Rabu, 18 November 2015

Anak adalah Titipan

Akhir-akhir ini, saya banyak berpikir tentang masa depan sulung saya.
Sekarang, dia kelas 6, dan itu artinya, tahun depan dia harus cari SMP.
Sebagai orangtua, tentu saya mau anak saya mendapatkan pendidikan yang terbaik. Dan, diri ini mulai menimbang-nimbang beberapa alternatif, yang saya sesuaikan dengan kondisi fisik, mental, dan kecerdasan anak saya.

Sayang,usulan-usulan saya bertepuk sebelah tangan.
Anak saya, hanya mau bersekolah di SMP negeri.  It's okay for me, karena toh dia juga saat ini sekolah di SD negeri.
Tapi, saya ngeri membayangkan persaingannya.
Jumlah SMP negeri amat terbatas (yang berkualitas ya), dan SMP itu bakal diserbu tidak hanya oleh lulusan SD negeri, tapi juga SD swasta termasuk SDIT yang bahkan sudah punya SMPIT sendiri!

Belum lagi isu tentang suap, bocoran soal, dll ... membuat saya merinding. Saya bilang ke anak saya, agar lebih baik tak usah terlalu fokus ke negeri. Mari kita coba mendaftar di SMP A, yang sudah terbukti juga kualitas lulusannya.

But he says NO.
Dan dia bilang, kenapa saya begitu pesimis?
Dalam hati, saya bilang bahwa saya nggak sekadar pesimis. Tapi saya juga takut kalau SMP negeri yang dituju itu diisi oleh anak-anak kaya yang berpola hidup borju.
Begitu banyak kegelisahan di benak ini. Namun, sulung saya tetap keukeuh. Tidak mau sekolah lain.

OK, kalau begitu. Tapi saya tetap minta dia untuk daftar di swasta, untuk cadangan.  Dan dia setuju meski itu artinya, saya harus siap kehilangan uang sekian juta rupiah yang sudah harus dibayarkan jika anak saya keterima di swasta namun tidak jadi sekolah  karena keterima di negeri. Pusing ya? Hehe.

Sebenernya, bisa sih saya menggunakan otoritas saya sebagai orangtua.
Sekolah di SMP A, atau nggak usah sekolah. Titik.
Seorang teman menggunakan metode itu pada anaknya. Masuk pondokan, atau tidak usah sekolah. Titik.

Berhasil sih, tapi saya nggak mau memakai metode itu. Saya berpikir bahwa Allah pasti sudah punya rencana buat tiap anak.


Lalu saya teringat akan kalimat "anak adalah titipan".
Dari situ, saya bisa bernapas lega. Ya, anak adalah titipan. Mengapa saya khawatir?
Bukankah Allah menitipkan anak itu pada saya, dan sudah pasti Allah akan melengkapi kebutuhan anak saya?

Coba bayangkan jika kita harus menitipkan anak kita pada tetangga barang sehari. Apa yang kita siapkan?
Susu, makanan, camilan, popok, minyak telon dll. Jangan sampai yang kita titipi kerepotan merawat anak kita. Betul, kan?

Demikian juga dengan anak.
Allah menitipkan anak pada kita, tentu DIA akan melengkapi kebutuhannya. Allah sudah sediakan semuanya. Allah sediakan rejeki bagi kita untuk mengasuh anak, Allah akan sediakan pula jalan keluar bagi setiap masalah.

Ah, leganya ....
Dan saya pun selalu berdoa, bermohon padaNya.
"Ya Allah, Engkau menitipkan anak ini padaku. Allah yang tahu apa kebutuhan anak ini, Allah yang tahu apa yang terbaik untuk anak ini,"

Begitu saja doa saya.
Saya nggak ngeyel minta Allah memasukkan anak saya ke SMP anu, inu, dan unu.
Saya hanya minta, yang terbaik untuk anak saya.

Jadi, buat teman-teman yang sedang lelah dan bingung karena permasalahan anak, legakanlah hatimu dengan berpikir bahwa, anak hanya titipan. Dan, Allah nggak mungkin lepas tangan dengan titipannya.

Yang anaknya sedang sakit berat, percayalah bahwa Allah akan sediakan obat-obatannya. Teruslah berusaha dan berikhtiar, untuk mengambil obat yang sudah Allah sediakan. Teruslah bekerja agar rejekimu dicukupkan untuk membiayai pengobatan.
Ibaratnya, jika seorang ibu sudah menyediakan nasi soto untuk makan anaknya, tapi si anak nggak mau jalan ke meja makan untuk mengambil nasi sotonya, maka si anak tak akan pernah makan dan pasti kelaparan kan?
Allah sudah mencukupkan semuanya. Hanya kita harus berusaha mencari dan mengambil apa yang sudah Dia sediakan, dengan cara ikhtiar.
Kita nggak boleh ongkang-ongkang dan berkata "toh Allah sudah cukupkan semuanya".

Seperti saya, tetap berikhtiar mencari informasi SMP mana yang bagus, berikhtiar memberikan pelajaran tambahan yang terbaik untuk anak saya, dan tentu saja doa merengek pada Allah ^^

Yuk legakan hati, terus berpikir positif karena Allah adalah seperti prasangka umatNya.


















Sabtu, 07 November 2015

Jimat Soto Granat



Jimat Soto Granat


Meta suka sekali makan soto. 
Dia punya warung soto favorit. Namanya Warung Soto Granat. 
Disebut soto granat, karena pembeli boleh meminta banyak cabe untuk diuleg dan dicampur kuahnya. Rasa pedas kuah soto itu mirip granat yang meledak. 

Warung Soto Granat tak pernah sepi pembeli. Sepertinya, semua orang ketagihan makan di sana. Padahal, harga semangkuk soto granat tidak murah. Tapi sepertinya orang-orang tak peduli harga. Yang penting, sotonya enak. 

Siang ini, Meta merayu Mama untuk makan soto granat. Mama menolak, karena Mama sedang puasa.
“Kalau kamu mau, bungkus saja ya? Sekalian buat Mama buka puasa nanti,” kata Mama.
Meta setuju, dan dengan suka hati berangkat ke warung. 

“Pak, bungkus dua porsi ya,” pinta Meta.
Dengan cekatan, Pak Tio pemilik warung menyiapkan pesanan Meta.  Saat Pak Tio mendulang kuah soto dari dalam dandang, mata Meta membelalak dan wajahnya memucat.
Meta melihat sesuatu dibungkus kain putih, tersangkut di kuah yang didulang Pak Tio. 

Pak Tio buru-buru menyingkirkan bungkusan itu, dan kembali mencemplungkannya ke dalam kuah.
Tiba-tiba perut Meta terasa kenyang. Dia tak lagi ingin makan soto. Dia pernah mendengar cerita Mbah Parti tukang urut langganan Mama.
“Ada orang jualan yang suka memakai penglaris. Pakai jimat. Biasanya jimatnya dibungkus kain putih,” 
 Meta lalu melihat sekeliling. Pantas saja warung ini begitu laris. 

“Ini pesananmu,” lamunan Meta buyar saat Pak Tio menyodorkan dua bungkus soto padanya.

Di rumah, Meta tak berselera makan. Tentu saja Mama heran. Dan Meta pun mengutarakan alasannya.
“Pantas saja warung itu laris. Pak Tio memakai jimat!” Meta lalu menceritakan bungkusan kain putih yang dilihatnya tadi.
“Mungkin itu isinya ekor tikus? Atau sayap jangkrik?” kata Meta lagi.
“Hus! Memangnya Pak Tio tukang sihir?" tegur Mama.
“Suudzon alias berprasangka buruk itu tidak baik. Sudahlah, ayo makan. Kamu belum makan dari tadi,” kata Mama. 

Tapi, Meta bersikeras. Dia tak mau makan soto itu. Meta bersikukuh bahwa apa yang dilakukan Pak Tio adalah syirik. Dan itu dosa besar.
“Aku nggak mau terseret dosa Pak Tio,” kata Meta, “aku akan memberitahu teman-temanku tentang hal ini. Jangan sampai mereka makan di sana lagi,”

Mata Mama melotot.
“Meta, jangan menyebar suatu berita yang kamu tidak tahu kebenarannya. Jangan pula berprasangka buruk. Memangnya kamu yakin kalau itu jimat? Mengapa kamu tak menanyakan langsung pada Pak Tio tadi?”
Meta terdiam. Wangi aroma soto menggelitik hidungnya. Mama benar, kenapa dia tak bertanya saja pada Pak Tio?
“Tabayyun ya, Ma?” Meta pun kembali melesat ke warung soto granat.

Pak Tio menyambut Meta dengan wajah heran. “Mau beli lagi? Atau, ada yang ketinggalan?”
Dengan suara pelan, Meta berbisik, “Sebenarnya saya mau tanya. Tadi, ada bungkusan kain warna putih dari dalam kuah soto. Itu apa, Pak?”
Pak Tio tak menjawab, melainkan mengaduk kuah sotonya dan mengangkat sesuatu.

“Maksudmu, ini? Hehe, ini bumbu-bumbu tambahan supaya soto lebih sedap,” Pak Tio lalu membuka bungkusan kain putih itu. Isinya lengkuas, serai, daun jeruk, dan daun salam.
Wajah Meta berubah cerah, “Saya pikir semua bumbu itu diuleg,”
“Ya, tapi Bapak menambahkan ini supaya lebih sedap. Bapak membungkusnya, supaya tidak kocar kacir di dalam kuah,” 

Pak Tio lalu memandang Meta curiga. “Hayo, tadi kamu mengira ini apa? Jimat ya?”
Meta tersipu. “Hihihi, maafkan saya Pak. Makanya, saya tabayyun dulu. Mencari penjelasan pada Pak Tio,”
Dengan hati lega, Meta pulang ke rumah. Dia mengayuh sepedanya cepat-cepat, karena perutnya berisik minta diisi. Semangkuk soto yang pedas pasti enak!

                                                                              ***



Rabu, 04 November 2015

Warna-warni para penulis di FBF 2015

Frankfurt Book Fair alias FBF 2015 telah usai.
Hingar bingar euforia Indonesia sebagai guest of honor pun usai.

Saya, yang dianugerahi kesempatan oleh Allah untuk melongok kemeriahan FBF, sungguh bersyukur bisa menginjakkan kaki ke pameran buku terbesar ini.

Saya bersyukur, di arena itu saya bertemu dengan para penulis terkenal, yang membuat saya belajar banyak tentang attitude penulis.
Ya, attitude penulis ... utamanya penulis yang udah terkenal dan mendunia ^^
Diam-diam, saya belajar banyak dari attitude mereka.

Pertama-tama, saya ketemu dengan Donny Dhirgantoro 5 cm di Soeta.
Beliau, "dititipkan" ke rombongan BIP dan tidak berangkat bersama tim Grasindo. Pertamanya, saya tidak tahu siapa beliau.
Beliau juga duduk santai di meja sebelah, sambil ngebuka bungkus rokok yang hendak dibawanya ke Jerman hihi.

Setelah saya tanya ke Bu Noni (BIP) eh saya baru ngeh kalau dia ini Donny yang termahsyur.

Tingkah lakunya nggak nunjukin kalau dia "eh gua terkenal lho kok kamu gak nyapa gua sih". Biasa aja, sibuk dengan bungkus rokoknya haha.

Akhirnya, saya pun minta foto bareng dia. Ya iyalah, penulis best seller gitu lho. Rugi banget kalo gak sampe foto bareng hihihi. Dan, Mas Donny menanggapinya dengan sangat baik.

Selama di Frankfurt pun, kami beberapa kali ketemu di lobi dan dia sangat "biasa" aja.  Bahkan di suatu malam, saat saya beli kentang ke stasiun, saya sempet ngobrol panjang dengannya sambil makan kentang.

Di situ saya belajar banyak dari dia, bahwa jadi penulis itu harus menghargai dirinya sendiri. Penulis, nggak usah pamer kemenderitaan hidup di socmed.
Nah, saya setuju banget tuh.
Dan beliau berpesan, niatkan setiap tulisanmu untuk membawa manfaat bagi sesama. Kalo bermanfaat, orang suka. Dan biasanya reward berupa materi akan datang sendiri.
Setujuuuuu pake buanget!
Dari beliau, saya belajar bagaimana harus bertingkah laku di socmed. 

Selain Donny, saya sempat ngobrol dengan Ahmad Fuadi yang masya Allah, ramah dan santun.
Beliau mauuuu aja diajak foto bolak balik sampe elek hihihi.
Padahal, beliau kan penulis super duper terkenal?
Ah, dari beliau saya belajar keramahan dan kerendahan hati seorang penulis.

Lalu, ada juga Ika Natassa. Pertama kali, bayanganku nih, Ika Natassa itu orangnya cuek. Ternyata oh ternyata ... rame grapyak dan becanda melulu.
Dari beliau, saya belajar  bahwa jadi penulis tuh yang asik-asik gini deh. Dijamin, orang betah deket dengannya :p
Akrab dengan pembaca, itu penting buanget!

Juga Andrea Hirata yang gak sengaja ketemu di hall 5. Saya menyapa dia, dan dia merespon baik. Tapi lalu ada teman dia menyapa, dan Andrea menyambutnya dengan akrab dan berpelukan. Saya tercuekkan, tapi Andrea dengan cepat menyadari dan segera kembali ke saya.
Beliau langsung minta temannya untuk fotokan kami, dan saya disuruh bawa bukunya. Dia juga mendoakan saya agar buku2 saya bisa selaris buku dia. Aamiin!

Begitulah ... sebenarnya masih ada penulis-penulis lain, yang saya gak sempat ngobrol tapi saya sempat foto bersama mereka.

Oya, apa semua baik-baik?

Ngg ... nggak juga.
Setidaknya, saya ketemu dua penulis yang subhanallah bikin saya ngelus dada.

Yang pertama, penilaian saya mah subjektif banget nih. Dia tidak berdiri dari kursi ketika saya menyalami dan memperkenalkan diri. Trus, dia juga tidak merespon apapun yang saya ucapkan dan tanyakan, kecuali "oh, hmm, ya".
Senyum pun tidak ...
Dari beliau, saya belajar bahwa secapek apapun seorang penulis, jika fans menghampiri, mbok ya o senyum dikit meski fake.

Yang kedua. Penulis yang barusan saya googling wajahnya, ternyata terkenal hahaha.
Sikapnya memang bak artis. Duduk mejeng sambil foto-foto dan sempet kesel ke saya (lewat pandangan matanya) ketika saat dia mau foto, saya cuek lewat di depannya untuk nganter tamu duduk di kursi.
Lalu, dia lewat di depan saya, sambil mengambil meraup permen penuuuuh setangkup tangannya (yang mustinya untuk pengunjung) sambil bilang "Aku ambil banyak ya!"
Dari beliau saya belajar, bahwa nggak semua orang kenal kita meski kita terkenal buanget. Buktinya, saya gak kenal dia dan baru tau namanya setelah saya googling wajahnya. Jadi, jangan anggap semua orang akan terkencing-kencing pada kita karena kita super terkenal :)
Dan, dari beliau saya belajar, musti mengendalikan diri ketika ambil barang gratisan di muka umum.

Nah, dari para penulis itu saya belajar attitude. Baik yang bersikap nice, maupun bersikap kurang nice. Semuanya bisa memberi pelajaran buat saya.

Selain mereka-mereka yang saya sebut, banyak juga orang terkenal yang ramah. Contohnya Pak Bondan mak nyus, Om William Wongso, juga Bu Sisca.

Bahkan, Bu Murti Bunanta si maestro buku anak yang saya dengar orangnya "tegas" pun, ketika saya ajak foto dan kenalan, bersikap ramah dan welcome.

Juga Eka Kurniawan yang konon pendiam, ketika saya sapa juga menanggapi dengan baik (setengah heran melihat saya nyerocos ngaku-ngaku sebagai kakak kelasnya).
Meski pendiam, Eka merespon semua ucapan saya dengan jawaban yang santun. Bahkan, sempat melontarkan sedikit "gosip" tentang teman-teman Filsafat UGM yang kami kenal.

Jadi, kesimpulannya: kesan pertama itu penting. Meski kita jutek, galak, acuh, cuek atau apalah apalah, kesan pertama haruslah baik.
Bagaimanapun, tak ada penulis jika tak ada pembaca. Setuju, kan?

Yuk para penulis, jaga sikap jaga hubungan baik dengan semuanya ^^

Terimakasih pada para penulis terkenal itu yang telah memberi saya pelajaran berharga.