Rabu, 23 Maret 2016

10 Alasan Untuk Jadi Penulis Buku Anak-anak

Beberapa orang, sering bertanya pada saya.
Mbak Dian kenapa kok fokus di buku anak-anak?
Nggak pengen nyoba jadi penulis anu?
Atau ngisi konten di anu?
Atau jadi anu dan dapat bayaran tinggi?
Coba banting setir. Dengan kemampuan menulis Mbak Dian, pasti bisa. Duitnya jadi banyak!

Tidak munafik. Salah satu tujuan saya menjadi penulis, salah satunya tentu motif ekonomi. Mencari nafkah.
Salahkah?
Tentu tidak.
Sebagai perempuan, saya punya prinsip (maaf buat yang nggak setuju ya) kalau perempuan itu harus mandiri secara finansial. Dari dulu, saya berusaha tidak mengandalkan pasangan untuk memenuhi kebutuhan pribadi saya. Pasangan, cukup memenuhi kebutuhan keluarga saja.
Urusan saya, biar saya sendiri yang turun tangan. Alasannya, ya biar asyik aja xixixi.

Nah, mengapa saya memilih jadi penulis buku anak-anak?
Saya tuliskan alasannya ya. Siapa tahu, kamu terinspirasi juga untuk menjadi penulis buku anak-anak.

1. Setiap manusia, punya sisi kanak-kanak. Meski usia sudah tak lagi muda, dan uban mulai menyapa *cieeh*
Menulis buku anak-anak itu seolah mengulik sisi kanak-kanak dalam diri kita. Bermain dan bersenang-senang. Meski hati sedih, anak-anak tetaplah memandang kesedihan secara sederhana.
That's why, menulis buku anak-anak tak sampai membuat jidat berkerut. 
Membayangkan diri menjadi tokoh dalam cerita yang kita tulis, amatlah menyenangkan.

2. Anak-anak adalah pembaca yang manis. Mereka tak akan mengomentari isi ceritamu dengan nada nenek sihir dan rasa pedas level 15. Mereka akan selalu menanggapi ceritamu dengan 'wow' dan membawa cerita-ceritamu dalam mimpi-mimpi indahnya.
Paling banter, kalo dia ga suka, ya bukunya ditaroh. Anak-anak ga bakal bikin review pedas di Goodreads xixixi.

3. Teman-teman penulis yang menyenangkan.
Suwer, menurut saya, penulis buku anak adalah penulis yang paling easy going. Ga pakai saingan, ga pakai cakar-cakaran. Apalagi demi order.
Kita udah biasa saling melempar order. Ya iyalah, kepala cuma satu, masa semua order mau dikerjakan sendiri?
Ketika seorang editor bertanya pada saya, siapa penulis buku anak yang kira-kira bisa menulis tema anu, saya akan dengan sigap mereferensikan si anu dan si onu.
Saya yakin, teman-teman lain pun demikian. Kami berpendapat, semakin banyak yang bisa menulis cerita indah untuk anak-anak Indonesia, semakin bahagialah kami semua.


4. Pangsa pasarnya terbuka luas sekali.
Pernah lihat praktik dokter kandungan yang sepi? Saya nggak pernah.
Biasanya, yang namanya dokter kandungan itu pasiennya berjubel, antre sampai tengah malam bahkan bisa sampai subuh!
Itu tandanya, betapa banyaknya bayi yang lahir setiap harinya.
Dari situ, kita tahu bahwa pasar anak-anak amat luas. Ketika seorang anak sudah menginjak usia yang mungkin tak suka lagi baca buku-buku kita, di belakangnya sudah berjejer ribuan anak lain yang siap melahap buku kita.
Itulah sebabnya, banyak buku anak yang dicetak ulang terus dan terus. Pasarnya ada.

5. Pemainnya nggak banyak :D
Coba hitung, penulis buku anak di Indonesia ada berapa?
Nggak banyak.
Tentu, yang saya maksud adalah penulis buku anak yang konsisten menerbitkan buku ya. Bukan yang cuma ikut-ikutan. Satu kali terbit terus moksa alias menghilang. Kalau itu mah banyak.
Mungkin jadi penulis buku anak itu kurang bergengsi. Kurang gaya. Terbukti dari minimnya penghargaan di dunia literasi terhadap para penulis buku anak.
Karena kurang gengsi, maka yang minat pun dikit.
Karena dikit, otomatis ya kue orderan jadi besar.

6. PAHALA
Nah, kalau yang ini amat ditekankan sama suami saya.
Katanya, kami ini bukan orang kaya yang bisa bersedekah besar, berinfaq, menolong orang, bangun sumur, bangun RS, bangun masjid dll. Kami orang biasa. Duit pas-pasan. Pas ada kebutuhan, pas ada duitnya :))
Namun, kita nggak boleh berhenti mencari pahala dong ya?
Nulis yang baik-baik untuk anak-anak di masa golden period mereka. Jika efeknya dahsyat, ke mana kebaikan itu akan mengalir?
Luar biasa pahala yang akan kita dapat dengan menulis buku anak-anak.

7. Belajar jadi lebih baik
Tak bisa dipungkiri, dalam buku anak-anak hampir selalu ada pesan moral yang disampaikan.
Hal ini bukan perkara mudah. Mengingat si penulis sendiri adalah manusia biasa yang bisa marah, dan bisa khilaf.
Namun, dengan menulis buku anak-anak, mau tak mau penulis pun ikut belajar.
Oh, ternyata begini ya kita harus bersikap.
Oh ternyata begini ya ajaran agama kita.
Dan oh oh oh yang lainnya.
Hal tersebut, secara tidak langsung mengikis kenegatifan yang kita miliki. Insya Allah, kita semua akan jadi pribadi yang lebih baik.
Jika tidak, ya berarti belum. Pelan-pelan. Tapi bukankah batu yang keras juga akan kalah oleh tetesan air yang konsisten?

8. Passive income
Menulis buku anak-anak, memang royaltinya tidak besar. Namun, cukuplah untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Apalagi, royaltinya ajeg. Buku yang udah bertahun-tahun yang lalu terbit pun, saya masih nerima royaltinya. Meski tentu, jumlahnya tak sebesar waktu awal terbit.
Itu semua karena, kembali lagi ke: Pasar yang terus ada.
Jadi, saya sebagai penulis buku anak, punya passive income yang tak saya tunggu-tunggu kehadirannya, tapi tahu-tahu mak jegagik di rekening.

9. Meninggalkan prasasti untuk anak cucu.
Saya punya dua anak. Saya nggak punya harta untuk saya wariskan pada mereka.
Namun, saya ingin mereka punya kenangan pada saya.
Sekardus buku-buku karangan saya, bisa saya wariskan pada mereka dan anak-anak mereka.
Berbagai cerita indah, akan tertoreh di hati mereka meski saat raga saya tak menemani mereka.

10. Terkenal, dan bisa menularkan hal positif ke orang lain
Eh ini beneran lho. Adaaaa aja orang yang menyapa kalau lihat saya. Bukan di dunia maya ya. Tapi di dunia nyata. Mungkin karena foto saya sering mejeng di halaman belakang buku xixixi.
Biasanya, nanti akan berujung pada "Ajari nulis dong,"
Hayuk lah. Siapa takut. Asalkan serius, monggo aja. Paling tidak, bisa nulis untuk anak/murid sendiri.
Bukankah menulis itu adalah kegiatan yang positif? Hajaaaar. 

Nah, itulah alasan-alasan mengapa saya menjadi penulis buku anak.
Semoga saya terus konsisten di dunia buku anak ini, meski sekali-kali selingkuh juga dengan nulis novel romance, novel komedi, dan kisah-kisah inspiratif.
Maklum, saya ini manusia yang isi kepalanya terus bicara. Jadi ya tak ada jalan lain. Isi kepala harus diikat dengan tulisan.

Bagaimana denganmu?
Berminat jadi penulis buku anak? Yuk ... yuk ..



Rabu, 09 Maret 2016

Aku merasa orang termiskin di dunia ^^

Suatu pagi, saya beli penyetan. Bukan di langganan saya biasanya, tapi di tempat lain.
Basa-basi sama penjualnya, ngobrol sana sini sampai akhirnya kami pada topik obrolan: BANJIR.

Ya, akhir-akhir ini Sidoarjo banjirnya parah. Air menggenang tinggi, dan susah surut.
Si ibu penyetan ini lalu bercerita, bahwa rumahnya kemasukan air berlumpur, semata kaki. Dia lalu bilang betapa lelahnya dia membersihkan rumah, mengepel, menjemuri barang-barang, sampai-sampai dia demam.

Sebagai orang yang baik hati dan penuh empati (serius), saya pun manggut-manggut dan menghibur.
"Yah, dilakoni aja Bu. Ngrasakno banjir,"

Si Ibu lalu menjawab saya dengan sedikit sinis.
"Ya njenengan bisa ngomong gitu, karena njenengan mana pernah kebanjiran. Situ enak, tinggal di GF (nama perumahan), tanahnya tinggi bla bla,"

Jreeeng ... seketika Hamdan ATT melintas di benakku.
Aku merasa orang termiskin di duniaaaa
Yang penuh derita bermandikan air mataaaaa

Ya, kadang saya bertemu dengan orang-orang ala Hamdan ATT ini. Merasa dirinya adalah orang "termiskin dan termenderita" di dunia. Memandang orang lain sebagai orang yang lebih enak. Trus, dengan seenaknya bilang "Situ kan enak. Situ gak pernah ngrasain bla bla bla,"

Kembali pada si ibu penyetan.
Andai saja dia tahu, BANJIR is my middle name :D
Banjir air bening semata kaki? Pernah.
Banjir selutut air berlumpur? Pernah.
Banjir sepaha dengan air berlumpur dan penuh sampah? Pernah.
Tiap hujan rumah selalu banjir? Pernah.
Nggak hujan tapi rumahnya banjir? PERNAAAAAH. It is called ROB!
Numpang mandi di tetangga dan diberi nasi bungkus oleh Vihara gara-gara banjir? Pernah!

I am originally from Semarang. Ada lagunya kan, Semarang kaline banjir?
Apalagi saya tinggal di sebelah banjir kanal. Kalau tanggulnya jebol, airnya melupa, wassalam. Selamat tinggal baju-baju di lemari dan alat elektronik :D
Yang saya selamatkan waktu itu hanyalah ATM dan sedikit perhiasan yang langsung saya pake semua (koyok wong gendeng pating crentel).

Jadi, janganlah kita berburuk sangka pada orang yang berusaha empati pada kita.
Janganlah berucap "kamu gak ngrasain sih. Coba kalau kamu jadi aku bla bla"
Bisa jadi, yang dia alami jauh lebih parah daripada yang kamu alami, cuma dia nggak berisik.

Contoh lain lagi.
Ada ibu-ibu yang demen mengeluh anaknya dibully.
Saya pun bilang, "Dikasih tau aja Bu. Namanya juga anak-anak. Kadang mereka nggak ngerti. Main-main tapi kebablasan,"
Eh lhadalah, ngamuk.
"Ini bukan main-main, ini sudah berupa kekerasan bla bla bla. Ibu nggak ngrasain sih kalo anaknya dibully. Kalo sampe ada apa-apa sama anak saya, bagaimana????"

Jreng ... Hamdan ATT lewat lagi.

Andai dia tahu, bahwa saya adalah korban kenakalan anak-anak di masa SD. Saya nggak mau menyebut anak TK dan SD sebagai pembully. Karena sejatinya mereka belum tahu apa yang mereka lakukan.
If only she knew that I live now with one eye only because of what she called "bullying".
If only she knew that I spent 1 month in hospital because of that :)) 

Percaya padaku.
Jika ada masalah menghampirimu, legowo saja. Jangan merasa bahwa orang lain hidupnya lebih enak darimu.
Kamu nggak pernah tahu lho, apa yang sudah/pernah dihadapi orang tersebut.

Karena, nggak semua orang suka teriak ala Hamdan ATT.

Aku merasaaaa orang termiskin di duniaaaa
Yang penuh derita, bermandikan air mataaaa