Jumat, 20 Februari 2015

Royalti, atau Jual Putus? -- taken from "Momwriter's Diary"



Royalti Versus Jual Putus 

Foto milik Octa NH 

Banyak (calon) penulis yang galau dalam menentukan sistem pembayaran naskahnya. “Mbak, enakan royalti atau jual putus sih?” Hmm, tidak ada ketentuan baku mengenai hal ini. Aku juga tidak bisa menjawabnya secara 100% benar. Jadi, aku akan menceritakan pengalamanku saja ya.
Begini, royalti itu biasanya lima sampai sepuluh persen dari harga jual buku. Royalti dibayarkan setiap enam bulan sekali, di bulan-bulan yang telah disepakati antara penerbit dan penulis. Jika jual putus, kita langsung dibayar sekian rupiah untuk naskah kita. Besarannya tergantung kesepakatan kita dengan pihak penerbit.
Apa kelebihan dari royalti?
Menurutku, ini seperti passive income. Kita duduk manis, uang mengalir sendiri ke rekening kita setiap enam bulan. Kita tidak perlu bergabung dengan aneka MLM untuk bisa dapat passive income.
Asyik ya? Asyik dong, tapi …
“Mbak, penerbitku tutup. Royalti buku-bukuku jadi nggak jelas.”
“Masak sih, royaltiku cuma sekian puluh ribu rupiah? Padahal, aku ikutan beli bukuku sendiri seratus eksemplar loh.”
“Mbak, di laporan penjualan tertulis penjualan bukuku hanya 0.”
“Nagih royalti kayak ngemis, padahal itu hak kita bukan? Penerbit kalau nggak ditagih nggak bakal bayar!”
Pernah dengar keluhan-keluhan semacam itu? Sering! Kalau mendengar keluhan seperti itu, rasanya lebih enak kalau jual putus. Terima uang, beres. Mau bukunya tidak laku, penerbitnya tutup, bodo amat!
Tapi …
“Mbak, ternyata bukuku itu dicetak ulang sampai belasan kali. Duh, coba dulu aku nggak jual putus ya. Mana cuma lima ratus ribu pula!”
“Mbak, bukuku dibeli rights-nya oleh penerbit luar. Tapi aku nggak dapat apa-apa, kan jual putus,”
“Mbak, tokoh di bukuku mau dibuat merchandise. Boneka, gantungan kunci, dan lain-lain. Tapi aku nggak dapat apa-apa lagi. Huhu… . Dulu aku jual putus sih,”
Galau kan?
Mana yang lebih baik? Royalti atau jual putus? Kalau menurutku sih (elus-elus jenggot), sebaiknya begini.
1.      Kalau keadaan keuangan lagi mepet, butuh duit segera, jual putus saja. Dapat duit, asyik kan?
2.      Kalau keadaan keuangan lagi baik, pilih royalti. Anggap saja itu tabungan masa depan.
Begitu doang? Kalau terjadi masalah seperti yang sudah disebutkan di atas, bagaimana? Deritamu deh J
Nggak ding, sekarang aku ngomong serius. Kalau mau sistem royalti, pastikan bahwa penerbitmu itu adalah penerbit yang sudah establish bertahun-tahun. Tanya ke teman-teman sesama penulis, pernahkah mereka bekerja sama dengan penerbit tersebut? Jika ya, bagaimana pembayaran royaltinya? Lancar? Jumlahnya masuk akal? Jika jawaban teman-temanmu positif, silakan lanjut.
Andai kamu tidak punya teman untuk ditanya-tanya, kurasa pakai logika sederhana saja. Penerbit yang sudah establish bertahun-tahun, tentunya punya sistem yang mempermudah mereka dalam segala hal, termasuk pembayaran royalti. Jadi, penulis tidak perlu menagih karena mereka sudah mempunyai sistem kapan harus mengirimkan royalti, kapan harus mentransfer uangnya, kapan harus membayar pajak, dan mengirimkan buktinya ke penulis.
Penerbit yang sudah establish bertahun-tahun, tidak harus penerbit besar. Banyak loh, penerbit kecil yang sudah “tua” dan eksis masih lancar dalam pembayaran royaltinya. Sepanjang pengalamanku, jumlah royalti pasti lebih banyak daripada harga jual putus yang ditawarkan dan kita bisa menikmatinya terus selama buku itu masih dijual. Sip kan?
Sekarang, kapan kita harus jual putus?
Seperti yang sudah kubilang, saat keuangan kita lagi menipis. Hihi… . Kalau butuh uang cepat, jual putus lebih enak karena tidak harus menunggu sampai enam bulan. Tapi ya itu, resikonya adalah jika ternyata bukumu dicetak ulang, bahkan best seller, kamu hanya bisa melongo sambil gigit jari.
Pengalamanku, aku menjual putus naskah-naskahku karena alasan sebagai berikut:
1.      Lagi butuh uang
2.      Penerbitnya masih baru setahun-dua tahun berdiri. Aku kan tidak tahu, apakah mereka bisa bertahan di tengah persaingan antar penerbit?
3.      Penerbitnya sering mangkir bayar, sering ngemplang. Dari mana aku tahu? Ya, dari hasil bertanya ke teman-teman. Kalau sudah ada cerita seperti ini, lebih baik jual putus atau kirim ke penerbit lain. Daripada makan hati, mending makan dada, tidak berlemak dan tidak bikin asam urat.
4.      Bantu teman yang berprofesi sebagai editor dadakan. Maksudku, terkadang ada perusahaan yang sebenarnya BUKAN penerbitan, tapi mereka ingin menerbitkan buku. Contoh, pabrik kerupuk ingin buat buku sebagai hadiah pembelian kerupuk. Nah, biasanya bagian marketing akan mencari ke sana kemari penulis yang mau dibayar putus. Di sinilah, aku, sebagai teman yang baik hati dan berbudi luhur, mau menjual putus naskahku.
Segini saja ya. Maaf jika penjelasanku tidak seperti penjelasan pakar penulisan yang mampu menjelaskan detail pasal-pasal yang seharusnya tercantum di surat perjanjian. Kalau butuh tambahan informasi yang sifatnya legal, googling aja ya!
** Temukan jawaban atas semua kegalauanmu tentang menulis, dalam buku "Momwriter's Diary! Tersedia di seluruh toko buku Gramedia, hanya Rp33,000 saja dengan bonus 21 komik lucu ^^ 

Selasa, 17 Februari 2015

The Lonely Canary



The Lonely Canary

 picture taken from www.americansingercanary.com


A canary stands alone at the highest branch of a tree.

None plays with him, although he really wants to do it.

He doesn’t have friends, neither one.
"I need to make friends," he thinks.



One day, an elephant stop by at canary’s tree.

“Hi, can we play together?  You can sit here, on my trunk,” the elephant offers.

Canary says NO.

“You don’t have wings. You can’t be my friend,”


Another second, a giraffe stop by.

“Hi, can we chat? I can easily do that with my long neck,” the giraffe offers.

Canary says NO.

“You don’t have wings. You can’t be my friend,”


Then a bird stops by.

It is a crow saying,”Hi. Can we play together?  I have wings. We are birds, aren’t we?”

But, canary still says NO.

“Look at you! You are black, while I’m yellow. We are different. You can’t be my friend!”


Everyone sighs. They just want to have fun, but canary keeps rejecting them.


Finally, a little canary stops by.

“Hi. We are same. Let’s play together!”

And you know what? The canary keeps saying NO, NO, NO, and NO.

“You are a little canary. I am the big one. You can’t be my friend,”



The Canary stands alone until the end of his life.

If only he didn’t focus on the difference.

If only he focused on the purpose. 
It's a pity that he couldn't experience the joy of having friends and the fun of playing together. 


* Sidoarjo, 18 February 2015*