Akhir-akhir ini, saya melihat ada beberapa keluhan/kritik terhadap penulis yang rajin promo.
Keluhannya bukan keluhan nyinyir sih, menurutku keluhannya patut direnungkan dan diresapi juga. Jadi penulis mah jangan anti kritik, atuh. Woles wae lah.
"Kok penulis getol jualan sih? Terus, kapan nulisnya?"
"Tiap buka FB, eh promo dia muncul. Buka twitter, eh promo dia muncul. Bosen ah. Apalagi bukunya ituuuu terus"
"Kalau penulisnya disuruh jualan, terus kerja tim marketing penerbitnya apa dong?"
"Lihat tuh si X. Dia nggak pernah promo sama sekali, tapi bukunya best seller dan cetak ulang berkali-kali,"
Jujur saja, saya tersentuh *halah, kok tersentuh sih*
Maksud saya, rada tersindir gitu hahaha.
Iya ya, kalau penulis rajin jualan buku, terus menulisnya kapan?
Saya sendiri merasakan kok, kalau jualan buku, otomatis waktu saya banyak tersita untuk menjawabi inbox, merekap pesanan, ngorder ke penerbit, ngebungkusin buku, memeriksa transferan, kirim-kirim buku, dst.
Lalu, saya pun lelah.
Namun, kalau penulisnya punya stamina oke otot kawat tulang besi, why not ya? Apalagi kalau orderan bukunya banyak, margin lumayan, dapat duit lebih. Hohoho, nggak masalah kan. Yang penting jaga kesehatan, dan jangan lupa terus menulis.
Tapi bagaimanapun juga, kritik ini menjadi catatan tersendiri buat saya pribadi.
Lanjut ya.
Lho, sebentar ... sebentar.
Apakah PROMO itu berarti JUALAN?
Eh iya ya, nggak ding! Promo itu artinya ya promo. Jualan mah jualan :) Beda ya.
Nah, sekarang mari kita bahas. Apakah penulis wajib promo buku?
Jawabnya, tentu tidak.
Kalau wajib, pasti sudah dicantumkan dalam salah satu pasal di surat perjanjian penerbitan kan.
'Penulis wajib mempromosikan bukunya. Kalau tidak, maka royalti akan dipotong'
Hihihihi, nggak ada kok klausul itu. Tenang saja. Jadi, penulis itu tidak wajib promo.
TAPI ....
Menurut satu sumber yang amat layak dipercaya, setiap bulan ada 3000 (baca : TIGARIBU) judul buku baru yang masuk ke toko buku Gramedia (kita pakai acuannya Gramedia ya, karena mereka toko buku terbesar di Indonesia).
Semoga informasi ini saya tangkap dengan benar. Jika ternyata tidak benar, ya tetap saja percayalah, bahwa tiap bulan itu banyaaaak sekali buku baru yang terbit dan membutuhkan space di toko buku.
Kalau kita, penulis, tidak membantu buku kita dengan meng-iklan-kan buku kita dengan segala daya upaya yang kita bisa, ya kita hanya bisa pasrah pada semesta agar mendukung penjualan buku kita.
Tiap toko punya kebijakan, kalau satu judul buku tidak laku sekian eksemplar dalam sebulan, maka retur akan dilakukan. Space rak yang tadinya untuk buku kita, diberikan pada buku baru yang sudah ngantre di lorong :D
Hoaaa, kalau cuma nangkring di toko buku sebulan, trus retur, trus gimana dong nasib royalti kita?
Jujur, saya jadi penulis kan untuk mencari nafkah. Bukan untuk gaya-gayaan. Butuh makan nih Om, Tante ...
Seorang teman pernah bercerita pada saya, royaltinya hanya seratus ribu rupiah lebih dikit.
Saya menghitung-hitung, berarti kalau sebulan berapa dong? Dua puluh ribu? Hoaaa ... beneran saya sedih.
Saya hanya bisa menganjurkan, agar dia lebih aktif mempromosikan bukunya. Itu saja sih, lha bingung juga mau kasih saran apa hehe.
Tapi, bagaimana jika ada yang membantah, "Itu si anu nggak pernah ngeksis di socmed, nggak pernah promoin bukunya, tapi best seller terus tuh,"
Yaaah, gimana dong Om ... Tante ... yang kayak gitu mah hanya satu di antara seribu. Mungkin, amal ibadahnya baik sehingga Tuhan dan semesta mendukung kelancaran penjualan buku-bukunya?
Hihihi ... nggak ding. Becanda, jangan marah ya.
Menurut saya, satu orang itu tidak bisa kita jadikan patokan. Kalau kita bergaya seperti dia, dan membiarkan buku kita mempromosikan dirinya sendiri, rasanya (saya) siap-siap gigit jari deh.
Lalu, bagaimana tanggung jawab penerbit?
Kan mereka harus mempromosikan apa yang sudah dibuatnya?
Ibarat kata, kau yang memulai ... kaulah yang mengakhiri!
Ngg ... bener juga sih.
Tapi kan, (nah tapi tapi tapi terus!) penerbit itu harus mikirin ratusan judul baru yang mereka launching tiap bulannya?
Masa iya mereka mikirin bukumu doang?
Jadi, menurut pendapat saya pribadi, penulis memang sebaiknya promo. Demi apa? Ya demi kebaikanmu sendiri. Sebuah buku ditulis untuk dibaca, bukan?
Jika bukumu tak laku, itu artinya sedikit orang yang membacanya.
Tapi sebaiknya, promo dilakukan dengan cara yang manis. Saya juga masih belajar kok promo yang manis itu bagaimana.
Yang jelas, saya nggak hobi nge-tag sejuta umat untuk mempromosikan buku saya. Kalau harus tag, maka saya akan tag editor, penerbit, dan sahabat-sahabat saya saja.
Lalu, saya juga berjualan seperlunya saja, jika ada yang minat beli ke saya langsung, maka saya akan PO sekalian.
Namun yang terpenting, saya terus menulis.
Dengan demikian, saya punya banyak buku. Sehingga para pemirsa, tidak bosan melihat buku yang saya promokan (semoga ya semoga, kalau tetep saja bosan maafkan daku. Please, jangan unfriend, jangan unfollow me hihihi).
Oh ya, selain promo berupa materi buku (masang cover, bikin video, ngasih link testimoni pembaca dll), ada satu cara promo lain yang menarik.
Be positive on socmed.
Setiap penulis yang memiliki aura positif, akan disukai pemirsa.
Jika pemirsa (eh kok istilahnya jadi pemirsa ya? Apa dong?) menyukai postingan-postinganmu, insya Allah mereka akan mencari buku-bukumu.
Postingan yang positif itu nggak harus berat-berat lho.
Jika kamu seorang ibu rumah tangga, barangkali kamu bisa share resep kue yang sederhana.
Jika kamu seorang ibu dengan balita, barangkali kamu bisa posting bagaimana caramu menenangkan anak yang sedang tantrum.
Jika kamu seorang ahli keuangan, barangkali kamu bisa share cara mengetahui investasi yang aman.
Jika kamu seorang ahli hukum, barangkali kamu bisa berbagi tips/solusi hukum yang ringan-ringan saja.
Jika kamu seorang istri, barangkali kamu bisa share cara berbaikan dengan suami setelah bertengkar hebat (haha ... eh siapa tau memang ada tipsnya kan).
Nggak sulit, kan?
Bayangkan jika kamu posting hal-hal yang provokatif, atau yang menerbarkan kebencian. Orang jadi ragu. Haruskah aku membeli bukumu?
Haruskah aku membeli bukumu tentang indahnya persahabatan, sedangkan postinganmu di socmed selalu mengandung ajakan permusuhan?
BTW, ini bukan saran dari saya originally ya. Saya pernah baca artikel tentang sikap positif ini. Artikelnya pakai bahasa Inggris, sehingga saya dengan mudah lupa siapa penulisnya dan apa link-nya
*semoga Tuhan memaafkan saya*
Jadi, promo itu wajib nggak?
Jawabannya : Nggak. Terserah penulisnya.
Oke. Jadi, wahai penulis, nggak usah gelisah ya. Monggo saja ambil caranya masing-masing.
Ciao ...
Ini saya mau promo wajah cantik saya ^^
Makasih tulisannya mba :) mencerahkan sekali isinya ^_^
BalasHapusKembali kasiih
HapusNgikik baca bagian akhir.
BalasHapusUntung nggak ditulis ini saya mau promosi cincin :)
Thanks sharingnya
Lho iya, tau gitu aku foto pakai cincin akikku sing onok logo ferrarine ya
HapusSaya ngerasain bener itu.. karena jualan di sosial media itu ga bisa langsung oke. Customer nanya dulu, minta cek ongkir, rekap, minta alamat, cek tansfer, packing, cek ulang alamat. Ga kebayang kalau penulis juga jualan buku. Bener juga, kapan nulisnya hihihi...
BalasHapusIyaa, apalagi kalau pakai tandatangan dan kata-kata mutiara. Hehe, jerijine keju :p
BalasHapusIya Kak..promonya pakai aturan ya
BalasHapusKemarin geregetan..ada yang promo bukunya di kolom komentar..dua kali pula..
Mbak, boleh tahu itu royalti dibayar berapa kali setahun? dan kalau kita mengadakan launching buku bersama penerbit, berapa rupiah yang harus kita keluarkan? Mohon jawabannya karena saya juga mau mengirim naskah.
BalasHapus