya pribadi, selalu meluangkan waktu di malam hari untuk sekadar "ngelonin" anak-anak. Membacakan cerita pada mereka, atau mengarang bebas, sambil nyanyi dan puk puk pantat.
Percaya nggak, untuk melakukan semua itu, hanya butuh waktu selama 10-15 menit saja.
Jadi, bohong ah kalau Bu dan Pak bilang "nggak ada waktu".
Masa sih, hanya sepuluh menit sehari nggak ada?

Jangan pula berpikiran, kan anak-anak sudah besar. Bisa dong baca sendiri?
Bu, Pak ... mereka minta dibacakan bukan karena mereka nggak bisa baca. Mereka minta dibacakan karena mereka kangen sama kita, orangtuanya!
Mereka ingin ngobrol-ngobrol sama kita, bercanda ria sebelum tidur.

Saya banyak melihat, orangtua yang anaknya sudah mencapai usia pre teen, cenderung abai dengan kedekatan emosi ini. Mereka pikir si anak udah pinter dan mandiri. Jadilah si ortu sibuk sendiri, dan si anak pun sibuk sendiri dengan gadget yang dibelikan ortunya :D

Kenapa orangtua senang menimang-nimang anak pada saat kecil saja?
Mengapa saat anak beranjak gede, orangtua malas menimang dan menyenangkan anak?
Apa para orangtua ini takut kalau anaknya jadi "si anak mama"?

I assure you. Nggak ada jeleknya kok dengan jadi anak Mama ^^ daripada jadi anak Bang Napi hehe.  Joking. No offense.

Anak-anak saya, bukan anak Mama.
Mereka cenderung mendorong-dorong saya untuk pulang kalau saya nongol di sekolah, seolah mereka malu kenapa ada Mama mejeng di sekolah.
Tapiiii, begitu di rumah dan naik ranjang, mereka selalu mencari-cari saya dan "cerita dulu dong Mah,"

Saya menikmatinya.
Mau sampai umur berapa pun, kalau mereka minta tetap akan saya turuti.

Nggak perlu saya beberkan kan, manfaat mendongeng bagi perkembangan anak-anak?
Di google udah banyak dibahas.
Saya bukan psikolog.
I am just a mom.


Jadi, apa kegiatan favorit Pak dan Bu sebelum tidur?




picture taken from dailymail.co.uk

Rabu, 23 September 2015

Me? Go to Frankfurt? Ah, masa sih? Eh, bener ya?

Tahun lalu, Bu Noni Timotius dari BIP mencolek-colek saya dan memberitahukan bahwa akan ada rencana BIP untuk memberangkatkan penulis ke Frankfurt Book Fair (FBF).
Saya mah adem ayem saja, soalnya dalam benak saya, yang dikirim pasti bukan saya, hehe.

Lalu, Bu Noni menjelaskan bahwa syarat untuk bisa dikirim ke FBF adalah penjualan sekian bulan harus mencapai sekian rupiah. Waktu itu, Bu Noni belum memberi kepastian, berapa jumlah yang harus dicapai. Kayaknya masih dihitung-hitung dan mencari pencerahan deh.

Waktu bergulir.
Akhir tahun. Bu Noni kembali mencolek saya dan memberitahukan bahwa program ini confirmed. Yang bakal dihitung adalah sales Januari-Juli 2015. Minimal angka penjualan yang harus diraih adalah 1 milyar rupiah.

Hoaa. Itu angka gede banget. Dan saya bukan tipe orang yang bisa jualan. Saya mah jualan buku hanya jika ada yang pesan. Jadi sekalian saya pesankan. Jumlahnya pun tak banyak. Paling-paling 20-100 eksemplar tiap kali jualan. Hiks. Dikit ya.

Saya tak mau berharap. I am not a dreamer. Saya tahu, selain saya ada kandidat lain yang juga dihubungi Bu Noni (ya, yang dihubungi hanyalah penulis yang kira-kira berpotensi untuk mencapai angka itu. Jadi tidak semua penulis dihubungi).

Waktu itu saya cerita ke suami, dan suami hanya bilang "Kalau rejekimu, ya kamu dapet,"
That simple.
OK. Namun, bukan berarti saya duduk manis dan tak berusaha. Apalagi, Bu Noni and BIP team all out dalam mendukung penulis untuk mencapai angka ini.
Toh, kalau saya tidak terpilih, tetap saja ada hasil yang bisa saya petik kan dari usaha saya nanti? Minimal, royalti nambah, dan orang-orang semakin kenal saya.

Berbagai usaha mulai saya lakukan. Nggak usah saya ceritakan semuanya ya. Saya ceritakan saja satu usaha yang cukup berkesan bagi saya.
Saya menghubungi sahabat, saudara, dan teman-teman. Saya minta tolong mereka untuk promo buku saya. Nggak usah macem-macem promonya. Cukup posting foto cover buku saya, dan tulis harganya saja. Posting foto boleh di BBM, di WA, di FB, di twitter or whatever socmed.

Beberapa teman menyambut dengan riang gembira dan tulus ikhlas. For them, makasih banyak dan hanya Tuhan yang akan membalas kebaikan hati kalian. 
Penulis-penulis "papan atas" pun memajang foto buku saya. Salah duanya adalah Monica Anggen, dan Dewi Rieka. Siapa yang tak kenal mereka? Sungguh terlalu ....

Lalu teman-teman saya juga gotong royong memajang foto saya. Jadi kalau liat contact BBM, itu display picturenya kembaran semua. Bukunya Dian Kristiani! Hihihi.

Alasan saya sih simple saja. Setiap orang punya teman, dan temannya pastinya banyak yang punya anak. Mungkin mereka belum kenal dengan saya. Nah, dengan promo cover itu, temannya teman saya bisa kenal saya *mbulet*.

Makasih juga untuk kakak tertua saya, Jubing Kristianto, yang punya fans segambreng, dan dia mau memajang cover buku saya juga.

Oya, saya tak sembarangan memilih teman yang saya mintai tolong. Takutnya nanti orangnya keberatan, atau menolak (ada sih yang langsung bilang "temen-temenku gak suka baca kok"). Nggak apa-apa, namanya juga minta tolong kan.

Akhirnya saya fokus saja. Yang saya mintai tolong itu sahabat-sahabat SMA saya (yang sudah pasti saya kenal hatinya), teman-teman penulis non buku anak (supaya tidak ada konflik kepentingan), dan ibu-ibu yang baik hati (seperti Mbak Indah Ip, Shinta Handini, Irma Irawati --eh Irma nulis buku anak ding ya, tapi hatinya mah baiiiik banget, Ratna Precious One, Elizabeth dll).

Saya pribadi pun melakukan promo-promo "terselubung" demi mendongkrak penjualan buku saya. Hihi, apa ya? Nanti diceritain di postingan terpisah deh.

Singkat cerita, bulan Maret 2015, Bu Noni mengupdate angka penjualan saya. Katanya sih, saya nomor 1.
Bulan April, eh masih nomor 1.
Saya, yang tadinya nggak begitu berharap, jadi berharap banget. Hahaha.
Saya semakin giat promo, semakin giat mencari peluang (dan terimakasih pada Diknas yang menyelenggarakan lomba cerita rakyat. Berkat lomba ini, buku cerita rakyat saya juga naik penjualannya).

Akhir bulan Mei, Bu Noni mengabarkan bahwa angka penjualan saya sudah 1M. Dan tak lama kemudian, beliau juga mengkonfirmasi bahwa saya berangkat.
Alhamdulillah. Sujud syukur  Check paspor. aih masih lama masa berlakunya. Aman!
Dan akhir bulan Juni, saya menutup penjualan di angka 1.5M untuk 42 judul buku.



 Oya, dari 1.5M ini, penjualan terbesar disumbang oleh buku "100 Cerita Rakyat Nusantara". Buku ini angka penjualannya lebih dari 500 juta rupiah. Udah pada punya belum? Yang sudah punya, terimakasih ya. Yang belum punya, beli yuk :))



Sekitar akhir Juni, Bu Noni kembali membawa kabar gembira (ini orang kayaknya memang diberkati sebagai pembawa kabar gembira deh), katanya ada satu penulis lagi yang mungkin bakal ikut karena salesnya juga bisa mencukupi. Waaah, saya jadi senang. Berarti saya nggak sendirian.

Saya langsung nebak, "Watiek ya?" dan jawabannya ho oh.

Saya menghubungi Watiek. Apalagi kalau bukan untuk jadi cheerleader, hahaha. Ayo Watieeeek, terus jualaaaan. Kamu harus ikut, biar Sidoarjo harum namanya kayak Ibu Kartini.
Alhamdulillah, Watiek ikut juga ke FBF. Rasanya saat itu pengen berpelukan ala teletubbies sama Watiek.

Bukan cuma saya yang senang, suami saya juga ikut hore-hore ketika tahu Watiek terpilih juga. Kata dia "biar kamu ada temannya". Hihi, baik ya suamiku ini.

Singkat cerita, kami berdua mulai siap-siap. Yang pertama tentu saja bikin visa. Urusan visa ini kami dibantu oleh travel agent langganannya Gramedia group.
Tanggal 27 Agustus, saya dan Watiek ke kedutaan Jerman untuk wawancara visa. Ternyata gak serem. Wong maju berempat, dan cuma ditanya dari mana dan mau apa ke Jerman. Yang njawab juga Bu Noni, kami berdua mingkem. Tiwas grogi.

Jangan lupa, mejeng dulu di gerbang kedutaan. Haha!


Visa beres.
Apalagi ya?
Oya, cari pinjeman coat, jaket, dll. Hihi, kalau beli kan mahal ya. Untung ada my best buddy Elizabeth yang meminjamkan perlengkapan perang pada saya.
Juga Irma Irawati, yang minjemin coat. Bersyukur bersyukur, hidup saya dikelilingi orang-orang baik.

Akhirnya, 22 September kemarin, keberangkatan kami berdua diumumkan di acara Writer's Gathering BIP.
Tiga bulan lebih saya menahan diri untuk tidak "pamer" di socmed, hahahahaha. Sulit lho menahan diri itu. Hihi.

Kami berdua hanya berharap, kami diparingi kesehatan dan kekuatan, agar bisa berangkat ke FBF dengan selamat, sehat, dan bisa melaksanakan tugas dengan baik (tugas kami: tebar pesona agar buku-buku BIP dilirik oleh penerbit asing).

Semoga kami berdua juga bisa sebanyak-banyaknya menyerap informasi, pengetahuan baru, dan apapun itu sehingga bisa kami bagikan nanti sepulang dari sana.

Last but not least.

I am nothing without you, all of my readers.
I am nothing without you, BIP team.
I am nothing without you, my lovely illustrators.
I am nothing without you, all of my family and best friends. 
I am nothing without you, Allah.







Dian Kristiani
Selamat Idul Adha untuk teman-teman semua. 







Kamis, 27 Agustus 2015

Hak si Miskin



Masa kamu mau merampas hak orang miskin?
Deg … dada saya serasa berhenti berdetak saat Ayah saya mengucap kalimat itu. 

Saya berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Bisa dibilang, cukup miskin. Orangtua saya adalah kontraktor sejati, alias selalu ngontrak rumah. Pekerjaan Ayah juga tak jelas. Kadang ada kerjaan, kadang tidak ada. Dan terakhir, Ayah bekerja pada saudaranya. Dengan gaji seadanya, pas untuk menghidupi seorang istri dan enam orang anak. 

Saat saya kuliah, saya merasa harus meringankan beban orangtua saya. Lalu, saya pun mencari informasi beasiswa. Yang paling terkenal saat itu adalah beasiswa Supersemar.
Saya membaca semua persyaratannya, dan saya merasa layak mendapatkannya. Nilai-nilai saya memuaskan,  saya yakin saya bisa meraih beasiswa itu.
Lalu, saya bilang ke Ayah. Saya berharap beliau bangga karena memikirkan keadaan orangtua. Hehe, tapi ternyata saya salah.
“Masa kamu mau merampas hak orang miskin?” mata Ayah melotot saat saya bilang mau mengajukan beasiswa Supersemar.
Tentu saya bingung, apa maksud Ayah?
Lalu, Ayah berpanjang lebar bilang bahwa beasiswa Supersemar itu diperuntukkan untuk orang-orang kurang mampu.
“Bukannya kita masuk kategori itu?” tanya saya.
Dengan jujur, Ayah mengiyakan. Tapi, Ayah menandaskan bahwa di luar sana, masih banyak yang hidupnya lebih miskin dibanding kami.

Saya lalu teringat pada beberapa teman di kampus. Ayah benar, ada teman-teman lain yang jauh lebih miskin daripada saya.  Saya bisa melihatnya dari tempat kost mereka yang kumuh, isi kamar mereka yang nyaris tak ada apa-apanya, kebiasaan makan sekali sehari dengan lauk tempe, dan baju mereka yang lusuh dan itu-itu saja.
Saya, masih bisa kost di tempat yang layak (meski sering nunggak). Saya juga masih bisa naik bus ke kampus, nggak perlu jalan kaki.
“Ayah yang akan membayari kuliahmu. Meski kamu harus hidup hemat, tapi yakinlah. Kamu nggak bakal putus kuliah,”

Ayah saya menepati janji.  Saya lulus kuliah, cum laude, tanpa beasiswa. Dan saya bangga akan hal itu.
Ucapan Ayah saya terngiang sampai sekarang, saat saya sudah menjadi istri dan ibu dua orang anak.

Suami saya bukan orang kaya. Tapi kami hidup berkecukupan. Kami punya rumah (meski tipe 4L alias lu lagi lu lagi), punya mobil (meski tipe low cost green car), dan kami punya penghasilan (meski belum bisa untuk beli tas Hermes bahkan yang KW sekalipun).
Nasihat dari Ayah, saya pegang teguh sampai saat ini. Jangan merampas hak orang miskin.
Jujur saja, saya sering bengong melihat antrean mobil-mobil pribadi untuk beli premium. Apalagi kalau ada pengumuman besok harga naik. Wah, antrenya mengular. Mobilnya pun bukan low cost green car kayak saya. Mobil di atas 400 jutaan juga tabah mengantre.
Waduh, bukankah premium itu BBM bersubsidi? Dan yang namanya subsidi, tentunya untuk orang yang patut disubsidi kan ya? Siapa yang patut disubsidi? Masa orang yang bisa punya mobil segitu bagus minta disubsidi?

Belum lagi masalah elpiji. Seorang teman mengeluh di status facebook-nya. Katanya, sekarang elpiji mahal sekali. Ketika saya tanya, berapa? Dia menjawab harga elpiji 3 kg.
Terus terang, saya terhenyak. Saya tahu dia bukan orang miskin. Seingat saya, elpiji 3 kg adalah elpiji bersubsidi yang diperuntukkan untuk rumah tangga berpenghasilan di bawah Rp.1,5 juta. Sedangkan teman saya ini, adalah istri seorang pegawai yang cukup lumayan. Saya juga tahu dia punya mobil, dan rumahnya pun tidak sesempit rumah saya. Selain itu, dia juga bekerja.
Jadi, mengapa dia memakai elpiji 3kg?

Pantas saja, saya sering membaca di koran, masalah kelangkaan elpiji 3 kg. Rupanya, si tabung melon ini sekarang nangkring di rumah orang-orang mampu.  Jadi, yang masyarakat miskin, silakan kembali mencari kayu bakar. Elpiji 3 kg bukan untukmu. Sedih.
Saya tahu, sekarang ini harga-harga melonjak gila-gilaan. Tapi saya tetap teguh pada pendirian. Selama saya masih bisa membayar, berarti saya tak boleh merampas hak orang miskin.

Dan, saat suami saya menggoda saya untuk mengantre beras operasi pasar BULOG, saya pun tersenyum manis.
“Berapa selisihnya? Lebih baik aku berusaha cari tambahan uang untuk beli beras. Lebih banyak orang yang layak membeli beras dengan harga itu,”
Saya serius dengan ucapan saya. Saya memilih untuk mencari tambahan uang untuk mensiasati kenaikan harga-harga.
Menulis adalah salah satu cara saya mencari uang.  Saya rasa itu lebih baik daripada saya harus merampas hak orang miskin.
***

Kamis, 25 Juni 2015

Rangkaian Bunga (diambil dari buku Kumpulan Cerita Peribahasa)



Judul buku : Kumpulan Cerita Peribahasa
Isi : 200 halaman full color (100 cerita)
Illustrator : Indra Bayu
Penerbit : BIP (Bhuana Ilmu Populer)
Harga : Rp120,000,-


Rangkaian  Bunga
“Tambah air tambah sagu”
(Bila bertambah pekerjaan, maka bertambah pula upah atau gajinya)

Nyonya Arista memiliki toko bunga. Penduduk Kota Florita selalu memesan bunga di tokonya. Pesta pernikahan, ulang tahun, dan pesta lainnya serasa tak lengkap tanpa rangkain bunga dari toko Nyonya Arista.

Sehari-hari, Nyonya Arista dibantu oleh Gina. Gina bertugas mengantar rangkaian bunga pada pelanggan. Selain itu, Gina juga yang melayani para pembeli dan mencatat pesanan.
 Gina amatlah rajin. Ia tak pernah membuang waktunya sia-sia. Di saat senggang, ia belajar merangkai bunga. Hasil rangkaiannya ternyata tak mengecewakan. Banyak pelanggan yang menyukainya.

Suatu hari, ada perayaan pesta pernikahan putri Tuan Marcelino. Tuan Marcelino adalah orang terkaya di Kota Florita. Ia memesan banyak sekali rangkaian bunga pada Nyonya Arista.

Nyonya Arista kewalahan. Ia segera membeli banyak jenis bunga ke petani bunga.
“Jangan panik Nyonya, aku akan membantumu,”hibur Gina.
Selama seminggu, Nyonya Arista dan Gina sibuk merangkai bunga.
Akhirnya, semua pesanan selesai dan siap diantar ke rumah Tuan Marcelino.

Tuan Marcelino puas sekali, “Kau memang hebat Nyonya Arista! Semuanya sempurna,”katanya.
Nyonya Arista senang sekali mendengar pujian itu. Ia lalu pulang ke toko. Ia harus segera membayar gaji Gina.

Mata Gina terbelalak melihat jumlah uang yang diberikan Nyonya Arista padanya. Jumlahnya lebih banyak daripada biasanya.
 “Itu gajimu minggu ini. Tambah air, tambah sagu bukan? Kau sudah bekerja keras, sudah selayaknya mendapatkan tambahan gaji,”
Gina ikut tersenyum. Hatinya senang sekali memiliki majikan sebaik Nyonya Arista.

***