Rabu, 17 Januari 2018

Hello, I am Madeline (part 5)

LOVE AND HEARTBREAK

I grew up being the mediocre.
I am not ugly, but I’m not pretty either.
I’m not stupid, but I’m not smart either.
I’m witty, but I’m not interesting either.
I am the average girl, the one people look pass because I am a mediocre.

Or at least that’s what I grew up listening to.
“Look at her big sister, she is so pretty. I wonder why Madeline isn’t that pretty.”
“Her brother is so smart he’s got scholarship every year. I wonder why Madeline can’t be that clever.”
“Her little sister is so cute, unlike her big sister. I wonder where Madeline got her gene from.”

I can tell you that I give no care to these, but I’d lie. Because I do care. And it affected how I look at myself.
Whenever someone compliments me, I’d snicker secretly.
I don’t believe those. In my head, when someone says good thing about me, either they lie. Or they want something from me.
And I crave those compliments so much that I’m willing to do anything they want.

My first boyfriend was an American man.
His name is Terry, and he seemed to love me so much he wanted to swipe me off my feet and fly me to America and be his wife.
I refused to marry him, because I was only 19 and because I couldn’t stand leaving my mother. And because he refused to have children.
But the truth was, it was because I didn’t love him.
We met when he was in business trip and he fell in love with me, called me gorgeous, beautiful, sexy, and all good stuff.
All my life, I wanted to be beautiful, gorgeous, sexy, smart, and everything I was never, everything he called me, so I fell for him.
I craved his attention. Craved his adoration.
But failed in loving him.
We dated for almost two year, a difficult long distance relationship. I met him only less than ten times during 2 years, so you can imagine how little I knew him, and vice versa.
But the good thing about long distance relationship is you could be someone else and nobody would see.
All I had to do was representing myself into someone he would like to see.
I was his always beautiful girlfriend, smart because I spoke English fluently and knew a lot of stuff, sexy in my little and skinny body, funny, and confident.
Little did he know that I wasn’t all those at all.
I wasn’t confident, I put on a lot of make up, I planned my actions and my words carefully.
I was never myself.
Whenever he said I love you, I said I love you back. But the words never rang true in my own ears.
In a way, he knew. I guess he always knew. But he wanted to hear them so he ignored the truth right under his nose.

Until the day he sent me the Green Card forms to fill in and asked me to apply for a Visa to the US Embassy.
I asked him what for, and he said he would like to fly me up there and marry him.
I panicked. I didn’t want to marry him. I didn’t even project myself to spend my old days with him. He was just the “boyfriend”. The one who loved me and adored me. And the one I never loved and adored back.
So I began to scramble for excuses. I used his decision to sterile himself as the perfect reason of declining his proposition.
He knew I lied. Of course he did.
Then I realized, sooner or later I needed to tell him the truth. So I did.

Gone was the look of love in his eyes. The attention and the compliments.
He no longer found me beautiful. He called me selfish, evil, mean, thoughtless.
He even said I’d learn my lesson and I’d never be happy. That I’d know how it felt to love but never being loved in return.
I believed him. Because I did him wrong.
I believed him so much, I vowed to myself, I would never love anyone and be with anyone I loved more than they loved me. Because I was so afraid of being hurt, and never be happy.
My mother told me the same thing.
“Choose the man who loves you more than you love him, and he will never be able to hurt you. Never marry someone whom you love because you will only give him power to cause you pain.”
She was speaking from her own experience. She loved my father, but he didn’t love her back, at least not enough. And she was suffering from it.
She learnt her own lesson, and I learnt from her.

This bad ended love story has played a significant influence in how I looked at myself
A cynic to love. Pessimist. Unconfident.

Terry left me with scars.
His words rang in my ears for years.
You will never be happy.
You don’t know how to love, and you will never do.
One day you will regret this.

His words I feared so much that I refused to fall in love.
I feared of not being able of being happy.
I chose not to love for I feared of being hurt.
And I concealed myself from love.
Flirted with everyone but closed my heart.
Smiley but cold.
Cheerful but rigid.

Did I try to break the curse?
Yes, I mean, who wouldn’t want to be happy?
I fell in love, but I chose not to act on it.
I kept it inside me, hidden from everyone, especially the man himself.
Love, for me, was the epitome of pain.
I fell in love with a man who belonged to someone else.
Love, for me, was the source for all the heartbreak.

I believed what my mother told me.
“Never choose the man you love more than he loves you, for he will hurt you.”
Go for the man who loves you more.
And I went for it.
Loveless. Like ocean without fish. Like honey without bee.
But I was safe. At least I thought I was safe without love.
But that thought never stopped chasing me.
Will I ever be happy?
Am I happy?
Even without love?
Will Terry’s words become true?

Little did I know, Terry wouldn’t be the only one cursing me of not being able to be happy.


CINTA DAN PATAH HATI

Aku tumbuh besar sebagai gadis yang biasa-biasa aja.
Tidak jelek, tapi juga tidak cantik.
Tidak bodoh, tapi juga tidak pintar-pintar amat.
Sedikit lucu, tapi tidak terlalu menarik.
Aku biasa-biasa saja, seseorang yang tidak menarik perhatian orang-orang.

Paling tidak itulah yang terus-menerus dikumandangkan di telingaku.
“Lihat kakak perempuannya, cantik sekali, ya? Tidak seperti adiknya, Madeline.”
“Kakak laki-lakinya sangat pintar sampai mendapat beasiswa setiap tahun. Heran kok Madelina tidak bisa sepintar itu.”
“Adiknya imut sekali, tidak seperti kakaknya. Madeline itu nurun siapa sih?”

Aku bisa saja mengatakan padamu, aku tidak peduli. Tapi itu tidak benar.
Karena aku sangat peduli. Dan itu mempengaruhi bagaimana aku memandang diriku sendiri.
Jika ada yang memujiku, aku menertawakan mereka dalam hati.
Aku tidak mempercayai semua pujian itu. Dalam kepalaku, ketika seseorang memujiku, maka entah mereka bohong, atau mereka menginginkan sesuatu dariku.
Namun aku sangat menginginkan pujian itu hingga aku bersedia melakukan apapun yang mereka mau.

Aku pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki Amerika.
Namanya Terry, dan dia sepertinya sungguh mencintaiku hingga dia berniat membawaku terbang ke Amerika dan menjadikanku istrinya.
Aku menolak untuk menikahinya, karena usiaku waktu itu masih 19 tahun dan aku tidak bisa meninggalkan ibuku. Dan karena dia tidak bersedia memiliki anak.
Paling tidak itulah yang aku katakan pada semua orang.
Namun sesungguhnya karena aku tidak mencintainya.
Kami bertemu saat dia sedang berkunjung untuk urusan kerja, dan dia jatuh cinta padaku. Dia memanggilku cantik, pintar, seksi, dan segala macam yang indah-indah.
Sepanjang hidupku, aku ingin menjadi gadis yang cantik, pintar, seksi, dan semua yang bukan diriku, gadis yang dia panggil cantik, pintar, seksi, sehingga akupun terlena.
Aku mendambakan perhatiannya. Mendambakan semua pujiannya. Tapi tidak berhasil mencintainya.

Kami berpacaran hampir dua tahun, hubungan jarak jauh yang sulit dilampaui. Aku hanya bertemu dengannya kurang dari sepuluh kali selama 2 tahun itu, jadi kalian bisa membayangkan betapa sedikit aku mengenal dirinya, dan dia mengenal diriku.
Tapi keuntungan dari sebuah hubungan jarak jauh adalah kau bisa menjadi orang lain dan tidak akan ada yang tahu.
Yang harus kulakukan hanyalah menampilkan diriku sebagai sosok wanita yang ingin dilihatnya.
Aku adalah kekasihnya yang selalu tampil cantik, pintar karena aku pandai berbahasa Inggris dan tahu banyak hal, seksi dengan tubuhku yang kecil dan kurus, lucu, dan percaya diri.
Dia tidak tahu bahwa aku bukanlah semua itu.
Aku tidak percaya diri, aku selalu memakai riasan wajah yang banyak, merencanakan semua tindakan dan kata-kata dengan hati-hari.
Tidak pernah menjadi diriku sendiri.
Setiap kali dia mengatakan bahwa dia mencintaiku, aku membalasnya. Tapi kata-kata itu tidak pernah terdengar jujur di telingaku sendiri.
Entah bagaimana, dia tahu. Aku rasa dia selalu tahu. Tapi dia juga ingin mendengarnya maka dia mengacuhkan kebenaran yang tepampang di depan mata.

Hingga hari ketika dia mengirim formulir Green Card untuk kuisi, dan memintaku untuk melamar Visa di Kedubes Amerika.
Aku bertanya untuk apa, dan dia menjawab bahwa dia ingin membawaku ke sana dan menikahinya.
Akupun panik. Aku tidak ingin menikahinya. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan menghabiskan masa tuaku dengannya. Dia hanyalah “pacar” bagiku. Pacar yang mencintai dan memujaku. Dan pacar yang tidak kucintai atau kupuja.
Maka akupun mulai mencari-cari alasan. Aku menggunakan keputusannya untuk tidak memiliki anak sebagai alasan yang tepat untuk menolak lamarannya.
Dia tahu aku berbohong. Tentu saja dia tahu.
Dan aku sadar, cepat atau lambat aku harus berkata jujur. Maka akupun mengatakan yang sebenarnya.

Hilang sudah tatapan memuja dari matanya.          .
Tidak ada lagi perhatian dan pujian.
Dia tidak lagi merasa aku cantik. Dia memanggilku egois, jahat, kejam, tidak berperasaan.
Dia bahkan mengatakan bahwa suatu hari aku akan mendapat pelajaran dan aku tidak akan pernah bisa bahagia. Bahwa suatu hari aku akan tahu bagaimana rasanya mencintai tanpa terbalas.

Aku mempercayainya. Karena aku memang salah.
Aku percaya pada semua kata-katanya hingga aku bersumpah pada diriku, aku tidak akan pernah mencintai siapapun. Aku tidak akan pernah bersama seseorang yang kucintai lebih dari dia mencintaiku. Karena aku sangat takut untuk disakiti, dan takut tidak akan pernah bisa bahagia.
Ibuku mengatakan hal yang sama.
“Pilihlah laki-laki yang mencintaimu lebih dari kau mencintainya, dan dia tidak akan pernah bisa melukaimu. Jangan pernah menikahi orang yang kau cintai karena kau hanya akan memberinya kekuasaan untuk membuatmu sakit.”
Ibuku berbicara dari pengalamannya sendiri. Dia mencintai ayahku, tapi ayahku tidak membalas cinta itu, paling tidak, tidak cukup besar untuk mau berada di sampingnya.
Dan ibuku menderita karena itu.
Dia belajar dari pengelamannya, dan aku belajar dari pengalamannya juga.

Kisah cinta yang berakhir buruk ini berpengaruh besar karena aku memandang diriku berbeda.
Aku sinis terhadap cinta. Pesimis. Tidak percaya diri.

Terry meninggalkanku dalam keadaan terluka.
Kata-katanya terus terngiang di telingaku selama bertahun-tahun.
Kau tidak akan pernah bisa bahagia.
Kau tidak tahu bagaimana mencintai seseorang, dan kau tidak akan pernah bisa.
Suatu hari kau akan menyesal.

Kata-katanya sungguh membuatku takut hingga aku menolak untuk jatuh cinta.
Aku takut tidak bisa bahagia.
Aku memilih untuk tidak mencintai karen aku takut disakiti.
Aku menjauh dari cinta.
Menggoda semua orang tapi menutup hatiku.
Penuh senyum tapi dingin.
Ceria tapi kaku.

Pernahkah aku mencoba untuk menghancurkan kutukan Terry?
Ya, siapa sih yang tidak ingin bahagia?
Akupun jatuh cinta, tapi aku memilih untuk tidak melakukan apapun.
Aku menyimpannya dalam-dalam, tersembunyi dari siapapun, terutama dari dia sendiri.
Cinta, bagiku, adalah lambang dari sakit hati.
Aku jatuh cinta pada laki-laki milik orang lain.
Cinta, bagiku, adalah sumber dari patah hatiku.

Aku percaya pada apa yang dikatakan ibuku.

“Jangan pernah memilih laki-laki yang kau cintai lebih dari yang mencintaimu, karena dia hanya akan menyakitimu.”
Pilihlah laki-laki yang mencintaimu lebih.
Dan itulah yang kulakukan.

Kosong tanpa cinta.
Seperti lautan tanpa ikan.
Seperti lebah tanpa madu.
Tapi aku merasa aman. Paling tidak aku aman tanpa cinta.
Tapi pikiran itu tidak pernah berhenti mengejarku.
Apakah aku akan pernah merasa bahagia?
Apakah aku bahagia?
Bahkan tanpa cinta?
Apakah kata-kata Terry menjadi kenyataan?

Tanpa kuketahui, Terry bukanlah satu-satunya yang mengatakan bahwa aku tidak akan pernah merasa bahagia



IKLAN YAAAAA 
Dapatkan di seluruh toko buku Gramedia dan juga di toko buku online ^^ 

3 komentar:

  1. Haiyah. Lupa aku ada Bahasa Indonesianya.. tiwas wis maca beneran sing Enggris kui

    BalasHapus
  2. gapapa tho tambah canggih basa inggris e haha

    BalasHapus

Happy blogwalking, my dear friends ^^