Kamis, 27 Agustus 2015

Hak si Miskin



Masa kamu mau merampas hak orang miskin?
Deg … dada saya serasa berhenti berdetak saat Ayah saya mengucap kalimat itu. 

Saya berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Bisa dibilang, cukup miskin. Orangtua saya adalah kontraktor sejati, alias selalu ngontrak rumah. Pekerjaan Ayah juga tak jelas. Kadang ada kerjaan, kadang tidak ada. Dan terakhir, Ayah bekerja pada saudaranya. Dengan gaji seadanya, pas untuk menghidupi seorang istri dan enam orang anak. 

Saat saya kuliah, saya merasa harus meringankan beban orangtua saya. Lalu, saya pun mencari informasi beasiswa. Yang paling terkenal saat itu adalah beasiswa Supersemar.
Saya membaca semua persyaratannya, dan saya merasa layak mendapatkannya. Nilai-nilai saya memuaskan,  saya yakin saya bisa meraih beasiswa itu.
Lalu, saya bilang ke Ayah. Saya berharap beliau bangga karena memikirkan keadaan orangtua. Hehe, tapi ternyata saya salah.
“Masa kamu mau merampas hak orang miskin?” mata Ayah melotot saat saya bilang mau mengajukan beasiswa Supersemar.
Tentu saya bingung, apa maksud Ayah?
Lalu, Ayah berpanjang lebar bilang bahwa beasiswa Supersemar itu diperuntukkan untuk orang-orang kurang mampu.
“Bukannya kita masuk kategori itu?” tanya saya.
Dengan jujur, Ayah mengiyakan. Tapi, Ayah menandaskan bahwa di luar sana, masih banyak yang hidupnya lebih miskin dibanding kami.

Saya lalu teringat pada beberapa teman di kampus. Ayah benar, ada teman-teman lain yang jauh lebih miskin daripada saya.  Saya bisa melihatnya dari tempat kost mereka yang kumuh, isi kamar mereka yang nyaris tak ada apa-apanya, kebiasaan makan sekali sehari dengan lauk tempe, dan baju mereka yang lusuh dan itu-itu saja.
Saya, masih bisa kost di tempat yang layak (meski sering nunggak). Saya juga masih bisa naik bus ke kampus, nggak perlu jalan kaki.
“Ayah yang akan membayari kuliahmu. Meski kamu harus hidup hemat, tapi yakinlah. Kamu nggak bakal putus kuliah,”

Ayah saya menepati janji.  Saya lulus kuliah, cum laude, tanpa beasiswa. Dan saya bangga akan hal itu.
Ucapan Ayah saya terngiang sampai sekarang, saat saya sudah menjadi istri dan ibu dua orang anak.

Suami saya bukan orang kaya. Tapi kami hidup berkecukupan. Kami punya rumah (meski tipe 4L alias lu lagi lu lagi), punya mobil (meski tipe low cost green car), dan kami punya penghasilan (meski belum bisa untuk beli tas Hermes bahkan yang KW sekalipun).
Nasihat dari Ayah, saya pegang teguh sampai saat ini. Jangan merampas hak orang miskin.
Jujur saja, saya sering bengong melihat antrean mobil-mobil pribadi untuk beli premium. Apalagi kalau ada pengumuman besok harga naik. Wah, antrenya mengular. Mobilnya pun bukan low cost green car kayak saya. Mobil di atas 400 jutaan juga tabah mengantre.
Waduh, bukankah premium itu BBM bersubsidi? Dan yang namanya subsidi, tentunya untuk orang yang patut disubsidi kan ya? Siapa yang patut disubsidi? Masa orang yang bisa punya mobil segitu bagus minta disubsidi?

Belum lagi masalah elpiji. Seorang teman mengeluh di status facebook-nya. Katanya, sekarang elpiji mahal sekali. Ketika saya tanya, berapa? Dia menjawab harga elpiji 3 kg.
Terus terang, saya terhenyak. Saya tahu dia bukan orang miskin. Seingat saya, elpiji 3 kg adalah elpiji bersubsidi yang diperuntukkan untuk rumah tangga berpenghasilan di bawah Rp.1,5 juta. Sedangkan teman saya ini, adalah istri seorang pegawai yang cukup lumayan. Saya juga tahu dia punya mobil, dan rumahnya pun tidak sesempit rumah saya. Selain itu, dia juga bekerja.
Jadi, mengapa dia memakai elpiji 3kg?

Pantas saja, saya sering membaca di koran, masalah kelangkaan elpiji 3 kg. Rupanya, si tabung melon ini sekarang nangkring di rumah orang-orang mampu.  Jadi, yang masyarakat miskin, silakan kembali mencari kayu bakar. Elpiji 3 kg bukan untukmu. Sedih.
Saya tahu, sekarang ini harga-harga melonjak gila-gilaan. Tapi saya tetap teguh pada pendirian. Selama saya masih bisa membayar, berarti saya tak boleh merampas hak orang miskin.

Dan, saat suami saya menggoda saya untuk mengantre beras operasi pasar BULOG, saya pun tersenyum manis.
“Berapa selisihnya? Lebih baik aku berusaha cari tambahan uang untuk beli beras. Lebih banyak orang yang layak membeli beras dengan harga itu,”
Saya serius dengan ucapan saya. Saya memilih untuk mencari tambahan uang untuk mensiasati kenaikan harga-harga.
Menulis adalah salah satu cara saya mencari uang.  Saya rasa itu lebih baik daripada saya harus merampas hak orang miskin.
***